Other Stories

Adult Lyfe dan Waktu bersama Rekan Kerja

Rekan kerja: orang-orang yang banyak mengisi hari-hari kita

Who we spend time with evolves across our lifetimes. In adolescence we spend the most time with our parents, siblings, and friends; as we enter adulthood we spend more time with our co-workers, partners, and children; and in our later years we spend an increasing amount of time alone. But this doesn’t necessarily mean we are lonely; rather, it helps reveal the complex nature of social connections and their impact on our well-being.

Esteban Ortiz-Ospina – Our World in Data

Akhir tahun lalu, saya selewat membaca unggahan di media sosial: hasil survei tentang dengan siapa kita menghabiskan waktu selama rentang usia tertentu. Salah satu yang saya ingat, ternyata di usia akhir 20-an sampai dengan 40-an tahun, kita lebih banyak menghabiskan waktu dengan rekan kerja dibandingkan keluarga.

Mengejutkan? Bisa iya, bisa tidak.

Sumber: Our World in Data

Tetapi, pesan yang saya dapat adalah betapa pentingnya kita memiliki lingkungan dan rekan kerja yang memberikan energi positif dan mendukung kita untuk bertumbuh, baik dalam konteks profesional maupun sebagai individu.

Baru-baru ini, saya mencari sumber datanya, ketemulah di website Our World in Data. Lalu di Twitter juga ada seorang influencer yang pernah merangkumnya melalui sebuah utas.

Disclaimer: data ini merupakan hasil survei di Amerika Serikat, namun saya rasa cukup relevan juga dengan kondisi di Indonesia atau wilayah lainnya, khususnya kelas menengah yang bekerja.

Motivasi dalam Bekerja

Selain soal gaji atau manfaat finansial lainnya, ada banyak hal lain yang menjadi pertimbangan apakah kita merasa cocok atau tidak di suatu organisasi. Kesempatan mengembangkan diri dan belajar hal baru, apresiasi, budaya memberi dan menerima umpan balik, dan ruang untuk work-life balance, merupakan beberapa di antaranya. Setelah merasakan bekerja di berbagai institusi dan bidang selama sepuluh tahun terakhir, bersyukur sekali mendapat kesempatan bergabung di tempat kerja yang sekarang.

Ada masanya, saya berada di dalam lingkungan yang cukup kaku dan tidak terlalu terbuka dengan umpan balik. Pada beberapa situasi, saya berusaha fit in dan banyak menahan diri sesuai porsinya. Ketika suatu saat saya memberikan umpan balik sekaligus usulan untuk suatu proses kerja, responsnya cukup mengecewakan. Tentu hal itu berpengaruh pada suasana dan motivasi dalam bekerja.

Kembali ke hasil survei yang dibahas di awal tadi, bekerja di lingkungan yang suportif tentu membuat waktu yang kita habiskan dengan rekan kerja menjadi positif juga. Walau tentu tidak ada lingkungan, rekan kerja, dan mitra/pemangku kepentingan yang sempurna, tetapi setidaknya sambat jadi berkurang. Energi yang kita keluarkan memang digunakan untuk bekerja (yang semoga memberikan dampak positif), bukan untuk mengeluhkan sistem, atasan, atau rekan kerja lainnya.

Lingkungan yang Menghargai dan Memanusiakan

Di tim saya sekarang, pada agenda standup meeting seminggu sekali, ada satu sesi di mana anggota tim saling memberikan ucapan terima kasih melalui sticky note di platform Miro. Gestur sederhana itu menjadi salah satu penyemangat pada tiap awal pekan untuk kembali bekerja dan merampungkan target-target bersama. Ucapan terima kasihnya sendiri bisa jadi berkaitan langsung dengan pekerjaan atau pesan-pesan personal yang secara tidak langsung mendukung kerja tim juga.

Beberapa ‘thank-you note’ pada sesi standup

Saya jadi ingat salah satu highlight di awal tahun ini. Pada salah satu sesi ‘Bebas Lepas’ (sesi selama 90 menit ini dialokasikan sebulan sekali untuk have fun bersama dan melakukan apapun selain bekerja, hehe..), setiap anggota tim mendapatkan sejumlah sticky not dari rekan kerja lain yang isinya deskripsi/hal positif yang dimiliki orang tersebut. Ide ini datang dari lead kami dan dikumpulkan sebelumnya melalui Google Form.

Sadar atau tidak, kadang kita sendiri tidak menyadari kekuatan atau hal positif yang ada dalam diri kita. Membaca pesan dari teman-teman satu tim seperti ini, rasanya hangat sekali dan mengingatkan kembali bahwa kita berharga, kita punya hal baik yang bisa kita teruskan sambil memperbaiki hal lain yang dirasa masih kurang.

Asupan semangat seperti ini yang kemudian membuat waktu yang dihabiskan dengan rekan kerja menghasilkan energi positif. Hal ini kemudian bisa terbawa juga dampaknya ke keluarga dan personal. Fakta bahwa kita menjadi pribadi yang percaya diri dan merasa berharga, misalnya, membuat mood kita lebih baik saat pulang ke rumah dan bertemu keluarga (apalagi kalau WfH, ya kebanyakan di rumah terus sih hehe.. :D).

Investasi untuk Masa Depan

Masih nyambung dengan hal tersebut, beberapa waktu lalu sempat baca ringkasan di akun Instagram Harvard Business Review tentang dampak kondisi kerja orang tua terhadap perkembangan anak. Artikel selengkapnya ada di sini.

Specifically, workers who had more autonomy and more-supportive supervisors and coworkers were in turn warmer and more engaged when interacting with their infants. These children then grew up to have better reading and math skills, better social skills, and fewer behavioral problems in the first grade,… In light of these findings, the author argues that making sure employees feel respected and supported isn’t just an investment in today’s workforce — it’s an investment in the next generation as well.

Maureen Perry-Jenkins – Harvard Business Review

Meskipun awalnya pernyataan saya sebelumnya hanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman sendiri (bahwa lingkungan kerja yang baik bikin mood jadi baik juga saat berinteraksi dengan keluarga), ternyata hal ini didukung riset longitudinal. Riset ini berfokus pada responden dengan pendapatan rendah, dengan asumsi awal bahwa golongan pekerja ini yang biasanya menghadapi lebih banyak tantangan dalam lingkungan kerja. Asumsi saya, hal ini juga berlaku bagi pekerja kelas menengah dengan beragam bidang pekerjaan.

Setelah melewati pandemi, saya sendiri semakin sadar bahwa kita, sebagai individu, tidak bisa dikotak-kotakkan dalam peran kita di tempat kerja maupun dalam keluarga. Pada dasarnya, kita adalah individu yang multiperan, peran kita yang satu akan sangat berpengaruh pada peran lainnya.

Semoga jika kita memiliki otoritas dalam suatu organisasi, atau setidaknya memimpin suatu tim – besar maupun kecil – kita bisa memberi andil dalam menciptakan lingkungan kerja yang suportif. Semoga juga, di tengah segala kelelahan dan kepenatan dalam bekerja, hubungan dengan sesama rekan kerja memberikan makna dalam kehidupan orang dewasa yang penuh problema ini. Hehe.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s