Other Stories

Sebuah Awal untuk Akhir yang Lebih Baik

“When you pay attention to the beginning of the story, you can change the whole story.”

– The Beginning of Life

Pagi itu saya sudah sampai di suatu sudut Jalan Prawirotaman IV (Karangkajen), Yogyakarta. Perjalanan ke sana hanya perlu berkendara motor sebentar dari rumah. Milas namanya. Baru-baru ini seorang teman memberi tahu bahwa Milas adalah singkatan dari ‘mimpi lama sekali’. Wah, saya baru mengetahuinya. Selama ini saya mengenal Milas sebagai sebuah restoran vegetarian. Ternyata Milas juga memiliki sebuah playgroup yang berlokasi di area yang sama dengan restorannya. Di sanalah kemarin saya menonton film The Beginning of Life, film dokumenter karya sutradara Estella Renner, sekaligus berdiskusi santai dengan sesama penonton (yang ternyata kebanyakan adalah wali murid playgroup tersebut).

***

Sebelum menonton The Beginning of Life (TBoL), ingatan saya kembali ke tahun 2011 silam ketika menonton film dokumenter berjudul Babies. Saya berpikir mungkin TBoL hampir sama seperti film Babies yang berfokus seputar bayi dan kehidupan beberapa tahun pertamanya. Setelah menonton, saya menyimpulkan bahwa kedua film dokumenter tersebut memiliki fokus yang berbeda. Kalau Babies lebih bercerita mengenai pertumbuhan bayi dari tahun ke tahun serta menggambarkan beberapa budaya berbeda yang menjadi lingkungan tumbuh kembang si bayi, TBoL mengulas masa bayi dan kanak-kanak dengan lebih komprehensif. Hal yang berbeda lagi, rasanya lebih emosional saat menonton TBoL. Film ini memiliki magic: sesuatu yang menyentuh hati dan menggerakkan.

Selama durasi sekitar 90 menit, TBoL berhasil mengaduk-ngaduk perasaan saya sekaligus memunculkan banyak memori, refleksi, ide, serta mimpi-mimpi. Hampir tak sejenak pun saya merasa bosan atau berpaling dari layar, kecuali saat dengan cepat saya menulis catatan-catatan kecil mengenai film ini. Pada suatu adegan, saya terbayang wajah murid-murid saya di Bawean yang banyak ditinggal orang tuanya merantau ke Malaysia sehingga tidak merasakan kedekatan dengan orang tua semasa kecilnya. Jauh dari orang tua dan suasana keluarga yang tidak kondusif pada beberapa kasus memang menghasilkan anak yang pemurung dan sulit diajak bekerja sama, seperti beberapa murid saya saat itu. Dalam adegan lain, hadir pula wajah kedua orang tua di dalam benak saya, membayangkan kasih sayang mereka yang pastinya lebih dari semua kata yang dapat mereka ucapkan.

 

Jadi, sebenarnya TBoL ini film tentang apa?

Film dokumenter mungkin bagi sebagian orang terdengar tak menarik, namun sebenarnya anggapan itu tidak selalu benar. Sepanjang film, setiap adegan dalam TBoL terasa mengalir sekali. Mengombinasikan pendapat para pakar dari berbagai bidang, aktivitas sehari-hari dari beberapa keluarga, serta wawancara dengan orang tua maupun anak, TBoL mampu merangkai pesan mengenai pentingnya masa usia emas anak (golden age) dengan apik. Narasumbernya pun berasal dari berbagai negara dan benua, seperti Spanyol, Amerika Serikat, Denmark, India, dan Tiongkok. Sebelum mulai menonton, Ibu Purie, kepala sekolah Playgroup Milas yang memandu acara nonton bareng ini memberikan disclaimer bahwa karena perbedaan budaya, mungkin akan ada beberapa hal yang bagi pentonton tidak sesuai dengan nilai yang dianut. Oleh karenanya, kebijaksanaan penonton sangat dianjurkan.

Ada beberapa subtema yg diangkat dalam TBoL, di antaranya peran orang tua (termasuk co-parenting dan pembagian tugas antara ibu dan ayah), peran lingkungan dan masyarakat, serta pengaruh kebijakan pemerintah terhadap masa-masa usia emas anak.

“How can we think of a world of peace, cooperation, bliss, if the beginning of life is not taken into account?”

– The Beginning of Life

 

Peran Ibu dan Ayah

Bisa dibilang perbedaan budaya selama ini membentuk pandangan yang berbeda mengenai peran ibu dan ayah. Namun pada umumnya, ayah berperan mencari nafkah sedangkan ibu bertugas mengurus anak. Ibu memang merupakan ‘rumah’ pertama anak ketika ia dilahirkan di dunia. Bahkan sebelum dilahirkan, bayi dan sang ibu sudah melalui banyak fase bersama-sama yang menciptakan ikatan di antara keduanya.

Namun demikian, tidak berarti peran ayah tidak penting dalam membangun ikatan dengan anak. Inilah salah satu hal yang dibahas oleh para ahli dalam TBoL. Peran ayah sangat penting meski (pada beberapa hal) berbeda dengan peran ibu. Ayah berperan mengenalkan dunia luar kepada anak selain dunia ibu yang pertama-tama dikenalnya. Ayah mengenalkan anak kepada alam, juga menemani anak bermain dan belajar.

“Anak saya tidak peduli apakah saya orang penting dan sibuk di luar sana. Hal yang penting adalah saya anda untuk mereka. Saya adalah tempat bermain mereka,” ujar seorang ayah dalam sebuah perbincangan di suatu taman. Di sana, anak perempuannya berlari ke sana ke mari, memanjat tubuh ayahnya sampai ayahnya jatuh, dan tertawa bersama.

Para ahli menekankan bahwa kerjasama dan keterbukaan dalam membesarkan anak sangatlah penting. Peran penting kedua orang tua ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah di beberapa negara. Di Denmark misalnya, cuti hamil dan melahirkan bagi ibu diberikan selama satu tahun. Untuk membantu istri pasca melahirkan dan membangun ikatan ayah dengan anak, ayah juga diizinkan untuk mengambil cuti sampai dengan empat bulan lamanya.

“Tidak mengherankan jika di Denmark Anda bisa melihat bapak-bapak bermain atau mengajak jalan-jalan anaknya di taman atau area terbuka pada hari kerja,”ujar seorang ibu.

Dalam kaitannya dengan mendidik anak, ada banyak tips yang dikemukakan para ahli serta sharing dari para orang tuanya. Dua di antara banyak pelajaran yang bisa dipetik ialah untuk (1) belajar mendengarkan anak dan (2) tidak memberikan dengan mudah semua yang diminta anak. Meskipun masih kecil, anak berhak diapresiasi dan didengarkan pendapatnya. Dengan demikian, ia merasa dihargai dan juga akan belajar mendengarkan orang lain. Kemudian dalam beberapa hal, berilah kesempatan kepada anak untuk berusaha mendapatakan apa yang ia inginkan. Contoh sederhananya dengan tidak selalu membelikan mainan di toko, namun bersama-sama dengan anak membuat mainan tersebut. Di situ ada proses belajar, stimulasi sensorik dan motorik, serta menjalin kedekatan dengan anak.

IMG-20160820-WA0000
Suasana nobar dan diskusi di Playgroup Milas

 

Anak dan Lingkungan

Perihal masa usia emas ternyata bukan hanya domain para psikolog dan ahli tumbuh kembang anak. Seorang ekonom dari University of Chicago menyatakan bahwa kasih sayang adalah bagian penting dari ekonomi. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan dididik dengan ilmu dan budi pekerti yang baik, kelak akan membawa kontribusi positif ketika ia berada di masyarakat dan pada gilirannya membawa kemajuan bagi perekonomian secara luas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa setiap investasi sebesar 1 USD untuk masa kanak-kanak memberikan return sebesar 7 juta USD pada masa mendatang (saya penasaran ingin membaca papernya).

Selain peran orang tua dan keluarga, lingkungan juga memberikan banyak pengaruh untuk anak. Tidak mengherankan jika ada peribahasa yang menyatakan bahwa “It takes a village to raise a child”. Orang tua bisa saja memberikan kasih sayang, perhatian, dan pendidikan yang baik untuk anaknya, namun di luar sana ada dunia yang tidak bisa sepenuhnya kita kendalikan. Di luar sana bisa ada bullying, kekerasan, pergaulan bebas, berbagai tindak kriminal, dan sebagainya. Ketika kita ingin menyiapkan generasi yang hebat, kita juga tak bisa berlepas tangan dari menyiapkan lingkungan yang baik untuk anak-anak kita kelak.

 

Mereka yang Tak Seberuntung Kita

Film TBoL bagi saya berhasil menarasikan kisah-kisah berbeda dari berbagai latar belakang. Berbagai potret berbeda ini memberikan pandangan baru serta menciptakan rasa empati terhadap beraneka kondisi di sekitar kita. Selain gambaran keluarga yang ideal (dengan orang tua yang lengkap dan kondisi ekonomi menengah ke atas), ada pula cerita tentang ibu yang merupakan single parent, ayah yang memutuskan untuk menjadi ­stay-at-home father, anak yang diurus oleh kakek dan nenek (karena kesibukan orang tua), ibu mantan pecandu obat-obatan, anak-anak yang tidak punya orang tua, dan anak-anak yang hidup di bawah garis kemiskinan.

“Apa mimpi terbesarmu?”

“Aku tak punya mimpi.”

JLEB. Rasanya hati ini hancur mengetahui ada anak sekecil itu yang bahkan tak sempat memikirkan mimpi dan cita-cita karena sehari-harinya ia sibuk mengurus adik-adiknya, mengerjakan berbagai pekerjaan rumah, menyiapkan makanan, dan lainnya. Ia dan keluarganya tinggal di tempat yang tidak layak huni. Ketika atap rumahnya bocor, anak perempuan itu harus naik sendiri ke atas genteng untuk memperbaikinya agar ia dan adik-adiknya bisa beristirahat dengan ‘nyaman’.

 

Banyak Pekerjaan Rumah

Sebagai seseorang dengan latar belakang Ilmu Ekonomi, saya belajar mengenai pertumbuhan (ekonomi), pembangunan, kesejahteraan sosial, ketimpangan, dan berbagai studi kasus berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi di suatu negara maupun wilayah yang lebih luas. Bahkan selain berbagai indikator kuantitatif, belakangan ini cukup populer juga indikator kualitatif seperti indeks kebahagiaan (tentu baik kuantitatif dan kualitatif memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing). Indeks kualitatif lebih kompleks dan berkaitan dengan persepsi, perasaan, dan pengetahuan respondennya.

Lewat film TBoL, saya semakin tersadarkan bahwa anak-anak kita secara kolektif bisa berkontribusi memengaruhi kebahagiaan banyak orang. Mereka bisa menjadi orang baik, orang yang punya cita-cita tinggi, orang cerdas, orang yang peduli akan orang-orang sekitar, orang yang membuka lapangan kerja, orang yang berkontribusi di bidang pendidikan, orang yang berperan dalam perdamaian dan resolusi konflik, dan lainnya. Secara kolektif mereka bisa menciptakan dunia yang lebih baik pada masa mendatang. Tugas kita, orang dewasalah, untuk mendukung mereka mencapai itu semua. Tugas itu bukan hanya milik mereka yang sudah memiliki anak-anak saja, namun tugas kita yang peduli akan masa kini dan masa depan.

Sejenak saya teringat berbagai lingkaran di sekitar saya, teman-teman di Indonesia Mengajar, para pegiat Kelas Inspirasi, Indonesia Menyala, SabangMerauke, dan inisiatif positif lainnya. Sesungguhnya, sadar ataupun tidak, berbagai hal kecil yang sedang dan akan terus kita lakukan adalah mempersiapkan generasi dan lingkungan yang mendukung lahirnya kebaikan-kebaikan yang lebih besar. Jika kita adalah sebuah desa, semoga kita merupakan desa yang indah dan menyenangkan untuk membesarkan anak-anak masa depan tersebut.

Ketika kita peduli pada awal cerita, kita bisa mengubah keseluruhan akhir cerita, menjadi lebih baik.

 

Ps. Jika kamu ingin mengadakan Nonton Bareng The Beginning of Life dan Diskusi Anak Bukan Kertas Kosong, sila cek informasinya di SINI ya.

1865143963390123180513

11 thoughts on “Sebuah Awal untuk Akhir yang Lebih Baik”

  1. Aku sukaaaa banget film dokumenter. Walaupun nggak banyak juga yang aku tonton *hanya ingat beberapa judul saja, misalnya yang kece The Cove atau War Photographer.

    Sejak baca statusnya Icha di FB, aku langsung “cari” film ini, sayangnya belum nemu. Harus bersabar dulu kayaknya. Suka banget sama film dengan tema-tema seperti ini, apalagi banyak sekali teman yang ternyata merekomendasikan film ini di daftar film wajib nonton.

    Eh jadi inget Babies juga 😀 dulu masih di Multiply bikin ulasannya. Aahh

    Liked by 1 person

    1. Wah pas film Babies masih jaman Multiply ya mas? Hehe.. Dulu juga aku lumayan rajin ngereview film, apalagi kan di MP emang ada kategorinya ya. 😀

      Film The Beginning of Life konon emang nggak tayang di bioskop. Bisa dapat filmnya di website apa gitu ya, lupaa.. haha.. gak bantu sama sekali ya aku. Tp kalau di Indonesia, yg pegang filmnya Ashoka sama Teman Takita. Dan mereka membuka kesempatan kpd komunitas2 utk ngadain nobar dan diskusinya. Nah, siapa tahu mau bikin di Palembang. 😉

      Like

  2. Membesarkan seorang anak memang perlu dukungan yang luas mulai dari skala mikro(orang tua dan keluarga) hingga makro (sistem pendidikan dan peraturan pemerintah). Jika memang belum memungkinkan skala makro mendukung, maka yang mikro ini berperan besar. Insya Alloh sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, dari bukit menjadi gunung. Semoga kita yang tersadar, akan duduk suatu saat di kursi pemerintahan dan kebijakan yang cerdas demi tumbuh kembang anak

    Like

  3. karena hidupku tidak terlalu normal, aku agak tidak sering mengikuti apa kata forum-forum parenting katakan. my life is my life, and I’m the only one who know how I will struggle about this. buat saya, golden age itu ada di masa anak tumbuh hingga saat ia keluar rumah, dengan begitu ia akan menghargai ‘rumah’nya. belajar dari perbedaan perilaku antara saya dan adik, dan memang memberikan hasil yang berbeda pula.

    Suka bagian ini : “Anak saya tidak peduli apakah saya orang penting dan sibuk di luar sana. Hal yang penting adalah saya anda untuk mereka. Saya adalah tempat bermain mereka.” Suka geli kalau anakku bilang, “Bun, sekali-kali masak gitu lho. Kayak ibu-ibu lain.” Jadi, ibunya yang femes dan giat ini, gak ada apa-apanya di mata dia. Hihi.

    Liked by 1 person

    1. Hehe.. Kebayang ya jadi emak2 jaman sekarang, banyak pressurenya, ya dari media sosial, forum parenting, dll. Berhubung aku blm merasakan jadi ortu, biasanya dengerin aja curhatan dan sharing temen2ku hehe.. Pada akhirnya, orang tualah yg lebih tahu ttg anaknya ya. 🙂 Caranya jd tempat bermain jg mungkin beda2, salah satunya dgn traveling/liburan bareng kayak Mbak Indri dan Bintang.

      Like

Leave a comment