Indonesia, Traveling

[SumateraTrip-3] Museum yang Terabaikan

Mendengar orang sekeliling berbahasa Minang, saya beberapa kali harus menyadarkan diri sendiri bahwa saya sedang berada di Padang, Sumatera Barat. Iya, tentu sebelumnya saya pernah mendengar juga orang berbahasa Minang, namun tidak masif seperti ini. Hehe… Bagi saya, mendengar orang bercakap-cakap dengan bahasa daerah ini menyenangkan. Nadanya yang khas rasanya enak didengar.

Selain bahasa Minang, di rumah kontrakan Dewi saya mulai mengakrabkan diri dengan bahasa Mukomuko dari Bengkulu. Nah, untuk yang satu ini saya cukup asing karena sebelumnya jarang (atau belum) mendengar. Di rumah tersebut, tinggal tiga orang lainnya bersama Dewi, satu kakaknya, satu adiknya, dan satu sepupunya. Bram dan Dewi saat ini kuliah di Unand, sedangkan adik dan sepupunya masih SMA, namanya Nisa dan Deby. Diam-diam saya salut karena mereka sudah berani tinggal jauh dari orang tua dan mandiri di usia remaja. Ditambah cita-cita mereka yang luar biasa. “Mau keliling dunia,” kata Deby. Saya mengamini dan mendoakan semoga kami suatu saat bisa berjumpa di penjuru lain di bumi ini.

“Kakak ngerti kami ngomong apa?” tanya Dewi sambil tertawa melihat saya bengong mendengar mereka berbahasa Mukomuko. Saya menggeleng. Katanya selain bahasa Mukomuko, di Bengkulu masih ada beberapa bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk setempat. Semakin bangga deh pada kekayaan dan keragaman Indonesia.

Pagi hari di hari kedua, saya dan Dewi berencana akan mengendarai sepeda motor ke Teluk Bayur. Rasanya tak sabar saya menunggu-nunggu bisa melihat pemandangan teluk tersebut dari atas, yang selama ini hanya saya kenal lewat lagu lawas berjudul ‘Teluk Bayur’. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Ban sepeda motor yang akan kami tumpangi ternyata bocor. Sepagi itu belum ada tempat tambal ban yang buka. Jadi kami harus menunggu sampai agak siang. Rencana ke Teluk Bayur pun dibatalkan.

Dalam perjalanan, saya sering disadarkan bahwa apa yang kita rencanakan tidak selalu bisa terwujud. Saya juga semakin tersadar bahwa perjalanan bukanlah seberapa banyak tempat yang kita kunjungi, tetapi bagaimana kita memaknai prosesnya. Ini bukan lomba, tak perlu pula kita sampai membanding-bandingkan dengan perjalanan orang lain. Your journey is your journey, not a competition. Begitu bunyi kicauan Trinity (@TrinityTraveler) di jejaring sosial Twitter di suatu hari dalam perjalanan saya. Saya tersenyum mengiyakan dalam hati.

Museum Adityawarman

Rencana selanjutnya adalah mengunjungi Museum Adityawarman d Jalan Diponegoro No. 10, Padang. Adityawarman adalah raja di Kerajaan Melayu yang menguasai wilayah Sumatera Barat pada abad 14. Ada juga sumber yang menyatakan bahwa Adityawarman masih memiliki hubungan dengan Raden Wijaya sang pendiri Majapahit. Meskipun meninggal di Batusangkar, Sumbar (saya sempat mengunjungi makamnya di Batusangkar), salah satu sumber menyebutkan ia lahir di Majapahit.

Museum Adityawarman menyimpan koleksi kebudayaan Sumatera Barat. Museum berbentuk rumah gadang ini memiliki gedung utama dengan dua lantai ditambah satu gedung di belakangnya yang juga digunakan untuk display. Memasuki pintu gedung utama, kita akan menemukan meja resepsionis, kemudian bebas memilih akan masuk ke ruangan sebelah kiri atau kanan. Saat saya dan Dewi masuk, tidak ada petugas yang menunggu di meja tersebut. Beberapa saat kemudian, barulah seorang petugas datang dan meminta saya mengisi buku tamu.

Sebenarnya yang disajikan di museum ini sangat menarik. Ada berbagai display dari mulai makanan, pakaian, alat musik, sampai senjata tradisional, yang dilengkapi dengan keterangan berupa teks. Ada pula replika beranda rumah khas Minang dan pelaminan pengantin. Biasanya display tersebut dibagi-bagi lagi menjadi beberapa daerah, seperti Solok, Bukittinggi, Agam, dan lainnya. Lagi-lagi kita disadarkan akan kekayaan Indonesia. Di satu provinsi saja budayanya beraneka ragam.

Turun ke lantai bawah, kami menemukan koleksi arkeologi. Sayangnya, seperti di ruangan sebelumnya, kaca-kaca display terlihat kotor dan kurang terawat. Kami ingin bertanya kepada petugas yang ada di ruangan tersebut tetapi ia sedang sibuk menelepon dengan poselnya. Heboh sekali sepertinya obrolan mereka, sampai-sampai sang petugas cuek bebek melihat ada pengunjung.

Saat saya dan Dewi hendak keluar ruangan, petugas di meja resepsionis memberi tahu bahwa di belakang masih ada satu gedung lagi. Ternyata disana masih ada display berupa berbagai kerajinan seni rupa (motif ukiran dan ragam hias misalnya) dan informasi seputar etnografi. Saya baru tahu bahwa bahasa Minang punya aksara sendiri yakni Aksara Minangkabau. Aksara ini sejenis dengan aksara Sunda dan Jawa dalam hal satu huruf mewakili satu suku kata. Kalau bahasa asing kita mengenal hiragana dan katakana (Jepang) yang juga serupa. Aksara Minangkabau di antaranya: a ba sa ta ga da ma ka na.

Oh ya, di depan ruangan ini, kami juga menjumpai petugas museum yang tak kalah unik. Kalau sebelumnya kami menemukan petugas yang menjelma sebagai Miss Ring-ring (sibuk bertelepon ria), kali ini kami mendapati petugas museum sedang asyik cukur kumis dan janggut sambil duduk memegang cermin. Feels like home ya, Pak?

Berfoto dengan Dewi sebelum meninggalkan museum

Namun demikian, tak ada ruginya mengunjungi museum ini. Pengunjung hanya perlu merogoh uang sebesar Rp2000 per orang dan Rp1000 untuk anak-anak. Jika datang dengan rombongan akan lebih murah lagi karena hanya dikenakan biaya setengah dari jumlah orang dalam rombongan tersebut.

Tampak luar, bangunan museum ini memang bagus. Di depannya juga ada Monumen Korban Gempa (Padang 2009) yang dihiasi relief yang menggambarkan suasana gempa. Ada pula marmer bertuliskan puisi-puisi doa dan semangat untuk warga Padang pasca gempa. Sayangnya, keindahan di luar itu sirna ketika kita mulai masuk halaman museum yang terlihat kurang terawat. Belum lagi sampah yang berserakan disana. Yuk mulai dari diri sendiri untuk peduli warisan kebudayaan dan menjaga lingkungan!

Advertisement

2 thoughts on “[SumateraTrip-3] Museum yang Terabaikan”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s