Books, Review

the HEART inside the HEART

Di sampul bukunya tertulis: (1) Susahnya menyatukan dua hati, lalu (2) Apa yang perlu diketahui wanita sebelum menikah, selingkuh, atau bercerai.

Wuuzzz..agak ngeri juga ya deskripsi bukunya. Hehe… Tapi temen saya yang sudah membacanya bilang bagus. Jadilah saya tertarik untuk ikutan baca di beberapa hari waktu saya break skripsi 2010 lalu (haha..jauh amat larinya ke buku beginian).

Jujur saja, saya suka malas membaca buku motivasi maupun psikologi. Entah mengapa, pas baca buku semacam itu saya suka merasa kebanyakan isinya common sense, menggurui, dan ujung-ujungnya balik lagi ke diri sendiri. Makanya saya lebih suka baca novel, biografi, dan buku traveling, hehe..

Buku The Heart Inside The Heart ini mungkin masuk kategori psikologi tapi menyenangkan untuk dibaca karena menggunakan cara bercerita dan berbagi pengalaman mengenai lika-liku pernikahan. Pengalaman ini bisa dari penulis sendiri maupun dari orang-orang yang ia kenal. Perlu dicatat bahwa buku ini bercerita dari sudut pandang perempuan.

Hmm..agak kurang enak juga membahas soal pernikahan, karena saya sendiri belum menikah dan belum tahu bagaimana kehidupan pernikahan. Tapi dari buku ini, saya lumayan mendapat hal-hal positif yang semoga bisa berguna sebagai bekal di masa depan. Menikah itu isinya tak hanya yang indah-indah saja, namanya dua kepala pasti tak selalu sama.It takes HARD WORK.

Being married is simple, being happily married is the challenge. Itulah topik pertama yang dibahas oleh Alexandra Dewi, sang penulis dari buku ini. Saya doakan semoga semua yang membaca tulisan ini happily married, yang belum menikah ya semoga suatu saat juga happily married (termasuk saya dong, hehe..). Pernikahan perlu komitmen dan perjuangan dari kedua belah pihak. Usaha-usaha untuk membuat pernikahan bahagia haruslah dimulai dari diri sendiri. Ketika sudah menikah, berarti kita telah memilih seseorang yang (semoga) menjadi partner seumur hidup, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Mencoba bahagia dalam pernikahan bisa dimulai dari membuat suami merasa bahwa ia sungguh penting, being considerate, a team player. Intinya sih, kita jangan menuntut yang tidak ada di diri suami, tetapi mencoba menghargai sisi positifnya yang lain.

Memang kalau hanya menulis hal-hal yang ideal sepertinya mudah sekali ya, aplikasinya yang mungkin tidak mudah. Dari bab-bab selanjutnya dalam buku ini, intisari dari pernikahan bisa dikatakan adalah compromise, bahasa Indonesianya kompromi, alias terus dan terus berusaha untuk dapat saling mengerti satu sama lain. Memang sudah tentu ada masalah-masalah yang terus bermunculan, dari hal-hal kecil sampai besar. Masalah rebutan remote tv aja bisa bikin sebel ya kalo terus terjadi tiap hari, hehe… Atau misalnya suami yang tidak terlalu banyak bicara sepulang kantor karena lelah, padahal sang istri sudah kangen seharian tidak bertemu. Di sini tak ada yang diperlukan selain pengertian.

Di bab lain, ada juga yang judulnya “The Blind Can Not Lead The Blind”. Pesan Alexandra, jika ada masalah dalam pernikahan sebaiknya kita curhat kepada teman yang sudah menikah juga, dibandingkan curhat kepada mereka yang belum menikah. Dengan begitu, orang yang diajak ngobrol bisa lebih nyambung dan mengerti persoalan yang dihadapi. Bukan bermaksud underestimate, tetapi kemungkinan besar orang yang belum menikah dan sudah menikah punya jalan pikiran dan berbagai pertimbangan yang berbeda.

Selanjutnya, “Pantang bilang ‘cerai’!” Hati-hati sama kata yang satu itu karena itu adalah hal serius. Orang yang sudah menikah tentunya tidak mau dong disamakan dengan ABG labil yang sedikit-sedikit bilang ‘putus’ sama pacarnya (kebanyakan lihat status ABG di FB -_-‘). Menurut cerita Alexandra, ada temannya yang kalau ada masalah sedikit saja hobinya bilang ‘cerai’ sama sang suami. Yah..maksudnya sih bukan serius mau cerai. Tapi dengan begitu, ia ingin suaminya berusaha merayu dia (ceile..) dan berubah seperti yang ia harapkan. Sekian lama suaminya terus sabar menghadapi kelakuan sang istri yang ngomong ‘cerai’ melulu. Namun kemudian ia bertemu perempuan lain yang baik, lembut, dan lebih sabar. Pada diri perempuan itu ia menemukan sesuatu yang tidak ada di diri istrinya. Nah, pada saat suatu kali sang istri bilang ‘cerai’ lagi, suaminya mengiyakan. Istrinya kaget dan tak menyangka. Tapi apa boleh buat. Nasi sudah menjadi lontong. Sang istri tidak bisa menarik kata-katanya lagi. Suaminya pun tak bisa sepenuhnya disalahkan karena sudah lelah mendengar kata ‘cerai’ dari istrinya di sepanjang pernikahan. Ketika sang istri ingin kembali, dengan sangat menyesal pintu hati sang suami tak terbuka lagi bagi dirinya.

Sebelum menulis buku ini, Alexandra juga pernah menulis buku Queen of Heart: Kartu Andalah untuk Memenangkan Hati Pria Idaman (Gramedia, 2007). Melihat judulnya saya sih tidak terlalu tertarik untuk membacanya. Hehehe.. Tapi jadi agak-agak tahu juga sekilas isinya karena dibahas oleh sang penulis di The Heart Inside The Heart. Misalnya, jangan menyebut-nyebut soal ‘menikah’ pada awal pacaran, sebagaimana jangan menyebut-nyebut kata ‘cerai’ dalam pernikahan. Ehm…kalau menurut saya sih membicarakan pernikahan itu perlu. Bukan apa-apa, just to make sure that both of us are going to the same direction. Kalau yang satu serius tapi yang satunya tidak, ya buat apa dijalani? Walaupun saya tidak terlalu suka lagu yang judulnya “mau dibawa kemana hubungan kita?”, tapi itu memang perlu sih untuk diketahui kedua belah pihak. Kan kita bukan ABG lagi… 😉

Membahas masalah uang, mau tidak mau ini juga sering jadi pemicu masalah dalam pernikahan. Seperti apa yang dibahas dalam bab “Show Me The Money!”, nggak ada duit RIBUT, ada duit tetep aja RIBUT. Hehe.. Misalnya soal siapa bayar apa, uang siapa dipakai apa. Orang yang menikah karena faktor uang dan kekayaan pun ternyata memang ada di dunia nyata, bukan hanya di sinetron. Mungkin ada yang bilang naif, tapi kita harus yakiiiin…seyakin-yakinnya kalau kita menikah karena saling mencintai, sungguh saling mencintai, akan ada rasa percaya dan nyaman bahwa keperluan keuangan kita akan somehow someway terpenuhi. Sudah banyak buktinya kok. Kalau denger cerita pengusaha-pengusaha sukses, tidak sedikit yang dulunya melewati proses jatuh-bangun dulu. Dimana istrinya saat itu? Tetap di sampingnya. Dan mereka lolos ujian sampai mereka bisa sukses dan tak ada masalah lagi dalam hal keuangan. Terus tidak jauh-jauh, orang tua saya pun memulai semuanya dari nol. Menikah muda dengan segala tantangan dan rintangan, air mata dan cobaan, sampai bisa membesarkan dan mendidik keempat anaknya seperti sekarang.

Ada yang saya kurang setuju dari apa yang disampaikan Alexandra, bahwa ketika belum menikah biarkan saja si pria yang bayarin makan, dll, karena dari situ bisa dilihat apakah nanti setelah menikah si prianya perhitungan atau tidak. Boleh setuju, boleh tidak, tapi saya bukan tipe yang seperti itu. Menerima kebaikan memang tidak ada salahnya, tapi yang namanya belum menikah, sebaiknya tidak terlalu banyak menerima sesuatu yang bersifat materi. Bukannya sombong, tapi terkadang masalah seperti itu menjadi sensitif. Banyak yang pas akhirnya putus, mereka saling mengungkit materi yang dulu pernah diberikan oleh satu pihak ke pihak yang lain. Lagipula kalau saya sayang sama seseorang, bukan semata-mata karena materi kan… Selama saya bisa bayar sendiri, ya saya bayar. Atau alternatif lain, kan bisa gantian bayarinnya, jadi sama-sama enak. Hehe… Lain lagi kalau sudah menikah, ya dengan senang hati saya mau dibayarin. Hahaha…

Masih banyak hal-hal lain seputar pernikahan yang dibahas di buku ini. Namun, bukan berarti tidak mungkin suatu pernikahan harus diakhiri. Ada hal-hal yang harus dipertahankan, ada pula yang tidak bisa ditoleransi. Kalau misalnya sang suami sampai menyiksa, melakukan kekerasan, dan tidak mau berubah, itu sih jalan keluarnya hanya satu: perpisahan. Atau ada hal-hal lain yang memang sangat prinsipil yang sudah tidak ada kesamaan satu sama lain, dimana keduanya sama-sama sadar bahwa tidak ada kebaikan dan kebahagiaan dari pernikahan tersebut. Hidup memang tak selalu indah. There is the time to say goodbye with grace and dignity.

Catatan: Ini adalah cerita yang diceritakan kembali, ditambah opini-opini pribadi dari saya sendiri. Buku yang saya baca ini hanyalah salah satu sumber yang berisi berbagai nasihat berdasarkan pengalaman, jadi tidak bersifat mutlak. Kita boleh setuju atau tidak. Sebagai pembaca yang baik, semestinya bisa mengambil hal-hal yang positif dan tidak usah mengikuti apa yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip pribadi. Yang jelas, dalam hal apapun, masalah apapun, yang nomor satu adalah selalu berusaha untuk terus dalam jalan dan ridha-Nya. ^^

(Repost dari http://nulisaja.multiply.com/journal/item/291)

Cheers,

 

3 thoughts on “the HEART inside the HEART”

  1. pertamax! hehe…
    menarik cha. sebagai orang yg sudah menikah (asik) secara garis besar gue setuju sama yang udah ditulis sama mbak alexandra dewi. cuma soal curhat aja yang menurut gue harus lebih hati2 saat kita udah menikah. meskipun kita curhat ke temen yg juga udah nikah atau mungkin ke keluarga yg lebih tua dan lebih dulu nikah (ortu, mertua, om-tante, atau sepupu). curhat itu agak2 tricky, salah2 malah menjelek2an dan buka aib pasangan trus bikin masalah baru.

    paling enak emang kalo ada masalah ya diomongin berdua, dituntaskan berdua juga, sebisa mungkin masalahnya ngga dibawa keluar dari pager rumah. apalagi kalo masalahnya cuma rebutan channel, hihihi… kalopun udah nggak bisa di handle berdua, ya lebih enak curhat sama orang yg kita percaya bisa ngasih solusi yg jitu buat ngatasin masalahnya (mamah dedehhhh… curhat dooong… #eaaaa) dan yg penting lagi NGGAK EMBERRR.

    Like

    1. Keduax! 😀
      Asiiiik dapet komen dari yang sudah berpengalaman.
      Thanks for sharing ya, no. I do agree, memang sebaiknya kalau ada masalah ya dibicarakan berdua dulu. Dan menurut gw masalah komunikasi dan saling pengertian itu adalah proses belajar seumur hidup. Iya nggak? 😉

      Like

Leave a comment