Asia, Traveling

Antara Saya dan Koper: Benci Tapi Rindu

(Tulisan ini sebetulnya sebagai upaya membayar utang menulis, menyambung tulisan sebelumnya tentang perjalanan di Kyoto. Oh ya, masih ada janji yang belum terlunasi juga menyambung cerita backpacking Sumatera. Aaarghh..banyak utang!)

***

Saya tenggelam di tengah keramaian stasiun subway Karasima-oike di Kyoto. Tenggelam sambil menggeret koper, menggendong ransel, serta menggenggam peta. Koper yang saya bawa pun bukan koper kecil yang biasanya saya bawa saat ada perjalanan dinas, namun koper yang lebih besar karena meeting kali ini memakan waktu sampai seminggu (dan ditambah belanja oleh-oleh juga :p).

Antara saya dan koper mungkin ada sebuah love-hate relationship. Benci tapi rindu, tak mau dekat-dekat tetapi terkadang butuh. Koper diciptakan pasti bukan tanpa alasan. Kenapa ada ransel dan ada koper? Keduanya pasti punya fungsi yang berbeda meskipun sama-sama untuk menyimpan barang akan akan dibawa dalam perjalanan.

Jadi, siapa yang setuju kalau jalan-jalan enakan bawa ransel? *ngacung*

Kalau mau jalan-jalan dengan budget terbatas, tentu membawa ransel lebih nyaman karena mudah dibawa untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, mau jalannya menurun, menanjak, bergelombang, becek, nggak ada ojek, apalagi kalau naik-turun tangga. Namun karena beberapa kali saya ada pekerjaan di luar angkasa negeri, tentu saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk jalan-jalan kalau memang pekerjaannya selesai di akhir pekan (ajimumpung). Sama seperti pekerjaan ke Singapura April lalu (cerita bisa dibaca di SINI), pada bulan Juli lalu saya ada pekerjaan di Kyoto, Jepang.

Lalu apa hubungannya dengan koper? Karena sebelumnya ada pekerjaan kantor, jadinya saya membawa koper alih-alih ransel. Tak lain karena harus membawa blazer, high heels, dan lain sebagainya yang sepertinya bakalan susah kalau pakai ransel.

Setelah dari Kyoto, saya berencana akan mengunjungi teman saya, Raras, di Osaka. Kali pertama saya mengenal dan bertemu Raras adalah pada 2009 saat saya mewakili kampus saya menghadiri sebuah student conference di Sendai, Jepang. Saat itu Raras adalah mahasiswa S1 di Sendai University yang turut menghadiri friendship party dari conference tersebut. Setelah pertemuan pada tahun 2009 itu sebenarnya kami belum pernah bertemu lagi, namun kami terus menjalin komunikasi di media sosial facebook dan blog. Jadi rasanya sudah sangat akrab hehehe.. Saat ini Raras sudah menyelesaikan studi S2-nya di Osaka University dan bekerja di Osaka (Raras hebaaat!).

“Dari Kyoto ke Osaka deket kok, Cha. Naik Hankyu Line aja,” saran Raras. Menggunakan moda kereta Hankyu ini memang relatif lebih murah dibandingkan Japan Railways. Hankyu Line adalah moda kereta api yang khusus menghubungkan Kyoto-Osaka-Kobe.

Namun karena bukan kereta jarak jauh, dengan Hankyu Line ini saya harus beberapa kali berganti kereta di stasiun tertentu. Saya optimis saja bahwa di semua stasiun itu terdapat eskalator sehingga saya bisa bergerak dengan nyaman walaupun membawa koper. Ternyata dugaan saya salah, ada pula stasiun yang hanya memiliki tangga (ada lift juga namun jaraknya jauh dan diutamakan untuk orang tua dan penyandang cacat). Hal ini membuat saya terpaksa harus usaha lebih untuk mengangkut koper yang beratnya luar biasa. Alamaaak…mau pingsan saja! Terkadang ada saja orang Jepang yang membantu karena (mungkin) kasihan melihat saya. Namun di waktu lain mereka sepertinya terlalu terburu-buru sehingga tidak menghiraukan gadis malang ini.

Meskipun jarak Kyoto – Osaka tidak sampai 50 km, perjalanan dengan membawa koper ini membuat saya sampai di Osaka dalam waktu sekitar dua jam termasuk pindah-pindah kereta dan sempat salah stasiun. Bahkan saya sudah sempat keluar area stasiun karena saya kira itu stasiun terakhir. Saya menelepon Raras di telepon umum koin dan ternyata bukan stasiun itu yang dimaksud. Saya saat itu turun di Osaka Umeda Station padahal seharusnya saya menuju arah sebaliknya. Untunglah tidak harus membeli tiket lagi untuk masuk karena sebenarnya kesalahan itu juga disebabkan miskomunikasi dengan petugas stasiun yang kurang paham bahasa Inggris (atau salah saya karena tidak pandai berbahasa Jepang? hehe..).

Sekitar 30 menit kemudian saya sampai di Ishibashi Station. Ini dia stasiun tujuan saya yang merupakan stasiun terdekat dengan rumah Raras. Sambil menunggu Raras, saya berusaha meregangkan badan yang pegal-pegal. Keringat masih terasa bercucuran karena selain lelah menggeret koper, suhu udara rata-rata di Kyoto dan Osaka saat itu mencapai 38-39 derajat celcius.

osaka
Akhirnyaaa..saya dan barang bawaan sampai di Ishibashi Station.

Tak lama kemudian Raras datang dengan kuda putihnya sepedanya. Nampaknya ia kaget melihat koper saya sebesar itu. Raras pikir masih bisa terangkut dengan sepeda, namun saya mengusulkan saya naik taksi saja. Karena tak jua mendapat taksi, kami mulai berjalan (Raras menggiring sepedanya) dengan harapan taksi segera lewat. Namun sudah lebih separuh jalan, hasilnya tetap nihil. Akhirnya di siang bolong yang super panas itu kemesraan saya dan koper terus terjalin. Begitu sampai di tempat tinggal Raras, saya langsung terkapar di sofa bed-nya yang empuk dan nyaman. Udara sejuk dari pendingin ruangan mulai menyapu kulit saya yang sedari tadi kegerahan.

Rasanya saya tak kuat melakukan apapun lagi. Saat itu sedang bulan Ramadhan, namun karena kebetulan saya sedang tidak berpuasa, saya langsung meneguk sebotol air minum. Kami pun mengobrol sambil tidur-tiduran. Rasanya sempurna nikmat.

“Cha, udah kuat jalan lagi belum? Tadinya mau ngajak ke Kobe. Sekalian buka puasa di sana aja, ada masjid,” kata Raras.

Saya melihat jam. Pukul 16.30.

Akh, rasanya belum terlalu sore. Apalagi di musim panas, matahari bersinar lebih lama dari biasanya.  Saya segera beranjak dari kenikmatan duniawi. Ready for the next destination: Kobe. Dan tentu kali ini tak perlu membawa koper. Bye bye, koper… (untuk sementara)

*bersambung lagi yaaa…

1865143963390123180513

10 thoughts on “Antara Saya dan Koper: Benci Tapi Rindu”

  1. kalu bukan di hotel dan dijemput, ga bakal deh bawa koper.. biasanya kalu seminar, ku seringnya bawa depek loh, paling tidak jaket dan kemeja bawa aja pake panconya, kalu udah seminar baru deh lipet masuk depek.. cari koper yang bisa dipanggul aja deh cha..

    Like

Leave a comment