Suatu siang, di antara lautan manusia di Masjidil Haram, air mata ini tertahan. Kemudian tak lama, tangis pecah. Tangis dalam sunyi. Tangis di antara entah berapa puluh ribu manusia yang terpekur menunduk ke tempat sujud di sekeliling Ka’bah.
Sunyi di antara takbir, i’tidal, dan sujud. Tangis di antara lantunan ayat-ayat Alquran dan bacaan-bacaan shalat yang dilafalkan lirih. Rasa sedih yang seringkali datang membuncah ketika mengingat bahwa semua ini takkan lama. Bahwa Makkah dan Madinah ini hanyalah persinggahan untuk kemudian kami melanjutkan hari-hari sebagaimana biasa.
Kalau ditanya kota apa yang sudah pernah saya kunjungi tapi ingin dikunjungi lagi, salah satunya adalah Istanbul, Turki. Saya merasa, kunjungan pertama saya ke sana pada 2014 lalu terbilang singkat (semoga ada kunjungan selanjutnya.. aamiin). Rasanya ingin sekali slow traveling di sana, mengunjungi pasar-pasarnya, manyambangi masjid-masidnya yang begitu indah dan penuh sejarah, menikmati aneka kulinernya, dan tentu lebih banyak berinteraksi dengan orang-orangnya yang amat ramah dan bersahabat.
Bisa dibilang, waktu yang jadi favorit saya untuk traveling adalah musim apapun kecuali musim dingin. 😀 Tapi, saya pernah juga kok traveling saat musim dingin. Pertama, jika memang tujuannya untuk naik gunung dan melihat/merasakan salju. Hehe.. Kedua, karena musim dingin itu termasuk low season sehingga tujuan wisata tidak terlalu ramai dan harga tiket penerbangan pun tidak terlalu mahal. Lumayan kan, bisa menekan budget. Yang sedang berencana atau punya pengalaman traveling ke luar negeri, mungkin pernah cek-cek tiket pesawat dan kesediaan akomodasi? Biasanya harga tiket melonjak saat liburan musim panas (sekitar Juli – Agustus). Hotel dan penginapan juga banyak yang full booked, atau kalaupun tersedia, harganya sudah terbilang mahal.
Saya pernah mendengar beberapa orang berkomentar kira-kira seperti ini, “Yah… gitu deh, kalau udah kelamaan tinggal di luar negeri (yang bukan mayoritas muslim – pen) lama-lama bisa jadi liberal.”
Pertama, perlu dijelaskan liberal yang dimaksud itu seperti apa.
Kedua, sebenarnya saya tidak bermaksud membahas tentang liberal, moderat, maupun konservatif. Islam adalah islam (baca: Don’t Call Me a Moderate Muslim). Melalui tulisan ini, saya sekadar ingin menceritakan pengalaman saya di Korea sebagai seorang muslim. Perjalanan setiap orang itu unik dan berbeda antara satu dan lainnya. Dalam perjalanan itu pula ada proses belajar, berpikir, dan pengalaman langsung yang tak tergantikan oleh sekadar teori. Continue reading “Kehidupan sebagai Muslim di Korea”→
Kids React adalah salah satu tontonan favorit saya di Youtube. Episode baru dari program ini hadir di kanal youtube-nya setiap seminggu sekali. Bagi saya, program ini seru karena menghadirkan tanggapan jujur dan spontan dari anak-anak usia 5 – 14 tahun terhadap tema tertentu, bisa isu yang sedang happening, viral video, makanan, teknologi, dan lainnya.
Hari ini saya menonton episode Kids vs Kimchi. Langsung deh saya penasaran bagaimana tanggapa anak-anak Amerika terhadap makanan khas Korea ini. Kimchi merupakan ‘asinan’ sayur (berbahan utama sawi putih dan lobak) hasil fermentasi yang diberi bumbu pedas. Sejarah kimchi cukup panjang. Awal mula pembuatan kimchi bertujuan untuk persediaan makanan pada musim dingin. Tidak seperti di negara tropis dimana sayuran tumbuh sepanjang tahun, orang-orang di negara empat musim kekurangan hasil pertanian pada musim dingin. Agar awet, kimchi difermentasi dengan cara ditempatkan di kuali dan disimpan di bawah tanah (tetapi saat ini biasa disimpan di lemari es). Rasa pedas pada kimchi baru muncul pada tahun 1700-an saat Korea mulai mengenal cabe sebagai salah satu komoditas perdagangan.
Seumur-umur saya naik ferris wheel atau kincir sepertinya hanya di Dufan dan di pasar malam saja deh. Jadi mumpung gratisan saya mau banget melihat Osaka dari ketinggian. Tempozan ferris wheel ini letaknya satu area dengan dermaga pemberangkatan Cruise Ship Santa Marina. Tetapi gara-gara terlalu lama antre Tsutenkaku Tower (cerita sebelumnya di SINI), akhirnya rencana berkapal pesiar ala Syahrini (eh Syahrini sih naik jet pribadi ya?!) pun gagal. Sebenarnya masih ada waktu 15 menit sampai pemberangkatan terakhir. Namun berhubung saya pasti harus sambil membaca peta saat mencari lokasinya, saya pesimis pas sampai sana masih terkejar.
Suhunya 360 derajat? Jelas bukan lah. Walaupun musim panas di Jepang tahun ini konon sampai memakan korban jiwa, alhamdulillah saya bertahan dihantam sinar mentari yang sangat panas dan suhu yang setiap harinya mendekati 40 derajat celcius.
Lalu 360 derajat itu apa? Oke, oke..sabar dulu. Nanti kita akan sampai ke cerita itu. 😀
Hari kedua Osaka, saya menjadi solo traveler lagi karena Sabtu itu Raras harus pergi bekerja demi sesuap sushi dan segenggam berlian. Hari kedua di Osaka namun menjadi hari pertama bagi saya untuk mengeksplor kota ini sebab hari sebelumnya saya hanya numpang istirahat.
Yah…yang ngabuburit sih cuma saya sama Raras aja. Orang Jepang juga nggak nyadar kali ya kalau lagi bulan puasa.
Sore itu kami sampai di Kobe pukul 17.30. Ternyata cukup 30 menit saja dari Osaka (cerita sebelumnya di SINI). Karena sedang musim panas, matahari masih bersinar terang dan kami masih bisa jalan-jalan. Tujuan utama kami sebenarnya mau berbuka puasa di Masjid Kobe dan malamnya nongkrong cantik di Kobe Port yang katanya indah banget kalau malam hari. Namun sebelum menuju masjid, kami lewat dulu di sebuah kuil yang jujur saja saya bahkan saat itu tidak bertanya nama kuilnya apa. Haha… Yasudah lah, habis banyak banget kuil di Jepang dan kuil itu sepertinya juga bukan kuil termegah di Kobe.
(Tulisan ini sebetulnya sebagai upaya membayar utang menulis, menyambung tulisan sebelumnya tentang perjalanan di Kyoto. Oh ya, masih ada janji yang belum terlunasi juga menyambung cerita backpacking Sumatera. Aaarghh..banyak utang!)
***
Saya tenggelam di tengah keramaian stasiun subway Karasima-oike di Kyoto. Tenggelam sambil menggeret koper, menggendong ransel, serta menggenggam peta. Koper yang saya bawa pun bukan koper kecil yang biasanya saya bawa saat ada perjalanan dinas, namun koper yang lebih besar karena meeting kali ini memakan waktu sampai seminggu (dan ditambah belanja oleh-oleh juga :p).
Jumat pagi di awal bulan Juli, saya terbangun saat kolega saya pamit meninggalkan hotel untuk menuju Kansai International Airport. Saya juga akan check out dari Kyoto Okura Hotel hari itu, tetapi saya sudah berniat mengunjungi salah satu tempat wisata di Kyoto sebelum berangkat menuju Osaka di siang harinya. Saya akan mengunjungi teman saya, Raras, yang sebelumnya berkuliah di Osaka dan kini bekerja di sana.
Setelah mandi, saya berselancar lagi di internet demi memutuskan akan pergi ke mana pagi itu. Maklum, hari-hari sebelumnya saya disibukkan oleh pekerjaan. Kalaupun ada waktu luang, maka saya berjalan-jalan dan berpartisipasi dalam reality show Uang Kaget. Haha.. (baca ceritanya di SINI)