Selamat Datang di Bumi Sepintu Sedulang
Begitulah kata-kata yang menyambut saya ketika keluar dari Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung. Bagi saya kata-kata “sepintu sedulang” itu rasanya indah dan enak didengar, walaupun pada saat itu saya tidak terlalu paham apa maksudnya.
Setelah saya merasakan tinggal di Bangka, barulah saya tahu makna dibalik itu. “Sepintu sedulang” berarti satu pintu satu dulang (yaiyalah!). Tahu pintu? Tahu dulang juga kan? Pintu mewakili bagian dari rumah, sedangkan dulang adalah semacam tempat besar yang biasa digunakan untuk menaruh makanan. Sepintu sedulang memiliki makna kebersamaan dan saling membantu. Jika setiap rumah menyumbang satu dulang, maka jika dikumpulkan dari banyak rumah, dulangnya pun akan banyak.
Aplikasi nyata dari budaya sepintu sedulang ini adalah “nganggung”. Budaya ini masih kental di masyarakat Melayu Bangka. Nganggung merupakan tradisi gotong royong masyarakat Bangka dengan membawa makanan lengkap di atas dulang kuningan yang ditutup dengan tudung saji. Tiap pintu rumah (keluarga) membawa satu dulang berisi makanan sesuai dengan kemampuan keluarga tersebut. Biasanya nganggung diadakan di pelataran masjid. Mengapa? Karena pelaksanaannya pun biasanya bertepatan dengan hari-hari penting agama Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, nisfu Sya’ban, dll.
Saya dan teman-teman KKN pernah diundang warga desa Bintet, kec. Belinyu, untuk ikut dalam acara nganggung di masjid terdekat. Acara dimulai dengan ceramah dan membaca doa bersama, baru kemudia ditutup dengan makan-makan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, dulang pun kini kebanyakan telah digantikan dengan rantang, mungkin dengan alasan supaya lebih praktis. Dalam rantang empat lapis, biasanya terdapat nasi, daging sapi/ayam/ikan, sayur, dan buah. Komplit dan sangat menyenangkan untuk anak-anak KKN yang jarang makan enak dan bergizi (FYI, KKN di Bangka tidak seperti KKN di daeah-daerah di Jawa yang biasanya surplus makanan :p).
Dalam acara nganggung ini, rantang dikumpulkan terlebih dahulu lalu dibagikan secara acak, jadi si pemilik rantang tidak mendapatkan masakan buatannya sendiri. Hehe… Makanan dalam satu set rantang bisa dinikmati oleh lebih dari seorang kok, jadi yang tidak membawa rantang tetap bisa kebagian makan (baca: anak-anak KKN :D). Sungguh mulia orang-orang yang memberi makan para musafir. Semoga kebaikan mereka dibalas oleh Allah SWT. 🙂
Budaya sepintu sedulang ini tentu lebih luas dari sekadar arti harfiah. Dulang tak selalu berarti makanan. Sepintu sedulang adalah cermin dari budaya saling membantu dan bekerja sama. Dalam hal-hal lainnya, misalnya jika salah satu anggota masyarakat sedang mengalami kesulitan, tentunya warga lainnya dapat saling membantu. Dengan prinsip sepintu sedulang, maka sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit. Kontribusi dari setiap elemen terkecil masyarakat pun pada akhirnya dapat membuat perubahan besar.
Saya yakin di wilayah lain di Indonesia pun terdapat budaya seperti ini. Dengan nama yang berbeda, ataupun tanpa nama. Apapun itu, semodern apapun hidup kita nantinya, semoga budaya saling membantu dan bekerja sama takkan pernah hilang. Bukankah itu adalah ciri khas bangsa Indonesia?