
Terkadang ketika kita sedang traveling dan menjadi turis, kita cenderung ingin mencoba hal-hal baru, terutama yang khas dari kota yang kita kunjungi. Hal ini juga berlaku saat saya tinggal di negeri orang untuk belajar dalam jangka waktu tertentu. Berhubung saya tidak akan lama di negara tersebut, saya menyempatkan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menarik hati saya. Saat mengobrol dengan orang lokal, saya baru tersadar bahwa mereka sendiri pun seringkali belum pernah ke tempat yang pernah saya kunjungi atau melakukan hal yang sebenarnya umum bagi para turis. Sebut saja foto dengan kostum Belanda di Volendam, hehe. Bisa jadi tidak banyak orang Belanda sendiri yang melakukannya.
Mungkin itu pulalah yang terjadi antara saya dan odong-odong di Alun-alun Kidul (Alkid) Jogja. Hehe. Sebagai orang lokal alias orang yang berdomisili di Jogja, saya sudah lama mengetahui keberadaan dong-odong berwarna-warni ini. Hanya saja, selama ini merasa, “Ah, iseng banget ya sepedaan hanya berdua sama suami di Alkid.” Iya, jadi sebetulnya mobil warna-warni itu adalah sepeda tandem, di mana ada pedalnya di keempat tempat duduk yang tersedia. Kita duduk sambil gowes. 😀 “Kapan-kapan saja deh, kalau ada keluarga atau teman yang berkunjung ke sini,” pikir saya. Tetapi teman dan keluarga telah datang dan pergi, namun rencana itu tak kunjung kesampaian sampai kemarin malam, pada sebuah reuni dengan kawan lama.
***
“Sanne!” seru saya kepada seorang bule yang sedang duduk di lobi Greenhost Boutique Hotel. Dia yang dipanggil namanya segera menghampiri saya. Seperti kebanyakan orang Belanda, posturnya sangat tinggi sehingga saya harus cukup mendongak (dan ia sedikit membungkukkan tubuhnya) saat kami bercipika-cipiki. Ups, saya lupa kebiasaan cium pipi tiga kali ala Belanda. Saat baru dua kali, saya menyudahinya sementara Sanne bermaksud cium pipi sekali lagi. Canggung sejenak. Kemudian kami sama-sama tertawa.
“You forgot Dutch style,” kata Sanne.
“Yeah, that one was Indonesian style,” saya berkilah. Hehe.
Saya dan Sanne berkenalan lewat Couchsurfing saat saya sekolah di Belanda. Kami saat itu sama-sama tinggal di Groningen dan bertemu untuk kopi darat di sebuah kafe di Centrum. Rencana kami awalnya adalah belajar bahasa satu sama lain, saya melancarkan bahasa Belanda, sedangkan ia sedikit-sedikit belajar bahasa Indonesia (walaupun kemudian kami lebih banyak berbahasa Inggris di meja makan :p). Sanne kala itu bercerita bahwa ia cukup familier dengan masakan Indonesia. Ternyata kakeknya dulu merupakan salah satu tentara Belanda yang pernah bertugas di Indonesia.
Pada reuni saya dengan Sanne kali ini, kami tidak berdua, melainkan berempat bersama suami saya, Chendra, dan kekasih Sanne, Jerry. Setelah gagal makan malam di Milas Resto di daerah Prawirotaman (karena katanya pesanan sudah overload), kami memutuskan untuk menuju warung Chinese food langganan saya dan Chendra di Jalan Parangtritis, tak jauh dengan area Prawirotaman. Saya sendiri sebenarnya belum pernah makan di Milas, namun sengaja mengajak ke restoran itu karena Sanne adalah seorang vegetarian. “Let’s eat where you guys usually eat,” kata Jerry.
Saya merekomendasikan Sanne untuk memesan capcay, saya dan Jerry memesan kwetiau seafood, dan Chendra memilih fuyunghai. Ketika pesanan minuman kami datang, Sanne dan Jerry terkejut mengetahui saya dan Chendra memesan lemon tea panas. Bagi Sanne dan Jerry, hal itu tidak lazim karena mereka biasanya minum minuman dingin sebelum makanan hangat atau panas. Hehe. Jujur saja saya baru tahu mengenai kebiasaan ini, karena selama ini sering makan dan minum bersama teman-teman dari berbagai negara tetapi baru kali ini dikomentari demikian. Duh, kami sih apa saja masuk, tergantung suasana hati mau minum panas atau dingin. 😀
Sambil menikmati makan malam, kami mengobrol tentang banyak hal. Sanne dan Jerry bercerita mengenai pengalamannya ke Borobudur dan Prambanan dan bertanya mengenai hal-hal baru yang mereka temui selama di Jogja. Kemudian sampailah kami pada topik sejarah Indonesia dan Belanda. Lucunya, sepanjang mengobrol, Sanne (yang asal Belanda) terus merasa tidak enak dan merasa bersalah akan masa lalu yang kelam. Hehe. Sementara Jerry yang asal Irlandia malah sengaja memanas-manasi (tentunya hanya bercanda), “Oh that damn Dutch.” Kami pun tertawa.
Kalau dipikir-pikir, lucu juga saat ini kami bisa berbincang mengenai sejarah dengan santai, membahas masa lalu sambil mengungkapkan pandangan masing-masing. Sanne bertanya apakah orang-orang Indonesia sampai sekarang masih membenci Belanda. Saya bilang, “I don’t think so. If you ask young people, I guess they mostly have better view towards Dutch. Besides, the diplomatic relation between the two countries is also getting better.”
“She’s being polite,” kata Jerry kepada Sanne sambil senyum-senyum.
“Yes, she is very polite,” jawab Sanne.
Haha. Saya tertawa. “Seriously, we move on. It is common that Indonesians support Holland on Euro or World Cup, for example,” kata saya, “But our grandparents might still have bad memory about Dutch.”
Berbicara mengenai kakek-nenek, Sanne kemudian bercerita bahwa kakek dan neneknya juga masih memiliki pandangan yang kurang baik terhadap Jepang. Kakek Sanne dulu termasuk tentara Belanda yang disiksa dan tinggal di camp Jepang. Dalam hati saya berpikir, sama saja sih, begitulah orang Indonesia merasakan menderitanya dijajah Belanda, bahkan dalam jangka waktu yang jauh lebih lama.
War and colonialism is never a good story to tell. But we learn from it and move on. Kakek-nenek Sanne dan kakek-nenek saya mungkin tidak pernah membayangkan cucu-cucunya kelak bisa berkawan baik, duduk satu meja, makan chinese food bareng, dan mengobrol tentang apa saja.
***
Lampu warna-warni dengan berbagai bentuk dan karakter menghiasi mobil yang ada di Alkid. Setelah melakukan ‘ritual’ berjalan di tengah dua beringin alun-alun, Sanne dan Jerry tertarik untuk mencoba mengendarai odong-odong. Wah, bagi saya dan Chendra, ini adalah kesempatan emas untuk akhirnya punya alasan mengendarai odong-odong Alkid. Hehe. Kami pun memilih satu di antara banyak odong-odong di sana (yang untungnya bukan karakter Hello Kitty :p). Sanne secara sukarela menjadi supir dengan mengendalikan kemudi dan Jerry bertugas mengendalikan rem. Saya dan Chendra yang duduk di belakang tinggal megayuh saja tanpa harus fokus memerhatikan jalanan. Suasana malam di Alkid seperti biasa sangat ramai dan jalanan pun padat, tak hanya oleh odong-odong namun juga oleh kendaraan lain yang lewat.
Saya selalu bersemangat memandu keluarga dan teman-teman yang datang ke Jogja, termasuk teman-teman dari negara lain. Rasanya senang menunjukkan keramahan Indonesia, makanannya yang lezat, berbagai tempat menarik, serta hal-hal yang biasa dilakukan warga lokal. Tidak lupa juga sesi mengobrol dan berdiskusi yang membuat saya banyak belajar memahami dan menghargai budaya orang lain dan berbagai sudut pandang.
Let’s make this world a better place. 🙂
Kakek suami kerja di pelabuhan Sunda Kelapa jadi insinyur kapalnya. Mbah kakung ku meninggal saat berperang ketika Belanda di Indonesia. Siapa sangka cucu2 mereka dikemudian hari malah menikah. Aku suka membahas ini sama suami. Mama mertua lahir dan sampai umur 15 tahun di Jakarta. Siapa sangka di kemudian hari punya mantu orang Indonesia 😀
LikeLiked by 1 person
Iya, Mbak. Jalan hidup itu nggak disangka-sangka ya. Nanti ceritain ke anak2 ttg sejarah unik keluarganya. Hehe..
Semoga hubungan antarnegara semakin baik juga. 🙂
LikeLike
Haha menarik…menarik 🙂 ternyata bule juga becandaannya sama ya Cha *lah iyalah ya haha.
LikeLike
Iyaa.. begitulah. 😀 Untung becandanya nyambung. Kadang beda negara suka gak nyambung juga jokesnya. Hihi.
LikeLike
lucu kak udah lama gk naik odong odong
LikeLike
Iyaaa.. Mumpung bareng2 win. 😀
LikeLike
Hehe ini sama seperti orang Indonesia yang konon berantem terus sama orang Malaysia perihal hak cipta soal lagu, makanan, tarian dls. Padahal banyak juga orang Indonesia yang sahabatan sama orang Malaysia.
LikeLike
Semakin kita kenal banyak orang dengan latar belakang berbeda (termasuk asal negaranya), semakin kita tersadar bahwa seringkali mereka tidak seperti stereotype yang ada. 🙂
Aku juga punya cukup banyak teman orang Malaysia, sebagiannya cukup dekat malah. Kita berteman baik terlepas isu-isu/konflik kedua negara yang datang dan pergi silih berganti. Hehe.
LikeLike