Ada hal yang tidak diberitahukan orang kepadamu tentang menjadi orang tua: kau akan merasakan kegembiraan luar biasa, rasa cinta yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun juga, tapi pada saat yang sama, dirimu menjadi rentan.
Seluruh eksistensimu bukan lagi milikmu sendiri. Ukuran kebahagiaanmu tiba-tiba berubah. Kau akan bahagia saat anakmu gembira, merana saat dia terluka, dan apa pun yang dia rasakan, kau akan merasakannya dua belas kali lipat. Kau mencoba melakukan segalanya dengan benar tapi kau bakal sering gagal.”
(Lebih Senyap dari Bisikan, halaman 58)
Ketidaksengajaan membawa saya pada sebuah cuitan @andinadwifatma di Twitter yang membahas tentang novel barunya. Setelah saya klik dan membaca utas tersebut, saya tak ragu untuk memesan bukunya melalui salah satu platform belanja daring.
Begitulah awal mula perjumpaan saya dengan novel ‘Lebih Senyap dari Bisikan’ yang baru terbit dan dicetak kali pertama bulan Juni lalu. Tanpa saya sadari, ternyata novel yang saya beli adalah edisi bertanda tangan penulisnya. Rupanya saya masuk barisan sejumlah pembaca pertama novel ini. Hehe..

Cuitan penulis yang membuat saya tertarik tak lain adalah tentang peran perempuan (hamil, melahirkan, dan berbagai emosi di dalamnya) serta isu relasi dalam keluarga dan masyarakat. Saya merasa terkait dengan diskusi itu, terlebih setahun belakangan ini saya pun baru menjalani peran sebagai ibu yang rasanya seperti masuk ke dimensi baru dengan berjuta misteri dan kejutan.
Ya, menjalani peran ini rasanya memang nano nano. Dan.. saya jadi mengerti bahwa spektrum perasaan itu luaaas sekali. Dalam satu waktu, seorang ibu bisa merasakan bahagia, takut, dan khawatir. Ketika ibu merasa lelah, misalnya, bukan berarti ia tak bahagia atau tak mencintai anaknya. Perasaan tak melulu tunggal dan bukan persoalan hitam atau putih.
Tema inilah yang dengan apik diangkat oleh Andina Dwifatma. Bercerita tentang Amara dan Baron, sepasang suami istri yang telah delapan tahun menikah, berusaha memiliki momongan, dan perjalanan mereka ketika akhirnya menjadi orang tua. Apakah setelah memiliki anak mereka hidup bahagia? Ya, tentu ada kebahagiaan yang mengiringi kehadiran buah hati. Namun, banyak pula dinamika yang menguji ketahanan mereka, baik sebagai individu maupun keluarga.
Sungguh, mengurus bayi tak seindah foto-foto menggemaskan di media sosial. Apalagi bagi orang tua baru, banyak sekali hal yang begitu menguras fisik dan emosi. Kurang tidur, kelelahan, belum lagi persoalan menyusui. Apakah ASI keluar dengan lancar, apakah bayi sudah bisa menyusu (dengan posisi yang benar), dan sebagainya. Itu adalah sebagian dari banyak tantangan yang mungkin muncul.
Lewat buku ini, penulis juga berusaha mendiskusikan hal-hal yang mungkin tak selalu dibahas secara terbuka di ruang obrolan sehari-hari: tentang basa-basi sosial yang membuat tak nyaman (Sudah punya anak? Kok belum punya momongan?), rumitnya hubungan anak-orang tua, sampai masalah finansial yang bisa menjadi guncangan bagi sebuah keluarga. Dan ketika masalah itu datang, isunya bukan hanya uang, namun bagaimana individu bisa bangkit dan bertahan, bagaimana pasangan bisa saling terbuka dan keluarga yang terpuruk bisa bangun lagi bersama-sama.
Perjalanan naik-turun hubungan Baron dan Amara menunjukkan betapa hubungan dalam pernikahan adalah sesuatu yang perlu dirawat dan dijaga bersama. Yang saya sukai dari buku ini, alurnya terasa mengalir dengan baik, perubahan dan transformasi para tokohnya pun terasa alami dan masuk akal seiring fase yang mereka lalui. Selain itu, penceritaan dengan sudut pandang orang pertama (dalam hal ini Amara) memberikan kontribusi yang kuat dalam menyelami perasaan Amara dalam berbagai perannya: sebagai anak, perempuan, istri, ibu, dan juga pekerja.
Selain Baron dan Amara, ada pula tokoh Mami, ibu Amara yang telah putus kontak dengannya sejak Amara meninggalkan maminya untuk menikah dengan Baron yang berbeda agama. Bersatunya kembali Amara dan Mami tak lain karena adanya Yuki — anak Amara dan Baron – yang mencuri hati Mami begitu saja. Refleksi hubungan Amara dengan Mami juga rasanya sangat dekat dengan pergulatan ibu baru, yang di satu sisi mungkin menyimpan sejumlah kekecewaan kepada orang tua, namun juga menyadari begitu tidak mudahnya menjadi orang tua. Dan karenanya, menyadari pula bahwa begitu banyak jasa orang tua, terlepas segala kekurangannya.
Untuk yang sudah menikah, mungkin buku ini seakan mengingatkan akan segala perjuangan yang pernah dilalui dengan pasangan. Tentu tak semua sama, namun setidaknya banyak hal yang dapat kita refleksikan.
Bagi yang belum menikah, buku ini memang tidak memberikan gambaran yang melulu manis tentang pernikahan. Namun justru dengan membuka mata akan realita yang ada, semoga setiap individu dapat memasuki institusi pernikahan dengan segenap kesadaran akan peran, tanggung jawab, dan segala konsekuensinya.
Lebih Senyap dari Bisikan telah menambah ruang diskusi tentang perempuan dan pernikahan, serta hal-hal yang mungkin selama ini lebih banyak disimpan dan tak dibicarakan.
Informasi buku Judul: Lebih Senyap dari Bisikan | Penulis: Andina Dwifatma | Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Jumlah halaman: 155 | Cetakan pertama: Juni 2021
Ohh dia penulis buku ya. Aku baca cuitan itu, cuma kulewati saja karena kupikir akan membahas hal2 basi yang biasa diperdebatkan tentang pro kontra Ibu. Jadi, aku hanya melewati cuitan itu.
Bagus ya nampaknya bukunya. Jadi tertarik baca.
LikeLike
Iya, Mbak Deni. Kalau dibaca utasnya, malah gak ada perdebatan soal itu sih hehe..
Yes, menurutku ini layak direkomendasikan. 🙂
LikeLike
Wah boleh nih kak rekomendasinya. Terima kasih. Anyway kalau secara pribadi, kalau ditanya mengapa ga kapok melahirkan, jujur, saat lahiran normal kemarin saya lupa semua rasa sakitnya. Jadi mungkin itu kali ya alasan ga kapok lahiran. Hehehe.
LikeLiked by 1 person
Hehee.. iya. Kalau ditanya gimana rasanya kontraksi, nggak bisa jelasin ya. Cuma yang saya inget sih ya rasanya luar biasa. 😆😂
LikeLike