Other Stories

Untukku pilihanku, untukmu pilihanmu

Sumber: Bisnis.com

“Leadership is not a position. It is action with vision. Bukankah Rasulullah SAW telah bersabda setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” – Syafii Antonio

Kalau kata beberapa teman sih, jangan senang dulu setelah tanggal 9 Juli 2014 (hari pelaksanaan Pilpres)  lewat karena ‘kerusuhan’ di dunia maya belum akan selesai sampai di situ. Dan ternyata itu terbukti. Pun setelah tanggal 22 Juli 2014 (pengumuman resmi hasil Pilpres oleh KPU), facebook dan berbagai media sosial masih diramaikan oleh orang-orang yang euforia maupun yang masih belum move on.

Pilpres kali ini memang sungguh berbeda. Dulu mana ada sih orang sampai unfollow bahkan unfriend temannya sendiri di Facebook? Saya termasuk yang melakukannya. Bukan…bukan semata-mata karena orang tersebut berbeda pilihan dan pandangan dengan saya. Saya unfollow orang-orang yang menyebarkan isu tanpa sumber yang jelas, memberikan tautan berita dengan sumber tertentu namun tidak dapat dipertanggungjawabkan, maupun mereka yang dengan sengaja berkata kasar, menjelek-jelekkan berbagai pihak dengan pengetahuan yang minim, dan sebagainya, termasuk orang-orang yang pikirannya negatiiiif terus. Mau siapapun berbuat baik selalu ada salahnya di mata orang tersebut.

Saya masih berteman dengan banyak sekali orang yang berbeda pilihan dengan saya, bahkan menarik untuk melihat sudut pandang yang berbeda. Saya tidak memandang perbedaan sebagai masalah melainkan kekayaan. Kami juga suka berdiskusi. Saya tahu mana teman yang bisa diajak diskusi dan mana yang kurang bisa, sehingga saya pun pilih-pilih di lapak mana saya meninggalkan komentar di facebook. Diskusi berbeda dengan dengan berdebat. Seringkali, orang-orang berbalas komentar di facebook hanya mau menunjukkan kalau mereka paling benar dan lawan bicaranya salah, keduanya tidak mau menerima apa yang dikatakan lawan bicaranya. Tidak ada titik tengah. Tidak ada poinnya percakapan seperti itu. Lebih baik diam. (baca juga ‘Tiga Gerbang‘)

Kini, setelah ada pasangan presiden terpilih, alangkah bijak kalau pendukung yang menang tidak berlebihan dan yang kalah bisa menerima. Suatu waktu ada yang bilang, “Menurut gue dua-duanya nggak ada yang cocok jadi presiden.” Lah terus mau negara ini nggak usah punya presiden aja gitu? Kita harus bangga bahwa kita sudah menunaikan hak pilih, bahkan banyak relawan yang berpartisipasi mengawal jalannya pilpres sampai penghitungan suara (sila cek Kawal Pemilu). Saya berpesan kepada diri saya sendiri bahwa saya harus bisa menghargai orang lain, ya termasuk dua pasangan capres yang berpartisipasi dalam pemilu kali ini. Nggak semua orang mau repot-repot dan capek-capek ngurusin negara lho, apalagi baru maju jadi calon aja sudah dihujat sana-sini, difitnah ini-itu. Masalah niat biarkah Tuhan yang tahu, yang bisa kita lakukan adalah melihat tindakan nyatanya.

Kini, setelah ada pasangan presiden terpilih, alangkah bijak kalau pendukung yang menang tidak berlebihan dan yang kalah bisa menerima. Setiap orang pasti punya pertimbangan masing-masing saat memilih.

1. Orang yang memilih Prabowo tidak bisa serta-merta dicap pro orde baru atau otoriter. Namun pemilih Prabowo juga tidak bisa dengan jumawa merasa ‘lebih islam’ daripada pemilih Jokowi karena merasa mereka berada di pihak parta-partai islam.

2. Sebaliknya, pemilih Jokowi tidak bisa serta-merta dicap pro asing dan sekuler. Dan pemilih Jokowi juga tidak perlu jumawa bahwa mereka lebih rasional daripada pemilih Prabowo karena banyak dari pemilih Prabowo yang ‘manut’ pada keputusan partai.

Sampai dengan pilpres, prinsipnya “Untukku pilihanku, untukmu pilihanmu”. Saya dan suami pun berbeda pilihan, itu bukan sebuah masalah. Justru di situlah kita belajar untuk memberikan ruang berpendapat dan saling menghargai. Dan ternyata teman-teman saya yang lain pun banyak kok yang suami-istri dan keluarga besar berbeda pilihan. Kenapa perbedaan harus dijadikan masalah?

Pemilu itu proses, memilih presiden juga proses, bukan tujuan. Kita punya tujuan yang sama kan? Mau Indonesia maju dan lebih baik kan? INDONESIA berarti semua orang, tanpa memandang suku bangsa, agama, ras, warna kulit, tingkat ekonomi, tingkat pendidikan, dan lainnya. Nah kalau presiden dan wakilnya sudah terpilih, sekarang langkah selanjutnya adalah bagaimana caranya dengan dipimpin mereka dan dengan orang-orang yang sudah ada di parlemen, kita sebagai warga bisa berkontribusi positif. Tentu bukan mudah bagi seseorang yang bukan pendukung Jokowi kemudian harus menerima untuk dipimpin Jokowi (terlebih sentimen terhadap partai di belakangnya). Pastilah selalu ada hal negatif sekecil apapun yang terlihat walaupun Jokowi dan timnya sudah mengusahakan hal yang baik.

Saya sadar sesadar-sadarnya, pasangan presiden dan wakil presiden pilihan saya bukanlah malaikat. Saya sadar yang saya pilih adalah manusia biasa, sama seperti kita semua, bagian dari kita semua. Saya memilih pasangan yang saya yakini. Saat pemilu legislatif, saya memilih partai yang saya yakini baik. Partai yang pernah melakukan kesalahan tapi hati saya masih percaya bahwa masih banyak orang baik di dalamnya (ya, pilihan saya pada pemilu legislatif berbeda dengan partai pengusung pasangan presiden yang saya pilih).

Sekarang, apakah kita masih harus menengok ke belakang? Saling menyalahkan yang kita pilih di Pilpres kemarin?

Saya bangga dan salut ketika para pendukung Jokowi-JK di Pilpres kemarin kemudian langsung membentuk barisan untuk mengawal dan mengawasi pemerintahan Jokowi-JK. Istilanya, “kemarin lo gue pilih, sekarang lo gue awasi”. Bangga juga sama pendukung kedua pasangan yang sebelum pengumuman rela menyumbangkan waktu, tenaga, dan ide untuk membuat video di bawah ini. Mereka mengajak kita semua untuk damai, menghargai perbedaan, dan ikut mendukung siapapun yang jadi persiden. Ingat, mendukung bukan berarti selalu setuju pada semua kebijakan, namun berperan aktif dan tetap mengkritisi yang sifatnya membangun.

Kini, setelah ada pasangan presiden terpilih, tidak ada lagi SATU atau DUA, yang ada adalah TIGA: Persatuan Indonesia.

Teman-teman, kita patut bersyukur bahwa kita sudah melawati satu fase dalam bernegara. Semua tantangan, suka, dan duka dalam proses demokrasi ini semoga membuat kita semua dewasa. Sudah saatnya kita tidak bicara ‘saya’ dan ‘kamu’, tetapi bicara tentang ‘kita’. Lihatlah proses panjang yang telah kita lewati dalam Pilpres kali ini sebagaimana yang didokumentasikan oleh 17 jurnalis video dalam Pilpres 2014. Sekarang, pantaskah kalau kita masih saling mencela dan menyindir?

Sebelum pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, bolehlah kita berprinsip “Untukku pilihanku, untukmu pilihanmu”. Tapi sekarang kita tidak punya pilihan lain selain bersatu dan membangun Indonesia BERSAMA. Ya, bersama, bukan semata-mata menyerahkan semua beban kepada pemimpin kita.

*adalah bohong jika saya bilang saya tidak menangis saat menuliskan semua ini dan menyaksikan video ini

1865143963390123180513

6 thoughts on “Untukku pilihanku, untukmu pilihanmu”

    1. Iya An. Andaikan semua orang mikirnya kayak gitu ya. Kita waspada dan kritis boleh, tapi kalau berpikiran negatif terus kan capek yaa..mendingan kerja nyata aja. Hehe..

      Like

Leave a comment