Movies, Review

Les Misérables dan Sebuah Refleksi

Les-miserables-movie-poster1Pertama kali melihat informasi mengenai film ini di web 21cineplex, saya terpana melihat di situ tertulis durasinya 158 menit. Such a long movie! Ditambah lagi tertulis kalau itu adalah film drama musikal. Sebelumnya saya memang tidak familiar dengan novel dan drama musikalnya dengan judul serupa. Namun saya tertarik untuk menonton setelah membaca synopsis dan menyimak beberapa teman yang membahas film tersebut di media sosial (ikut mainstream).

Di awal-awal film saya terus berkomentar, “OMG! Nyanyi lagi??” Sampai akhirnya saya baru benar-benar bisa menerima kenyataan bahwa ini memang film drama musikal. Salut buat para pemainnya yang harus menghafalkan banyak lagu dan tetap harus ekspresif sesuai dengan adegannya. Konon mereka bernyanyi live saat proses pengambilan gambar berlangsung, tanpa direkam sebelumnya.

Jadi film ini tentang apa? Oke..oke.. Kalau mau baca cerita lengkapnya di SINI saja ya. Film ini berlatar awal tahun 1800-an di Prancis. Yang saya suka dari film ini adalah bahwa orang yang terlihat jahat sekalipun, ia pasti memiliki sisi baik dalam dirinya (beda sama sinetron di Indonesia yang jahat itu jahat banget, yang baik itu baik banget). Juga bahwa seseorang punya kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik dan kita tidak bisa menghakimi tindakan seseorang tanpa melihat dari berbagai sisi (being assertive? Yes!).

Misalnya sang aparat penjara bernama Javert (Russell Crowe) yang terus mengejar Jean Valjean (Hugh Jackman), mantan napi (dipenjara karena mencuri sepotong roti) yang menghilang padahal ia masih wajib lapor. Valjean mengubah identitasnya dan ingin melupakan masa lalunya. Ia memulai hidup baru setelah mengalami kejadian tak terduga di gereja. Waktu itu, ia baru keluar penjara dan semua orang memandangnya dengan penuh curiga. Tak ada majikan yang mau mempekerjakannya karena statusnya sebagai mantan napi. Sampai pada suatu malam ia dipersilakan menginap di gereja dan dijamu dengan baik oleh seorang pendeta.

Sayangnya, malam itu Valjean mengambil jalan pintas dengan mencuri gelas-gelas kristal di gereja. Keesokan harinya, ia tertangkap juga dan dibawa ke gereja oleh aparat. Namun sang pendeta berkata bahwa Valjean tidak mencuri dan barang-barang itu adalah pemberian darinya. Di situlah titik balik hidup Valjean. Ia diingatkan bahwa di dunia ini masih ada orang baik dan ia bisa menjadi salah satunya.

Di sisi lain, dalam pandangan saya Javert adalah seorang aparat yang sangat teguh pada peraturan dan bertekad membela kebenaran dengan sekuat tenaganya. Beberapa tahun setelah Valjean menghilang, ia bertemu lagi dengan mantan napi yang sekarang sudah menjadi walikota yang bijak dan bersahaja. Javert terus berusaha menangkap Valjean tak peduli bahwa saat ini Valjean sudah berubah. Javert bisa dibilang terlalu kaku, baginya di dunia ini hanya ada hitam dan putih.

Dalam upaya pengejaran tersebut, ada beberapa kesempatan Valjean membunuh Javert. Namun ia selalu melepaskan Javert tanpa ada rasa dendam sama sekali. Baginya, Javert hanyalah menjalankan tugasnya.

Selain kisah kejar-kejaran antara Javert dan Valjean, terselip pula kisah cinta segitiga antara Cosette (Amanda Seyfried), Marius (Eddie Redmayne), dan Eponine (Samantha Barks) di tengah perjuangan revolusi kaum intelektual muda terhadap pemerintah. Cosette adalah anak dari Fantine (Anne Hathaway) yang semasa kecil diangkat Valjean karena Fantine meninggal dunia. Bagi saya kisah cinta segitiga ini menyentuh, terutama pengorbanan Eponine kepada Marius meskipun cintanya tak berbalas.

Menonton film ini memang mesti agak sabar karena dialognya lewat nyanyian yang lumayan panjang. Namun menurut saya banyak pesan moral yang bisa diambil dari film ini. Selain itu merupakan sebuah refleksi juga terhadap diri kita masing-masing. Apakah kita seperti Javert yang kaku dan cenderung melihat permasalahan dari satu sisi? Juga seperti kebanyakan orang yang menolak dan mencemooh Valjean saat ia baru keluar dari penjara? Atau mungkin kita bisa bersikap seperti sang pendeta yang menghormati semua orang dan percaya bahwa seseorang bisa berubah menjadi lebih baik? Dan dalam cinta, bisakah kita mencintai tanpa syarat seperti Eponine? 🙂

1865143963390123180513

2 thoughts on “Les Misérables dan Sebuah Refleksi”

Leave a comment