Books, Review

Tetralogi Buru: Rumah Kaca

rumah kacaKejutan!!
Itulah yang akan terasa pada lembar-lembar awal buku terakhir dari Tetralogi Buru. Apakah gerangan kejutan itu?

Setelah tiga episode sebelumnya cerita terpusat pada seorang Minke sebagai tokoh sudut pandang orang pertama, di buku ke-4 ini Pram menghadirkan sosok Pangemanann (dengan dua “n”) sebagai tokoh pencerita. Pangemanann sendiri pernah hadir dalam bagian akhir buku “Jejak Langkah”. Ia adalah seorang pejabat kepolisian yang mengabdi pada Gubermen Hindia Belanda.

Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang gamang. Pada dasarnya, ia adalah seorang yang baik, seorang Menado yang mendapat pendidikan Eropa dan dibesarkan oleh orang tua angkat asal Eropa pula. Ia menghormati kebebasan dan tak suka penindasan. Sebagai pribadi, ia pun menghormati dan mengagumi seorang Pribumi bernama Minke yang telah membawa banyak perubahan pada semangat pergerakan melawan kolonialisme. Namun, pengabdiannya pada Gubermen ternyata membawanya pada suatu tugas dilematis yang kemudian mengubahnya bagai seorang iblis kejam yang tak pernah mengizinkan Pribumi maju seiring dengan zaman dan pemikiran yang semakin modern.

Continue reading “Tetralogi Buru: Rumah Kaca”

Advertisement
Books, Review

Tetralogi Buru: Jejak Langkah

jejak-langkah

“Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan Hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan, dan pesaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.”

(Pramoedya Ananta Toer)

Akhirnya setelah melewati waktu yang cukup melelahkan, saya selesai juga membaca buku ketiga dari Tetralogi Buru: Jejak Langkah. Mengapa saya bilang lelah, karena selain bukunya yang lebih tebal (700-an halaman), semakin banyak tokoh yang muncul dalam buku ini, juga konflik dan kejadian-kejadian yang berkaitan dengan sejarah, yang untuk memahaminya harus runtut dan sistematis.

Continue reading “Tetralogi Buru: Jejak Langkah”

Books, Review

Tetralogi Buru: Anak Semua Bangsa

anaksemuabangsa“Semua yang terjadi di kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir” (Pramoedya Ananta Toer)

Anak Semua Bangsa adalah episode kedua dari Tetralogi Buru. Di awal cerita – yang merupakan lanjutan dari buku sebelumnya – saya sudah hanyut dan banjir air mata mengetahui kelanjutan nasib Minke, Annelies, dan keluarganya yang diperlakukan tidak adil oleh Belanda. Jika dalam buku pertamanya, Bumi Manusia, cerita lebih fokus pada masalah pribadi dan pencarian jati diri seorang Minke, maka di buku kedua ini metamorfosis dirinya begitu terasa.

Konflik muncul ketika sahabat Minke, Jean Marais, memintanya menulis dalam bahasanya sendiri, Bahasa Melayu. Entah mengapa Minke merasa bahasa itu lebih rendah daripada Bahasa Belanda dan bahasa asing lainnya. Konflik batin belum berhenti karena Minke terusik oleh kata-kata seorang jurnalis bernama Kommer yang mendakwanya tidak mengenal bangsa sendiri. Minke marah, namun juga tak kuasa mengelak akan kebenaran kata-kata Kommer tersebut. Ya, Minke mungkin tak banyak mengenal bangsanya sendiri. Selama ini ia hidup nyaman sebagai putra seorang bupati dan tak terlalu peduli akan kehidupan rakyat kelas bawah. Kalaupun ia pernah menentang Belanda, selama ini ia lakukan semata-mata untuk membela pribadinya sendiri.

Continue reading “Tetralogi Buru: Anak Semua Bangsa”

Books, Review

Tetralogi Buru: Bumi Manusia

bumi-manusia

“Kita kalah, Ma,” bisikku.

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”

Telah lebih dari lima tahun setelah saya menutup laman terakhir dari buku yang merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer ini. Sebuah perasaan yang saat itu muncul adalah: saya ingin segera melanjutkan membaca buku berikutnya.

Ada bagian dari hidup ini yang kita tak bisa terlepas darinya. Dialah SEJARAH. Kisah ini berlatar akhir tahun 1800-an, ketika Belanda masih berkuasa di atas negeri kita. Adalah Minke, seorang pribumi Hindia yang berkesempatan mengenyam pendidikan ala Belanda. Ia adalah anak seorang bupati yang sama sekali tak bercita-cita menjadi bupati seperti yang diimpikan kebanyakan anak seorang petinggi pribumi. Hasil didikan Belanda telah membuatnya berpikir bebas dan merasa terkekang oleh tradisinya sendiri, tradisi Jawa yang menurutnya banyak merendahkan harkat manusia itu sendiri, karena orang harus bersujud-sujud kepada orang lain yang pangkat dan derajatnya lebih tinggi.

Continue reading “Tetralogi Buru: Bumi Manusia”

Other Stories

Memayungi Drupadi

couple_rainy_day_umbrella_by_gordonbruce
foto pinjam dari SINI

“Dia membisikkan betapa dia mencintai kekuatanku. Kemudian aku bertanya-tanya: apakah dia mencintaiku karena aku kuat dan mandiri sehingga dia tak perlu melindungi seperti seorang Bima memayungi Drupadi? Atau karena dia memang mencintaiku karena dia tak bisa bernafas seandainya aku pergi dari sisinya?
Mengapa aku tak ingin mencari jawabannya?”

Vivienne Deveraux dalam novel ‘Pulang’ karya Leila S. Chudori

Books, Review

Amba: Cinta, Sejarah, dan Puisi

AmbaSinopsis

Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari seorang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah.

Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, JermanTimur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.

Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. “Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.” Tapi ia meninggalkan kotanya.

Continue reading “Amba: Cinta, Sejarah, dan Puisi”