Perjalanan pulang Korea-Indonesia (Desember 2007) diselingi dengan mampir di Bangkok. Daripada capek mencari ide akan melakukan apa selama transit di bandara ini, saya dan beberapa kawan, Nana (Indonesia), Joe (Lao), Kine Lee, Lyn, dan Ken (Malaysia) memutuskan berjalan-jalan di Bangkok dan memundurkan beberapa hari penerbangan dari Bangkok ke negara masing-masing. Kebetulan salah seorang kawan kami, Nadine, adalah orang Thailand jadi tak perlu repot-repot memelajari peta Bangkok, cukup mengikuti instruksi sang tour guide saja, hehe…
Jadilah Jakarta bukan kota pertama di mana saya merasakan udara tropis lagi. Keluar dari bandara, kami langsung ngedumel kangen sama udara musim dingin dan pakai jaket tebal seperti di Korea, hahaha… Begitulah manusia, dingin ngeluh, panas juga ngeluh. Pas saya duduk di shuttle bus dari bandara, melihat pemandangan lewat jendela, rasanya hampir sama seperti Jakarta. Jalanannya, gedung-gedungnya… Ah, rasanya pulang ke negara sendiri. Hanya ada satu atau dua perbedaan yang mencolok antara Bangkok dan Jakarta. Di sebagian kawasan di Bangkok sangat kental nuansa budaya dengan berbagai dekorasi pahatan emas dan lambang kerajaan. Selain itu, hampir di mana-mana saya melihat gambar raja Thailand terpampang. Wajah yang berwibawa, low profile, dan menyisakan gurat-gurat ketampanan semasa mudanya.
Saya langsung teringat ketika membaca sebuah majalah di pesawat Thai Airways, diberitakan bahwa sang raja baru saja merayakan ulang tahun ke-80 pada awal Desember 2007 lalu. Ooh…jadi mungkin gambar-gambar tersebut dalam rangka ulang tahunnya. Namun ketika saya tanya Nadine, ia bilang memang selalu seperti itu. Sang raja memang begitu dicintai rakyatnya karena semenjak muda beliau sudah berkorban banyak hal untuk rakyatnya.
***
Namanya Khao San Road. Jalan itu seperti Malioboro di Yogyakarta. Di kanan kirinya terdapat pertokoan yang menjual berbagai souvenir dan pakaian, juga berjejer restoran dan penginapan. Jalanan ini bisa dibilang nokturnal, karena lebih hidup di malam hari ketimbang siang. Berjalan di sini pada malam hari, saya merasa terasing di antara begitu banyak orang asing. Jalanan disesaki begitu banyak orang asing dari berbagai negara, dari kulit yang terang sampai yang gelap (tapi tetap saja didominasi dengan bule-bule). Saya agak merinding juga, karena mereka berjalan sambil minum-minum, dan berbeda dengan Malioboro yang didominasi dengan pertokoan dan restoran biasa, di Khao San begitu banyak bar dengan musik yang super duper menggila.

Yah…apapun yang terjadi, saya tetap jalan seperti biasa demi tujuan utama saya: belanja. Hehehe… Bicara soal harga, menurut saya reasonable. Jangan lupa juga untuk menawar. Dan buat kami orang-orang yang baru pulang dari Korea, rasanya lebih loyal untuk belanja karena jika dibandingikan dengan mata uang won ya pasti lebih murah. 😀 Tapi berhubung sudah dekat ke Indonesia, saya juga selalu mengkurs ke rupiah (teteuup…). Harus tetap menggunakan prinsip-prinsip belanja lah, dapatkan kualitas yang bagus dengan hargayang masuk akal. Barang-barang di sana juga bisa ditawar, tetapi kalau sudah murah ya pembeli harap sadar juga, tak usah minta harganya diturunkan lagi. :p
Ada yang bilang Bangkok adalah surga belanja. Untuk turis asing, berbelanja di sini memang nyaman karena hampir semua penjualnya bisa berbahasa Inggris. Lain halnya dengan waktu di Korea. Ketika belum bisa berbahasa Korea, saya harus berkomunikasi pakai bahasa tubuh, haha…
Cukup banyak pusat perbelanjaan yang jadi sasaran turis asing. Salah satu pusat perbelanjaan yang saya kunjungi waktu itu adalah Platinum. Tak hanya bule-bule berkulit putih, tapi juga orang-orang Asia yang mungkin datang ke Bangkok khusus niat untuk berbelanja. Dari mulai orang timur tengah, India, dll. Mereka berbicara dengan berbagai bahasa dari bahasa Inggris, sampai bahasa yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Sebenarnya di Jakarta juga banyak pusat perbelanjaan yang besar, tapi yang belanja ya orang-orang Indonesia juga. Saya benar-benar iri sama Bangkok yang bisa mendatangkan begitu banyak turis untuk berbelanja di sana. Di lantai tertentu juga ada international food court. Senangnya… ada makanan halal juga dari India dan beberapa negara lain. Selamat makan! ^^

Ngomong-ngomong tentang makanan, makanan Thailand enak-enak juga. Saya sih hanya makan ikan dan yang seafood-seafood aja. Malam pertama di sana, kami makan di Tom Yam Kung di Khao San. Tempatnya nyaman, lagunya enak-enak, dan harganya reasonable (walau tidak bisa dibilang murah banget). Harganya mulai 100 baht (1 USD = 33 baht) sampai tak terhingga (hehe…terhingga kok!). Tapi rata-rata sih harganya 120-150 baht.
Orang-orang Asia Tenggara sepertinnya memang punya lidah dan selera yang hampir sama. Soalnya waktu saya nyicipin makanan anak-anak ASEAN, ya kurang lebih bumbu-bumbunya sama kayak masakan Indonesia. Jadi pas kami jalan-jalan di Bangkok, rasanya tak terlaly bermasalah sama makanannya. Oh ya, karena sudah hampir setahun tinggal di Korea di mana buah-buahan itu harganya mahal, akhirnya Bangkok menjadi pelampiasan buat kami yang dahaga akan buah-buahan, khususnya para cowok: Joe dan Ken. Mereka benar-benar lupa diri. Setiap lewat tukang buah kayaknya selalu beli, hehe…
***

Walaupun di Indonesia ada yang namanya Floating Market alias pasar terapung, saya sendiri belum pernah melihat langsung. Malah di Bangkok inilah kali pertama saya jalan-jalan ke pasar terapung, di mana para penjualnya duduk manis di perahu menjajakan sayur mayur dan berbagai makanan. Dengar-dengar sih pasar yang bernama lengkap “Taling Chan Floating Market” itu cukup terkenal. Tapi ketika saya melihat langsung, ternyata tidak sebesar yang saya kira. Soalnya yang ada di bayangan saya adalah pasar terapung di Kalimantan yang saya lihat di TV dan majalah-majalah.
Di sepanjang jalan sebelum memasuki pasar, berjejer puluhan pedagang, dari mulai pedagang berbagai kerajinan tangan, pakaian, dan yang paling banyak yaitu makanan. Wah…makanannya menggugah selera!! Rasanya pas di lidah saya.
Pasar Taling Chan itu bukan terletak di sungai, melainkan kanal. Di kanal tersebut, terdapat banyak ikan yang berbadan tambun. Apa gerangan yang membuatnya demikian? Ternyata eh ternyata, di area sekitar pasar dijual berkantong-kantong roti yang ditujukan bagi para pengunjung pasar. Bukan untuk dimakan pengunjungnya, melainkan agar pengunjung bisa memberi makan ikan-ikan di sana. (baru tahu kalau ikan doyan makan roti).
Setelah membeli tiket seharga 70 Baht (sekitar 20ribu rupiah), kami berwisata air dengan perahu. Di sepanjang kanal, beberapa kali kami berpapasan dengan pedagang makanan, ada yang berjualan di perahu, ada juga yang mangkal di pinggir kanal. Langsung sikat!! Haha…
Selain itu, kami juga bisa melihat rumah-rumah penduduk, kebun-kebun, dan tempat ibadah pemeluk Buddha. Uniknya, di kota besar seperti Bangkok masih banyak rumah yang bergaya tradisional. Dan hampir di depan setiap rumah terdapat bendera Negara Thailand dan lambang kerajaan Thailand. Kalau kita sedikit mengintip ke dalam rumah, di ruang depannya biasanya terdapat foto sang raja. Wah, jadi inget waktu saya nonton video tentang Korea Utara dokumentasi National Geographic. Di sana setiap warganya HARUS memasang foto sang (mantan) presiden yang amat diktator, Kim Jung Il, bahkan sampai disembah-sembah segala. Lalu, apa bedanya dengan di Thailand?

Lagi-lagi saya bertanya pada Nadine. “Nadine, mereka pasang bendera dan foto raja gitu memang diharuskan atau sukarela sih? Atau karena rumah-rumah mereka di sepanjang kanal ini dilewati para turis?” Nadine lalu menjelaskan bahwasanya tidak ada keharusan untuk itu, terserah mereka saja. Dan menurut penuturan Nadine, bukan di daerah sepanjang kanal saja, di daerah lain pun kita bisa menemukan hal serupa.
Seusai wisata air, kami makan siang di area sekitar pasar. Suasana dan makanan di area itu bisa dibilang baik dan menyenangkan, hanya saja ada satu yang menggangu: ANJING. Ya!! Di daerah sekitar pasar itu banyak sekali anjing berkeliaran sesuka hari mereka. Aaaaghhh… Saya tidak phobia anjing, tapi kalau saya lagi makan terus anjingnya berjalan-jalan santai mengitari saya, sambil sesekali mendekat, dekaaat…sekali, saya jadinya langsung heboh! Sewaktu saya mengeluh tentang keberadaan anjing itu, si Nadine selalu bilang, “Icha, you have to accept it. It’s Thailand, not Indonesia…” BAH!!!!!! Saya hanya bisa tersenyum pahit.
Di siang yang terik itu kami melanjutkan perjalanan ke Thai Grand Palace. Butuh sunglasses nih karena warna-warna emas dari dinding dan kubah istana makin bikin silau, hihihi… Tidak banyak yang bisa saya deskripsikan mengenai istana ini selain kata MEGAH. Di salah satu bangunannya, terdapat tempat untuk sembahyang orang Buddha yang di depannya orang-orang pada sibuk mengambil air dari kendi besar untuk disiram ke kepala mereka. Mungkin tujuannya untuk keberkahan.
* * *
Saya berada di pesawat Thai Airways penerbangan TG 433/30 Bangkok-Jakarta. Semua hal yang terjadi 10 bulan terakhir ini tiba-tiba terlintas satu per satu di kepala. Juga dua hari di Bangkok yang sangat berkesan. Dulu saya memang pernah ingin ke luar negeri, tapi sungguh tak pernah terbayangkan apa yang akan saya rasakan. Bertemu orang-orang baru, melihat budaya yang beragam, mencoba beradaptasi…. sungguh semua itu sangat berharga. Terima kasih ya Allah..
Tidak banyak yang saya janjikan kepada kawan-kawan ketika nantinya saya kembali ke tanah air, kecuali keep in touch, bagaimanapun caranya. Dan jika ada kesempatan, suatu saat saya ingin mengunjungi negara mereka, khususnya teman-teman ASEAN (Wah, selamat ya buat ASEAN University Network, penyelenggara program student exchange ini, yang telah berhasil membuat kami lebih aware dan peduli terhadap kerja sama regional bernama ASEAN, hehe…)
Saya menutup buku itu, yang berisi catatan-catatan kecil dan pesan kesan dari kawan-kawan di Korea. INDONESIA…I’M COMING! Semoga pengalaman berharga ini selalu membuka cakrawala berpikir saya dan membuat saya lebih bijak. Satu hal yang semakin saya sadari, ke manapun saya pergi, saya selalu mencintai Indonesia. 🙂
(Repost dari http://nulisaja.multiply.com/journal/item/161)
Cerita perjalanan saya ke Bangkok (2010) bisa diintip di SINI dan di SINI