[1 Oktober 2010]
Menjelang jam 12 siang, sampailah saya di Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Di sanalah saya dan Pupu akan menginap untuk satu malam. Sebelumnya, bus dari Melaka tiba di terminal Bukit Jalil (mengingatkan pada pertandingan AFF melawan Malaysia ya? Hehe..), lalu dari Bukit Jalil kami naik bus Rapid KL dan disambung naik MRT.

Secara umum, transportasi umum di KL dibagi menjadi beberapa jalur utama dan masing-masing jalur itu dilayani oleh operator transportasi yang berbeda. Kalau lihat di peta transportasinya, maka akan ada beberapa warna berbeda yang menunjukkan masing-masing operatornya. Kalau dari segi kebersihan dan jumlah armada sih tidak masalah. Hanya saja, adanya operator yang berbeda ini menyebabkan jika mau pindah jalur, penumpang harus berjalan cukup jauh. Dan walaupun jaraknya dekat, kalau pindah jalur penumpang harus membayar lagi, tidak terintegrasi seperti MRT di Singapura. Trans Jakarta saja kalau ganti jalur tidak perlu bayar lagi kan ya? (sekali-kali bangga sama Jakarta)
Paradiso Bed and Breakfast. Itulah nama tempat menginap yang kami temukan dari hostelworld.com. Letaknya persis di samping McD Bukit Bintang, di sebuah ruko di antara pertokoan dan tempat penukaran uang. Pupu memilih tempat ini karena letaknya yang strategis, hanya jalan sedikit dari stasiun MRT dan tidak jauh dari KL Tower. Seperti di River City Inn Singapura, pintu masuk hostel ini agak tidak terdeteksi karena nyempil di antara pertokoan. Naik ke lantai dua, barulah kami menemukan meja resepsionis. Kami disambut oleh seorang kakek, mungkin usianya sekitar 60-an tahun. Begitu tahu kami dari Indonesia, ia lebih antusias lagi. “Wah..Om juga punya saudara di Indonesia,” Hehe.. Dia menyebut dirinya sendiri dengan sebutan “om”, biar terasa lebih muda kali yaaa…

Dari resepsionis, kami naik lagi satu lantai dan diantar ke sebuah kamar dengan twin bed dan AC. Di hostel ini juga ada ruang TV dengan sofa-sofa yang terlihat empuk menggoda. Dilengkapi dengan DVD player dan koleksi DVD yang cukup banyak, menonton film bisa menjadi opsi menarik jika para tamu ingin bersantai sejenak setelah berjalan-jalan. Sedangkan untuk toilet dan kamar mandi letaknya di luar kamar, namun tetap dipisah untuk pria dan wanita.

Pada jam makan siang, saya dan Pupu membuka bungkusan makanan yang sebelumnya kami beli di terminal Melaka Sentral. Hehe.. Niatnya untuk lebih irit karena makanan di Melaka cukup murah dan rasanya pun enak. Karena tak banyak waktu, setelah solat Dzuhur kami langsung capcus dan berjalan ke KL Tower. Sayangnya hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Kami saat itu sudah di pintu gerbang menuju KL Tower, sedangkan untuk ke tower-nya kata Pupu harus menunggu bus yang memang disediakan karena jalannya cukup jauh dan menanjak. Berhubung sudah agak lama bus tak juga datang, hujan semakin deras, dan sebetulnya kami hanya ingin berfoto di depan tower (tidak berniat masuk ke tower), kami akhirnya beranjak pergi dan berjalan ke stasiun MRT untuk menuju Petronas KLCC.

Baiklah. Akhirnya kami foto di sini. Background foto yang menjadi icon orang-orang yang pernah ke KL. Hehehe.. Kalau mau naik ke menara kembar ini sebaiknya antre sedari pagi. Kata Pupu, dulu naik ke menara ini gratis tis tis..makanya orang-orang sudah datang sedari pagi untuk antre masuk. Dan di atas pun hanya diberi waktu beberapa menit untuk berfoto. Saya tidak tertarik. Pupu apalagi, karena ia sudah pernah ke sana. Makanya hari itu kami nyantai saja datang karena memnag berniat di luar saja. Dan ternyata terhitung pertengahan 2009 lalu, untuk naik ke menara kembar ini dipungut biaya (ehmm..saya lupa berapa).
Sebenarnya KL bagi saya dan Pupu saat itu layaknya hanya sebagai kota persinggahan. Kami tak terlalu berniat mengeksplor kota lebih jauh seperti ke China Town, pasar, museum, dll, yang letaknya agak jauh. Maka kami pun berpikir, “habis ini mau kemana ya?” Setelah lihat-lihat di peta, akhirnya kami memutuskan menuju Masjid Jamek, masjid tertua di KL, yang dibangun pada 1907. Masjid ini berada tak jauh dari stasiun MRT Masjid Jamek, dan terletak di samping pertemua dua sungai, yaitu Sungai Klang dan Sungai Gombak.
Bagi orang Indonesia, melihat-lihat berbagai tulisan dari mulai baliho, iklan, atau papan pengumuman di Malaysia, bisa jadi hiburan tersendiri. Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu memang agak mirip, tapi banyak penggunaan kata yang berbeda sehingga terdengar tak lazim satu sama lain. Dulu…saya pernah tertawa gara-gara teman saya yang orang Malaysia berniat meminjam “pemadam”. Saya pikir, emangnya ada kebakaran dimana? Ternyata yang ia maksud adalah penghapus. Haha.. Dan ketika saya bilang singkong, teman saya tertawa. Mereka bilang itu ketela… Saya baru tahu kata “singkong” adalah kata yang lucu di telinga mereka. Berikut beberapa tulisan yang bikin saya dan Pupu ngakak di jalanan:


Dari Masjid Jamek, kami berjalan lagi tanpa arah. Kalau lihat di peta sih ada Sultan Abdul Samad Building. Sepertinya menarik. Maka kami pun terus berjalan berusaha menemukan tempat yang dimaksud di peta. Ketika kami akhirnya sampai…wow…ternyata gedung itu sangat cantik. Tiba-tiba kami merasa sedang berada di Timur Tengah (kayak udah pernah ke sana aja!). Gedung itu dibangun pada 1894-1897 oleh seorang arsitektur yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama gedung tersebut. Saat ini gedung itu digunakan sebagai kantor Kementerian Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia. Di seberang Sultan Abdul Samad Building terdapat taman yang cukup luas (yang dikenal dengan nama Dataran Merdeka) dan juga ada museum. Cukup banyak pula orang yang menghabiskan sore di sana, dari mulai masyarakat lokal sampai turis asing. Nggak nyesel deh nyasar ke sini. Kami pun berleha-leha dan selonjoran menikmati sore.

Menjelang matahari terbenam, kami kembali ke Bukit Bintang, makan malam di restoran India, lalu berjalan-jalan di sekitar hostel. Sepanjang pengamatan kami, turis yang datang ke KL didominasi wajah-wajah Timur Tengah. Wajar saja sih..kalau saya perhatikan kebanyakan mereka adalah tipe turis yang suka berada di zona nyaman dan mereka suka belanja. Kenapa KL nyaman bagi mereka? Pertama, kotanya terbilang teratur dan sarana transportasi umumnya bagus. Kedua, banyak sekali pusat perbelanjaan. Ketiga, mencari makanan halal bukanlah perkara sulit. Jadilah KL bagaikan surga bagi mereka.
Malam itu, sebelum tidur saya menyambangi pojokan hostel dimana terdapat tumpukan majalah dan buku. Saya mengambil Lonely Planet Asia Tenggara dan membacanya sebagai pengantar tidur. Yang menyebalkan adalah, malam itu suasana hostel ramai sekali. Segerombolan cowok yang kedengarannya orang Indonesia juga, heboh menonton film di ruang TV. Mereka mengobrol dan tertawa keras-keras. Saya benci intoleransi macam ini. Saya jadi ingat ketika di Melaka, Raymond menempelkan tulisan di dinding-dinding kamar dan sudut rumah yang meningatkan agar pada jam malam para tamu tidak membuat kegaduhan dan selalu saling menghormati satu sama lain. Ketegasan itu perlu. Setelah lebih dari setengah jam gagal mencoba untuk tidur karena kegaduhan itu, saya pun keluar kamar dan meminta mereka mengecilkan volume masing-masing.
Selamat malam, Kuala Lumpur.
Kyknya hostelnya lmyn strategis tuh mbak, bagusnih bwt referensi nginep saya nanti XD
LikeLike
Iya strategis kok tempatnya. 🙂
LikeLike
mbak pesan hostel di hostelworld harus pake credit card??kalo gak punya gimna?
LikeLike