Pensil seorang pelukis menari-nari, mentransfer rupa pemandangan yang berada di hadapannya ke atas kertas. Dengan luwes ia melukiskan Alhambra dari Mirador de San Nicolás, sebuah plaza di depan gereja San Nicolás, yang juga menjadi titik temu sekaligus puncak di kawasan Albaicin. Di puncak ini, kita bisa menyapukan pandangan ke berbagai arah dimana terlihat dengan jelas Alhambra, lanskap kota Granada, dan pegunungan Sierra Nevada. Usai dengan satu lukisan, pelukis itu memajang karyanya di sebuah meja dan menaruh nominal harga. Kemudian ia melanjutkan melukis lagi.

Sementara itu, di sudut lain, seorang pria membuka lapak menawarkan jasa menulis nama dalam kaligrafi huruf Arab. Beberapa turis berkerumun di sana, menuliskan nama, dan menunggu hasil karya sang maestro kaligrafi. Saya dan Chendra mengamati sekeliling plaza untuk kemudian duduk lagi memandangi Alhambra dari kejauhan. Cantik dan megah. Rasanya tak sabar ingin memasuki komplek istana, taman, dan benteng tersebut. Walau nampak agak pucat dengan warna bebatuan yang cenderung sama di seluruh kompleknya, warna kontras dari pepohonan di sekitarnya membuatnya menonjol.
Oh ya, bagaimana kabar Chendra yang kepalanya baru saja dijahit di Hospital Universitario San Cecilio de Granada sehari sebelumnya? Kabar baiknya, hari itu ia sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Sepulang dari rumah sakit, kami beristirahat saja di paviliun rumah Mabel (host Airbnb kami) meskipun cahaya matahari di luar sana seolah memanggil-manggil kami untuk pergi keluar rumah. Maklum, musim panas membuat matahari makin betah menemani dan baru beranjak turun sekitar pukul 21.00.
“Maaf ya kita nggak jadi jalan-jalan,” kata Chendra dengan ekspresi menyesal.
Dalam situasi seperti itu, tidak terpikir dalam benak saya untuk berjalan-jalan. Yang penting luka di kepalanya segera pulih. Itu saja. Untuk menghibur ‘pasien’ yang baru saja mendapat jahitan di kepala, Mabel memberikan jus yang katanya khas dari Granada. Saya lupa nama dan bahannya. Yang jelas rasanya memang agak asing di lidah. Pada sore yang panas, cukup menyegarkan meminum jus aneka buah dan sayur itu.
Setelah puas menikmati dan mengabadikan keindahan Alhambra lewat lensa kamera, kami beranjak mencari makan siang. Belum jam makan siang sebenarnya, namun katanya ada restoran halal di sekitar sana sehingga kami merasa penasaran. Sayang sekali restoran yang dimaksud tutup. Tak jauh dari sana, kami malah ‘menemukan’ masjid dan pusat studi islam. Di temboknya tertulis ‘Centro de Estudios Islámicos’. Wah, kebetulan yang menyenangkan. Masjid yang terletak di ‘seberang’ Alhambra itu oleh masyarakat lokal dikenal dengan sebutan Mezquita Mayor de Granada. Menurut harian Telegraph pada 2003, masjid tersebut merupakan sebuah penantian panjang warga muslim Granada selama lebih dari 500 tahun. Setelah pemerintahan muslim di selatan Spanyol ditaklukkan lebih dari 500 tahun lalu, di sana hampir tidak ada toleransi terhadap muslim.


Sebelum kami menelusuri berbagai detail eksteriornya, Chendra mengajak sholat tahiyatul masjid (sholat yang dimaksudkan untuk penghormatan terhadap masjid sebagai rumah Allah) . Saya yang sebelumnya keasyikan melihat-lihat berbagai souvenir bertema kaligrafi dan keramik warna-warni khas Andalusia segera mengekor di belakangnya. Seorang petugas toko souvenir yang sekaligus menjadi penjaga masjid dengan ramah menunjukkan arah dimana kami harus berwudhu. Begitu memasuki masjid, rasa teduh langsung menghampiri. Ya, teduh udaranya seketika menjadi penawar rasa panas di luar sana yang mencapai suhu 38 derajat celcius. Teduh suasananya juga seketika mampu menenangkan hati.
Setiap perjalanan sudah selayaknya semakin mendekatkan kita dengan Sang Pencipta. Bukankah begitu?
***
(bersambung)
Wah keren banget foto yg pertama! Jadi pengin jalan2 ke Spanyol lagi… Duh kapan ya? 😀
LikeLike
Makasih, Mbak. Nggak bosen-bosen menikmati pemandangan dari Albaicin. Semoga kesampaian ke sana lagi ya, Mbak Tika. 🙂
LikeLike
Amiiin!!! Thank you 🙂
LikeLike
masjidnya keren..bersih..
LikeLike
Iya, Mas. Masjidnya bagus luar dalam nih hehe..
LikeLike