Asia, Traveling

[AseanTrip-5] Menyusuri Warisan Budaya di Melaka

30 September 2010 [Hari kedua di Melaka]

Saya tidur cukup nyenyak di Melaka sehingga ketika bangun di pagi hari, rasanya segar sekali. Pagi itu saya dan Pupu tidak sarapan di luar karena kebetulan di guesthouse disediakan pisang, banana cake, serta teh dan kopi. Semuanya ada di dapur dan ruang makan, bisa diambil dan dibuat sendiri. Sama seperti di Singapura kemarin, di sini pun rasanya seperti di rumah sendiri. Suasana masih cukup sepi ketika kami sarapan, mungkin tamu lain masih menikmati mimpi indah. Hehe..

Pagi itu saya dan Pupu berniat me-laundry beberapa pakaian. Kemarin Raymond sudah menunjukkan letak laundry di peta, juga harganya. Katanya sih 3 RM/kg. Hmm…rasanya nggak masalah. Lagipula baju yang akan kami cuci tidak banyak, jadi bisa share saja. Nah di sinilah terjadi kesalahan. Laundry itu buka dari jam 9 pagi sampai jam 7 malam. Tidak mungkin kami mengambil laundry besok pagi karena akan berangkat ke Kuala Lumpur menggunakan bus jam 9 dari Melaka Sentral. Akhirnya kami terpaksa mengambil paket laundry kilat yang sehari jadi, biayanya 6 RM/kg. Dan ternyata lagi..laundry kami beratnya lebih dari 1 kg. OMG..bener-bener buang duit deh ini. Jadi nyesel. Karena sebenarnya kami masing-masing sudah membawa deterjen untuk cuci sendiri, juga sudah ada tali rafia yang dibawa Pupu sebagai tali jemuran yang bisa dipasang di kamar. Hehe.. nasib..nasib…

Mendung di Dutch Square

Dari laundry, kami berjalan kaki ke Dutch Square, tempat kami kemarin turun dari bus. Dutch Square disebut juga Red Square karena bangunan sekelilingnya bercat merah. Tempat ini berada di pinggir sungai Melaka dan biasanya menjadi starting point bagi para turis untuk menelusuri museum-museum dan tempat bersejarah lainnya di Melaka. Bangunan yang paling terkenal di Dutch Square di antaranya Christ Church (dibangun pada 1753) dan Stadthuys (dibangun pada 1650 sebagai tempat tinggal untuk pemerintah Belanda). Melaka sendiri memang merupakan tempat dimana Belanda cukup lama berkuasa (1641-1824) walaupun sempat diselingi oleh pemerintahan Inggris selama beberapa tahun (1795-1818). Kalau di pelajaran sejarah, mungkin kita lebih ingat pada Melaka karena merupakan kota pelabuhan yang amat penting kala itu.

Christ Church dan becak-becak yang mangkal
Pupu di depan Stadthuys

Ketika kami berfoto di sekitar Christ Church, tiba-tiba ada dua orang turis Jepang yang mendekati dan berkata, “picture…take picture…” Saya pikir mereka mau minta tolong saya memotret mereka. Saya pun dengan sigap segera menyodorkan tangan tanda meminta kamera mereka. Ternyata eh ternyata..maksudnya mereka mau foto sama saya. Salah satu dari mereka, yang lebih fasih berbahasa Inggris berkata, “My friend wants to take picture with you,” Aih…jadi malu.. *nyebur ke kolam air mancur deket situ*

Si temannya kemudian bilang dengan terbata, “Your dress is beautiful and colorful,” Oh..dia suka batik toh..hehe.. Mungkin juga terlihat lebih indah karena saya yang memakainya, eh bukan, maksudnya karena warnanya yang macem-macem *ditimpuk warga*.

Oiya, bagi Anda yang mau berjalan-jalan dengan becak, banyak sekali becak yang mangkal di depan Chirst Church. Tinggal pilih saja, semuanya sama dan mereka biasanya juga menawarkan harga yang sama (20 RM alias hamper 60ribu rupiah) untuk berputar-putar sekitar museum dan tempat wisata lainnya. Buat Anda yang jago nawar, silakan ditawar, hehe… Becaknya lucu sih…dihias bunga berwarna-warni. Tapi tidak terlalu menggoda kami untuk menaikinya. Lagi-lagi karena ngirit, hehehe.. Lagipula masih terjangkau dengan jalan kaki kok.

Jika terus berjalan sampai bundaran di depan Christ Church, di sebelah kanan akan terlihat sisa-sisa benteng berikut meriamnya. Sedangkan jika dari bundaran berbelok ke arah kiri, nah di situlah berbagai museum berada. Museum tersebut di antaranya adalah Muzium Setem (prangko maksudnya…), Muzium Umno Melaka, Muzium Kecantikan (wow…), Muzium Islam, dan Muzium Istana Kesultanan (mohon maaf kalau ada yang nggak kesebut soalnya lumayan banyak sih..). Dari sekian banyak museum, tidak semuanya kami masuki sih. Buat Anda yang penasaran tentang Muzium Kecantikan, kalau kami lihat dari bagian depannya sih museum itu menunjukkan berbagai macam definisi cantik di berbagai tempat. Di Thailand bagian utara misalnya, masyarakat tradisionalnya mengharuskan wanita menggunakan semacam gelang yang bertumpuk di leher. Semakin dewasa usianya, semakin banyaklah gelangnya.

di depan Museum Kecantikan

Kami berjalan terus menyusuri jejeran museum tersebut. Di ujung jalan, kami melihat sebuah benteng yang kami tak sempat meilhat namanya. Saat itu kami tak terlalu memperhatikan sejarah mengenai benteng tersebut karena hujan mulai turun. Kami hanya mengambil beberapa foto dan bergegas berlari menuju museum yang ada di seberangnya. Sebenarnya ada benteng yang terkenal yaitu benteng A Famosa. Untuk ke sana, perlu mendaki bukit dahulu. Namun karena cuaca tak mendukung, mood untuk mendaki tak ada sama sekali.

Muzium Istana Kesultanan (foto dari web resmi museum)

Museum yang kami masuki adalah Muzium Istana Kesultanan yang merupakan replika dari istana kesultanan Kelantan. Tiket masuknya adalah 2 RM saja. Kalau melihat bangunan istana ini pasti kita teringat akan rumah-rumah adat provinsi di Sumatra. Yah..kan kita masih saudara. Bangunan panggung itu di dalamnya berisi diorama, lukisan, dan pakaian adat berbagai daerah di Malaysia, semacam anjungan di taman mini. Saya sangat menikmati berjalan-jalan di dalam museum ini. Selain sekalian berteduh dari hujan, cerita yang disajikan di dalamnya juga sangat informatif. Tokoh ksatria paling terkenal di Melaka adalah Hang Tuang dan Hang Jebat, dua ksatria yang bersahabat namun akhirnya saling membunuh karena perbedaan sudut pandang mengenai kesetiaan kepada sultan. Saya pernah mendengar nama-nama itu namun baru di museum inilah saya tahu cerita lengkapnya.

Keluar dari museum ini, hujan masih agak deras. Berhubung sudah jam makan siang, saya dan Pupu mampir di sebuah mal tak jauh dari museum. Kami memilih makan di food court dengan pertimbangan harga. Cukup banyak ragam makanan yang ditawarkan dan pilihan kami jatuh kepada aneka seafood, dari mulai nasi sampai mie goreng seafood. Berhubung porsinya cukup besar, kami tak sanggup menghabiskan. Untung si penjual memperbolehkan kami untuk membungkusnya. Horeeee… Bisa buat nanti lagi kalau laper ;p *kasian banget sih*.

Karena cuaca masih tidak mendukung, kami pun pulang ke guesthouse dan tidur siang (sempet ya? Haha..) sampai jam 3. Setelah solat Ashar, kami keluar guest house dan cuaca sudah berubah total. Ceraaah sekali. Good weather to walk around. Kalau tadi kami berjalan di sekitar museum, kini saatnya menjelajahi kawasan tua China Town. Di sana banyak juga guesthouse, restoran cozy, dan toko souvenir. Jalan yang paling terkenal di sana adalah Jonker Street. Meskipun daerah ini dikenal kental karena budaya China-nya, terlihat sekali rasa toleransi yang tinggi dari adanya beberapa masjid dan Indian temple.

Chinese temple
Masjid Kampung Kling

Tahukan Anda? Melaka dinobatkan UNESCO sebagai salah satu kota warisan dunia (World Heritage City). Nggak heran sih, bangunan-bangunan bersejarahnya masih terjaga dan terawat sekali. Selain tiu, melihat keadaan di lingkungan China Town, bangunannya masih terjaga keasliannya. Menurut cerita Raymond, kebanyakan orang yang tinggal di sana masih merupakan anak atau keturunan dari pemilik asli bangunannya. Kalau di Indonesia mah banyak yang udah dijual ya, bahkan mungkin diratakan dengan tanah terus dibikin gedung baru. Penduduk di sana mayoritas adalah pedagang. Memang terlihat sekali kesibukan di pagi hari ketika mereka membuka berbagai macam toko dari mulai toko kelontong sampai alat-alat pertukangan.

Dari China Town, kami duduk-duduk dipinggir sungai. Menikmati langit biru, awan putih, dan bayangannya yang terpantul di air sungai. Santaaaaiiii kayak di pantaiiii… *padahal kan di sungai*. Setelah bersantai ria, kami berniat menuju dermaga Melaka Cruise. Untuk menuju ke sana, kami harus melewati Dutch Square lagi dan tergoda untuk mencicipi cendol yang dijual oleh abang-abang berparas Arab. Mereka tahu kami berasal dari Indonesia dan dengan ramah bertanya, “lebih enak mana sama cendol yang di Bandung?”

Entahlah sebagai pedagang cendol sejati, mungkin ia pernah tahu berbagai jenis cendol di dunia. Jujur saja, menurut saya enakan cendol di Indonesia. Cendol yang di Melaka isinya terlalu beragam, rasanya jadi random, nggak fokus, dan manisnya kurang pas. Hehe.. Tapi sama si abang itu saya bilang aja rasa enaknya beda, yang ini enak, yang Bandung juga enak (malamnya, saya membaca majalah wisata Melaka dan ternyata cendol yang saya makan tadi dijuluki sebagai “the best cendol in town” :D).

“the best cendol in town”

Menjelang matahari terbenam, saya dan Pupu menyusuri sungai Melaka dengan jasa Melaka Cruise. Untuk ‘berpesiar’ ini, penumpang dewasa harus membayar 10 RM (Rp28ribu) sedangkan anak-anak membayar setengahnya. Letak dermaganya berdekatan dengan sebuah replika kapal Portugis bernama ‘Flora de La Mar’, yang ternyata replika tersebut merupakan Museum Maritim. Menyesal sekali, kami tidak banyak menghabiskan waktu di sana karena perahu yang membawa kami menyusuri sungai akan segera berangkat.

Dermaga Melaka Cruise
Menyusuri Sungai Melaka

Kapalku melaju

Membelah sungai Melaka

Menapaki percik-percik sejarah dan perjalanan peradaban

 Rumah-rumah tua, toko-toko, dan gedung tinggi

Sebuah perspektif tentang bergeraknya dunia

Tentang kemajuan yang tak melupakan akarnya

Di telingaku irama musik Melayu berdendang

Di kulitku angin sore Melaka menerpa

Di hatiku perjalanan ini takkan kulupa

Dan aku telah membingkai potret orang-orang yang baru kutemui

yang memberikan kehangatan tanpa terkecuali:

Orang Melayu, India, China, dan Arab

Tak perlu lagi banyak penjelasan

Kita semua saudara

(Melaka, 30 September 2010)

Ketika kapal merapat lagi di dermaga, saya dan Pupu heboh berlari menuju tempat laundry karena waktu menunjukkan hampir jam 7 malam. Huff..untung saja belum tutup. Kami mengambil pakaian yang kami laundry tadi pagi. Dan ternyata…OMG…laundry di sini cuma dicuci aja tapi nggak disetrika. Sakit hati bangeeet… (jadi ngebandingin sama di Jogja. Laundry 3ribu/kg udah bersih, rapi, dan wangi…). Ditambah lagi…pas udah di guesthouse baru ketahuan kalau salah satu T-shirt saya ternyata kelunturan. Duh.. >_<

*bagi yang tidak terbentur budget atau punya cukup banyak waktu, bisa cobain ‘Eye on Malaysia’ juga lho di Melaka…

Pengeluaran hari ke-4:

guesthouse: 40,5 RM/malam (dibagi 2): 20,25 RM

tiket masuk museum : 2 RM

makan siang : 6,5 RM

cendol : 1,7 RM

Melaka cruise : 10 RM

laundry : 6 RM

internet 1,5 jam : 4 RM 

Total : 50,45 RM (dengan kurs Rp2850/RM = Rp143.782,5)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s