Asia, Traveling

[AseanTrip-4] Melaka dan Teras Terindah

(Masih tanggal 29 September 2010)

Kami tak sempat makan siang di Singapura, bahkan tak sempat pula membeli bekal untuk dimakan di bus. Menyedihkan. Kami kelaparan…

Tiba-tiba wajah Pupu sumringah. “Mbak Icha, ada roti tawar lho di tasku. Untung aja ibuku nyuruh bawa buat jaga-jaga. Terus ada ikan asin juga nih,” kata Pupu sambil merogoh daily backpack nya. Kami lalu menghitung-hitung apakah kiranya roti itu masih layak makan. Roti itu dibeli hari Senin, dan itu hari Rabu. Seharusnya sih masih layak. Dilihat-lihat juga belum berjamur. Hihihi.. Lalu kami makan siang alakadarnya namun luar biasa nikmat. Duh saya lupa itu ikan asin jenis apa ya, enak banget. Malah setelah makan roti campur ikan asin, ikan asinnya kami gadoin, udah macem ngemil keripik gitu. Hahaha.. Semoga orang-orang sekitar tidak terganggu dan hidungnya tidak cukup sensitif untuk mencium bau ikan asin ;p.

Sisa perjalanan ke Melaka kami habiskan dengan mengobrol dan tidur sambil mendengarkan musik. Hari itu, saya masih menikmati playlist di hape saya yang lagunya hanya ada 70-an. Tapi besok-besoknya karena saya mendengarkan lagu yang sama selama 20 hari, telinga saya pun mulai bosan. Hehe..

Perjalanan Singapura-Melaka memakan waktu sekitar dua jam, termasuk berhenti di kantor imigrasi kedua negara. Tak ada masalah dan semua berjalan mulus. Di kantor imigrasi Singapura, kami tidak perlu memeriksakan bagasi, jadi ditinggal saja di bus. Sedangkan memasuki wilayah Malaysia, kami harus memeriksakan bagasi.

Pukul setengah empat sore, kami tiba di Melaka Sentral, terminal bus utama di Melaka untuk bus dalam dan luar kota (termasuk antarnegara) yang sekaligus merupakan sentra perbelanjaan. Yah bukan sekelas mal sih, semacam ruko-ruko yang menjual berbagai keperluan dari tas, baju, sepatu, sampai tempat makan. Yang kami lakukan begitu sampai di Melaka Sentral adalah membeli tiket bus untuk ke Kuala Lumpur dua hari berikutnya. Kami melihat-lihat berbagai agen bus dan survei harga, ternyata memang semuanya hampir sama. Kalaupun ada yang berbeda, hanya beberapa sen saja.

Saat itulah kami didekati oleh seorang pria yang berperawakan agak besar dan membawa tas ransel kecil. Dengan (sok) akrab, dia langsung menyapa, “Dari Jakarta ya?” Saya dan Pupu berpandangan sejenak, kemudian mengiyakan. “Gue Al, dari Jakarta juga.” Kemudian kami berkenalan. Baru kenal beberapa menit, ia sangat aktif dan begitu banyak bicara, terlalu banyak malah. Cukup menjadi distraksi (baca: gangguan) buat saya dan Pupu yang sedang konsen cari tiket bus ke KL. Bukan apa-apa, kami berdua juga agak was-was karena baru kenal, ia sudah bertanya ini-itu yang sangat detail mengenai perjalanan kami, bahkan sampai ke budget dan berapa uang yang kami bawa. Oouw.. Tiba-tiba takut dipalak.

Saya agak bingung juga sih, antara waspada dan berprasangka buruk ke orang itu. Sebetulnya dia terlihat seperti menolong juga, mengarahkan kami harus beli tiket bus dimana, membantu menanyakan kepada petugas penjual tiket, dll. Tapi, kita juga tidak bisa percaya kepada orang yang TERLALU baik kan?

Saya dan Pupu akhirnya membeli tiket bus ke KL seharga 12.2 RM (sekitar Rp35ribu). Al kemudian bercerita bahwa Ia kemarin berkenalan dengan beberapa orang Indonesia yang bekerja di Melaka. Mereka bekerja di sebuah rumah makan di Melaka Sentral. “Kalo lo pada laper, makan di sana aja yuk. Enak-enak kok makanannya, ibu yang punya juga baik” Ajak Al. Antara percaya tak percaya, kami mengikuti langkahnya. Ternyata benar, ia membawa kami ke sebuah rumah makan. Katanya sih si ibu pemilik rumah makan itu adalah orang Indonesia, sedangkan suaminya orang Malaysia. Di sana kami berkenalan dengan beberapa orang yang dimaksud Al. Syukurlah mereka baik dan ramah.

Saya memesan Nasi Goreng Kampung yang rasanya..wow..luar biasa enak! Ditambah es teh tarik sebagai minumnya, rasanya semakin mantap. Sekedar informasi, di Malaysia kalau kita memesan tea ice (es teh), sudah bisa dipastikan yang dihidangkan adalah es teh tarik, yaitu teh yang dicampur susu. Sedangkan kalau mau es teh saja (tanpa susu), bilangnya tea-o-ice. Hehe..

Berfoto setelah makan. 

Kami makan sambil mengobrol dengan Al dan beberapa temannya. Kami saling bercerita tentang pengalaman traveling kami. Salah satu teman Al, sebut saja namanya Ridwan, ternyata bukan bekerja di rumah makan itu. Hanya saja, ia dengan pemiliknya sudah seperti saudara. “Betah di Malaysia?” Tanya saya. “Ya mau gimana lagi mbak, namanya juga kerja. Hehe.. Saya kerja di JCo, dulu di Tangerang, lalu ditugaskan di sini.”

Selesai makan, kami bergegas menuju mushala. Namun sebelumnya, Ibu pemilik restoran memberikan secarik kertas yang isinya adalah nama dan nomor telepon. Ternyata itu adalah nomor HP teman suaminya yang bekerja sebagai supir taksi. “Kalau ada apa-apa dan perlu taksi, hubungi nomor itu saja,” Oh terima kasih banyak, Ibu..

Al dan Ridwan mengantar kami ke mushala. Kami berpisah dan mendoakan semoga perjalanan masing-masing lancar. Saya dan Pupu kemudian membahas apa yang baru saja terjadi, dari mulai deg-degan sampai akhirnya makan sampai kenyang. Ah..rasa curiga kepada Al ternyata tidak terbukti. Dia baik kok. Hehe..

berdiri di bus kota Melaka (sok tegar padahal berat!)

Seusai sholat, kami menuju bus dalam kota. Sebenarnya kami sudah cek di internet mengenai bus apa yang membawa kami ke tempat tujuan. Setelah kroscek dan tanya sana-sini, barulah kami naik bus. Keberuntungan sedang tidak berpihak kepada kami. Bus penuh dan kami harus berdiri, berdesakan dengan beberapa penumpang lain yang juga berdiri. Saya tidak enak hati sama penumpang lain, backpack kami benar-benar memakan tempat. Bingung mau ditaruh dimana, akhirnya tetap nemplok di punggung.

Bus kota di Melaka kondisinya tak jauh berbeda dengan Patas non-AC yang ada di Jakarta. Hanya saja, yang membuat saya salut, semua bus yang saya naiki selama di Malaysia, selalu memberikan karcis, semurah apapun tarifnya. Di karcis tersebut tertulis tarif perjalanan jadi kondektur tidak bisa menipu penumpang, apalagi turis seperti kami yang biasanya dianggap tidak tahu apa-apa (Jadi ingat pengalaman buruk dengan kondektur di Dieng, Jawa Tengah, yang membuat saya harus berdebat panjang soal tarif bus).

Komplek Christ Church, tempat bus kami berhenti
Sungai Melaka sore hari

Kami turun di komplek Christ Church. Wah..melihat pemandangan sekitar jadi ingat foto-foto Melaka yang pernah saya lihat di internet. Gedung museum dan gereja dengan cat merah bata, serta sungai dan burung-burung gereja yang ramai bernyanyi dan menghiasi langit sore. Perlu berjalan sekitar sepuluh menit untuk mencapai guesthouse yang kami tuju, yaitu River View Guesthouse. Langit sudah mulai gelap dan bangunan-bangunan tua bergaya China itu sudah sangat sepi.

Raymond menjelaskan peta wisata Melaka

Sesampainya di guesthouse, kami disambut oleh pria paruh baya bernama Raymond. Ialah yang mengurus guesthouse ini, sedangkan bangunan tersebut sebenarnya adalah milik kakaknya. Perasaan nyaman menyelimuti saya, mengobati lelah perjalanan yang baru saja saya tempuh. Raymond ke dapur sebentar dan kemudian muncul dengan dua gelas sirup di tangannya. Nikmaaat… Sirup rasa lychee itu pun habis dalam sekejap. Kami duduk di ruang tamu sambil mengisi data diri di buku yang telah disediakan. Kemudian Raymond memberikan selembar kertas yang merupakan peta kawasan wisata Melaka, termasuk China Town, museum-museum, restoran yang recommended, dan laundry (guesthouse tersebut tidak menyediakan jasa laundry, jadi kalau mau ya harus cari keluar).

Raymond sempat bertanya, “How’s the situation in Indonesia? I heard about demonstration against Malaysia there. Some people even burned our flag,” Saya tersenyum dan menanggapi dengan santai. Saya bilang saja itu hanya sebagian orang yang terlalu emosi karena termakan isu yang ada di media. Bukannya saya tak membela bangsa saya sendiri, memang pada kenyataannya tindakan emosional itu jauh dari terpuji dan terhormat. “Malaysian people actually do not put much concern on that,” Raymond menambahkan. Saya kadang berpikir, orang Indonesia itu capek sendiri lho marah-marah sama Malaysia. Jujur saja kadang saya juga tak sepaham dengan tindakan pemerintahnya, tapi ya…dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam suasana jalan-jalan begini, mending nggak usah mencampuradukkan dengan politik. Jangan membenci berlebih-lebihan. We, in this world, are sisters and brothers after all…

Setelah membayar biaya menginap untuk dua malam, kami segera menuju ke kamar kami di lantai dua.

Perpustakaan Mini

Rumah berlantai dua itu jauh dari kesan mewah. Semua sederhana, namun sangat nyaman dan bersih. Lantai dua beralaskan kayu sehingga tamu diminta berjalan pelan-pelan agar tidak mengganggu kenyamanan tamu yang lain. Di lantai dua terdapat lima kamar dan sebuah perpustakaan mini di dekat tangga. Rak buku yang berisi novel, buku traveling, dan majalah tersebut membuat kami terhibur. Namun, ada yang tak kalah menghibur di lantai dua rumah itu: teras yang menghadap ke sungai. Sempurna.

Pupu berkata, “This is Asian Venice.

Sungai Melaka malam hari
Teras Menghadap Sungai Melaka

Sungguh, ini memang bukan di Eropa. Tapi suasana malam itu – langit yang cerah, sinar lampu dan refleksinya yang tumpah di air sungai, dan perahu yang membelah sungai dan meninggalkan suara riak air yang khas – menjadi salah satu malam yang tak terlupakan dalam hidup saya. Saya dan Pupu duduk manis di teras itu, berbincang tentang banyak hal, tentang mimpi-mimpi kami di masa depan.

One day, we will definitely come back to Melaka and stay in this house. Insya Allah.

“Seru juga ya kalau honeymoon di sini,” lalu saya dan Pupu tertawa.

Pengeluaran hari ketiga (Melaka):

1. Tiket bus ke KL: 12.2 RM

2. Makan sore (nasi goreng + teh tarik): 4.8 RM

3. Bus ke guesthouse: 1 RM

4. Guesthouse 40.5 RM/malam (dibagi dua): 20.25 RM

Total: 38.25 RM (dengan kurs Rp2.850/RM = Rp109.012)

4 thoughts on “[AseanTrip-4] Melaka dan Teras Terindah”

Leave a comment