Selamat pagi, Budapest!
Pagi itu saya, Kiki, dan Fafa bangun agak siang. Padahal malam sebelumnya Kiki sempat mengajak berburu sunrise, entah di Fishermen’s Bastion atau Citadella, saya lupa. Yang jelas, ekspresi saya saat itu adalah, “seriously?” Nggak kebayang aja dinginnya. Brrrr… Saya langsung angkat tangan. Lagipula malam itu kami mengobrol sampai larut. Maklum kami bertiga sudah cukup lama tidak bertemu. Obrolan random dari soal kuliah sampai cita-cita memajukan industri garmen Indonesia. Haha… Obrolan garmen itu gara-gara saya cerita topik global value chain di salah satu mata kuliah dan kenyataan bahwa sebenarnya baju-baju bermerek terkenal itu kebanyakan dibuat di negara berkembang, termasuk Indonesia. Andaikan kita punya modal (dan mau mengerjakan) branding dan marketing yang oke, kita bisa go international juga. Jadi Indonesia nggak hanya dapat sedikit (value added) dari nilai keseluruhan produk itu. Obrolan ini jadi makin nyambung karena sebelumnya Fafa pernah bekerja di industri itu. Jadi dia cukup tahu seluk beluknya.
Anyway… Maaf ngelantur. Kapan-kapan saya bikin tulisan terpisah deh soal topik itu. Menarik banget soalnya.
Kami akhirnya baru keluar rumah menjelang pukul sebelas siang. Selain karena bangun kesiangan, kami pun usai sarapan mengobrol dulu cukup lama dengan tuan rumah. Jadi Kiki selama di Budapest tinggal di rumah salah seorang pejabat Indonesia di bidang perdagangan. Jadilah pagi itu kami ngobrol dulu seputar ekonomi, politik, sampai kehidupan sehari-hari di Budapest. Serius tapi santai kok. Hehe…
Mengintip Budapest dari Buda Castle Hill
Tujuan pertama kami adalah komplek Buda Castle di area perbukitan Buda. Seperti yang saya sebutkan di tulisan sebelumnya, Budapest terdiri dari area Buda dan Pest yang dipisahkan oleh sungai Danube. Buda Castle ini dulunya adalah komplek tempat tinggal raja yang dibangun pada 1265.
Ada beberapa jalur untuk menuju ke tempat ini, kami waktu itu naik bus nomor 16 sehingga tidak perlu berjalan menanjak melalu banyak anak tangga. Setelah turun dari bus, kami masih harus berjalan kaki terlebih dahulu dan melewati Matthias Church, sebuah gereja katolik roma yang dibangun pertama kali pada tahun 1025, kemudian dibangun kembali dengan gaya berbeda pada abad-14. Siang itu daerah di sekitar geraja ini sudah ramai oleh para wisatawan. Seorang pria yang beraksi dengan balon-balon sabunnya menarik perhatian wisatawan. Siapapun boleh berfoto dengan gelembung sabun dan kemudian memberikan uang secara sukarela. Kesempatan ada di mana-mana ya. 😉




Kami terus berjalan menuju teras dan menara bergaya neo-Gothic dan neo-Romanesque. Itulah Fisherman’s Bastion (Halászbástya) yang dibangun pada 1902. Dari teras dan menara itu, kita bisa melihat pemandangan area Pest, sungai Danube, serta jembatan-jembatannya yang indah. Salah satu bangunan yang paling menarik perhatian tentunya adalah Gedung Parlemen Hungaria yang amat megah. Kalau mau bersantai sambil menikmati kopi atau minuman lainnya, di salah satu sudut Fisherman’s Bastion terdapat sebuah kafe. Pemandangan spektakuler, minuman panas, ditambah bonus alunan musik langsung dari pemusik handal. Sempurna, bukan?
Masih di komplek Buda Castle, bangunan penting lainnya adalah Royal Palace. Saat ini Royal Palace dijadikan lokasi Hungarian National Gallery, Budapest History Museum dan National Library. Jika tidak punya cukup banyak waktu untuk masuk ke museum, menikmati keindahan gedung sambil duduk-duduk di tamannya juga sudah menyenangkan. Atau bisa juga coba berjalan ke sisi luar dan untuk melihat pemandangan sungai dan kota dari ketinggian.
Makan Siang di Ráday Utca
Utca dalam bahasa Hungaria berarti jalan. Beragam restoran, kafe, dan bar berlokasi di jalan ini. Tidak hanya menyediakan menu lokal Hungaria, namun ada juga restoran internasional seperti Italia, India, China, dan Timur Tengah. Harga? Hmm…bisa dibilang harga turis sih. Tapi tempat dan rasanya memang tidak mengecewakan.

Hari itu Ráday Utca tampak sepi, sebagian restoran tutup. Fafa kemudian mengingatkan bahwa hari itu, 1 November, adalah peringatan All Saint’s Day di Hungaria, yaitu untuk menghormati keluarga, sanak saudara, dan para pendahulu yang telah tiada. Pada hari tersebut (biasanya berlangsung sampai keesokan harinya) orang-orang biasanya nyekar ke makam keluarga mereka, sama seperti kebiasaan muslim di Indonesia yang nyekar pada bulan Ramadhan ataupun saat Idul Fitri. Kebanyakan toko biasanya tutup pada All Saint’s Day karena merupakan libur nasional.
Beberapa saat berjalan menyusuri Ráday Utca, kami menemukan masih ada beberapa restoran yang buka. Setelah melihat-lihat menu dan harga, kami memutuskan untuk makan di Bormala Bisztro. Kami memilih duduk di luar karena di dalam ruangan terasa agak sempit. Berhubung cuaca sudah mulai dingin, menjadi lumrah melihat kafe dan restoran yang menyediakan selimut di kursi luarnya. Lucu juga sih ya makan sambil selimutan. Tapi enak biar hangat. 😀
Saat pertama melihat makanan yang disajikan, kami gembira luar biasa. Karena sarapan pagi tidak begitu kenyang jadi perut sudah keroncongan. Eh tapiii..ternyata ini porsinya kuli juga. Perlu perjuangan dan kesungguhan untuk menghabiskannya. Hosh.
Sempat Membuat Cookies
Sore itu Fafa sudah terlanjur janji akan masak bersama di tempat Mbak Rosa, teman yang tinggal di gedung flat yang sama dengan Fafa. Daripada kami berpencar, saya dan Kiki memutuskan untuk ikut juga ke rumah Mbak Rosa. Supaya tidak perlu ribet dan waktu yang lama, kami memutuskan untuk membuat cookies sederhana saja. Campur-campur bahan, uyel-uyel (dengan bentuk sesuai selera haha..), tambahkan cokelat untuk pemanis, bakar deh di oven.
St. Stephen’s Basilica
Malam itu kami berniat melihat dancing fountain di Margaret Island. Karena masih ada waktu sebelum pukul sembilan, kami mampir ke St. Stephen’s Basilica. Gereja katolik roma ini merupakan salah satu gedung tertinggi di Budapest selain Gedung Parlemen. Tingginya? 96 meter ‘saja’. Yang baru saya ketahui adalah bahwa di Budapest ada kebijakan yang mengatur gedung-gedung yang baru dibangun tingginya tidak boleh melebihi tinggi kedua gedung tersebut. Wow!

Dancing Fountain di Margaret Island
Apa? Di pulau? Tenang…nggak jauh kok. Ini ada daratan seuprit di tengah sungai Danube. Hehe… Secara umum pulau yang dalam bahasa Hungaria disebut Margit sziget isinya taman dan kemudian dibangun pusat olahraga seperti renang dan tenis. Nama pulau ini diambil dari nama seorang putri raja yang berkuasa pada abad-13. Dahulunya Margaret Island merupakan pusat keagamaan.

Setiap pukul sembilan malam hari, di pulau ini terdapat pertunjukan dancing fountain yang bisa disaksikan secara gratis. Dalam durasi sekitar 30 menit, kita dihibur oleh alunan musik dan air mancur warna-warni. Yah..tidak terlalu luar biasa sih, mungkin ada yang sudah sering lihat di Grand Indonesia, Jakarta. Hehe.. Satu-satunya yang luar biasa adalah karena dancing fountain ini di Budapest. 😉
Hmm..sudah malam nih, saatnya istirahat. Sampai jumpa keesokan harinya masih dalam rangkaian perjalanan Budapest.
pengen ke Hungary … kamu kesana waktu itu berapa derajat Cha ?
LikeLike
Pas siang sekitar 13-17 derajat, mbak. Gak terlalu dingin sih dibanding Praha. Aku ga ngecek suhu di Praha tapi agak2 kayak Belanda anginnya hehe… Brrr..
LikeLike
Udah posting ttg Praha belom? Rencana pengen ke Praha kalo ada rejeki nyasar 😉
LikeLike
semoga rejekinya segera nyasar ke mbak fascha yaa hehe.. belum posting ttg praha. soon. 🙂
LikeLike
amin …. aku menunggu yaaa
LikeLike
Masih ada kelanjutannya,ya, mbk? Wah, asyik sekali,ya. Ada waktu luang liburan saint day di sela” aktivitas kuliah S2
LikeLike
Iya nanti aku lanjut lagi nulisnya hehe.. Iya kebetulan lagi libur nasional, jadi dua temenku yg di Budapest bisa nemenin jalan2. Kalau aku kuliahnya di Belanda.
LikeLike
wow, di negeri kincir angin? Asyik, dong. Bermandikan tulip di sana.. hoho.. Kebetulan pusat kantorku (KNCV) di sana, mbak. Tapi belum berkesempatan ke sana.. 😦
LikeLike
Kyaaaaaaaaaa, Budapest! One of my wishlists! Enak banget sih bisa kesampaian ke sana 😦 Emang indah ya kotanya. Budapest, Prague, Copenhagen, Helsinki, Stockholm, Bern, Luxembourg, Sofia, entah kapan bisa ke sana..
LikeLike
Aku malah sebenernya nggak punya wishlist kota2 di Eropa lho. Kalau ada kesempatan pengin jalan2 tapi so far nggak ada yang pengin banget gitu. Cuma ya aku cenderung suka tempat2 yg belum aku tahu. Selain itu, kalau pergi ke tempat2 yang nggak terlalu mainstream, lebih besar kesempatannya buat ngirim tulisan ke media massa hehe… *modus*. Kalau cerita Paris, Roma, dll, gt kan kayaknya udah banyak ya. 😀
LikeLike
Betul! London, Berlin, Paris, dan kawan-kawan itu udah biasa. Nah, Eropa Utara sama Timur yg belum. Sama Amerika Selatan sih. Otak bisnisnya kerja nih 😀
LikeLike
hehe..yah lumayan supaya ceritanya nggak nangkring di blog aja kan. dan bisa sekalian berbagi sama lebih banyak orang. 😉
LikeLike
cookiesnya ga dipajang? iya tuh dancing fountain di GI kog udah lama ga kedengaran ya..
LikeLike
Tadinya mau dipajang tapi kok semacam OOT ya haha.. Oh iya, itu masih ada ga sih mbak? Aku bukan anak mal sih. Waktu itu liat dancong fountain tahun 2010, itu pun dalam rangka menemani teman dari Jogja yg pengin lihat. :p
LikeLike
ku juga bukan anak mall.. ntar kalu kesana ku periksa ya..
LikeLike
Bagus ya Cha kotanya dan enak ada local guidenya, temen-temen yang kuliah disitu.
LikeLike
Iya, mbak. Aku menikmati banget jalan-jalan sambil reunian hehe.. dan betul, sangat membantu karena ada local guide. 😉
LikeLike
Taman Royal Palacenya cakepnya ga ketulungan T_T
LikeLike
Iya mbaak.. kalo pas summer pasti lebih betah juga lama2 main di situ. kalo sekarang udah semriwing2 sihh hehe..
LikeLike