Eurotrip, Traveling

Menyusuri Jejak VOC di Amsterdam (bagian 2)

IMG_20140322_134514_661 ed
Suasana gudang East Indiaman The Amsterdam

Pada awalnya, tur napak tilas Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merupakan sebuah inisiatif dari Persatuan Pelajar Indonesia di Groningen (PPIG), Belanda. Sejak masih berupa wacana, saya termasuk yang paling bersemangat dan langsung mendaftar saat rencana ini pada akhirnya direalisasikan. Namun sayangnya, pada waktu yang sudah dijadwalkan yaitu pekan pertama di awal Maret 2014, saya tidak bisa ikut karena ada tugas kampus yang harus diselesaikan.

Dengan bermodalkan itinerary tur VOC dari PPIG, pada akhir pekan selanjutnya saya melakukan perjalanan ke Amsterdam. Saya tak sendiri, melainkan dengan rekan saya Mbak Ami yang kebetulan berhalangan ikut juga pada pekan sebelumnya. Jadilah hari itu kami berdua melakukan Napak Tilas VOC PPIG Season 2. 😀 Pastilah perjalanan ini tidak sama karena kami tidak melakukan tur dengan pemandu wisata seperti rombongan PPIG sebelumnya. Dengan mengandalkan aplikasi Google Maps, kami mencoba mengurutkan tujuan berdasarkan rute berjalan kaki yang paling efisien dari Stasiun Amsterdam Centraal. Meskipun tanpa pemandu, kami berharap semoga perjalanan ini tetap memberikan sudut pandang dan wawasan baru.

***

Het Scheepvartmuseum

Di dinding dekat pintu masuk Het Scheepvartmuseum atau Museum Maritim saya melihat sebuah plakat berlogo TripAdvisor. Setelah lebih dekat, barulah saya bisa membaca tulisan tersebut: TripAdvisor Travellers’ Choice 2013 Winner. Wah sebagus apa ya museumnya sampai mendapatkan predikat Travellers’ Choice? Saat baru-baru ini saya membuka website Scheepvartmuseum, ternyata museum ini masih menjadi favorit wisatawan dengan mendapatkan TripAdvisor Certificate of Excellence 2014.

Atap kaca dari Het Scheepvartmuseum
Atap kaca dari Het Scheepvartmuseum
Garis-garis pada atap kaca memghadirkan refleksi indah di dinding museum.
Garis-garis pada atap kaca menghadirkan refleksi indah di dinding museum.

Begitu masuk, saya disambut oleh sebuah ruangan luas beratapkan kaca dengan garis-garis geometris yang indah. Ruang utama menjadi tempat resepsionis, pusat informasi, sekaligus penjualan dan pemeriksaan tiket. Seperti biasa, saya menggunakan museumkaart atau kartu museum agar bisa masuk dengan gratis. Dari ruang utama, saya bisa melihat keempat sayap gedung tersebut yang dinamai sesuai nama arah mata angin, ada noord (utara), oost (timur), zuid (selatan), dan west (barat). Sesuai dugaan saya, gedung indah ini ternyata merupakan bagunan tua yang telah direstorasi. Berdiri sejak 1656, gedung bernama ‘s Lands Zeemagazijn ini dirancang oleh Daniel Stalpaert sebagai gudang penyimpanan bagi angkatan laut. Kala itu, gudang digunakan untuk menyimpan perahu kano, layar, bendera, dan berbagai perlengkapan pelayaran.

Masing-masing sayap dan lantai di museum itu menyimpan koleksi berbeda yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Beberapa koleksi di antaranya adalah miniatur kapal-kapal Belanda, informasi dan eksibisi seputar desain dan teknologi perkapalan, seni dekoratif pada kapal, serta barang-barang peninggalan kapal Belanda. Selain berbagai koleksi di dalam ruangan, tentu yang tak boleh dilewatkan adalah replika kapal East Indiaman the Amsterdam yang bisa diakses dari pintu utara museum.

East Indiaman merupakan nama yang umum digunakan untuk kapal yang beroperasi di bawah lisensi VOC. The Amsterdam sendiri adalah nama salah satu di antara kapal-kapal tersebut. Pada saat itu, VOC merupakan kekuatan dagang paling berpengaruh di Eropa antara abad ke-17 sampai dengan ke-19, bahkan dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia. Dosen mata kuliah International Business saya di University of Groningen juga pernah menyinggung hal tersebut.

East Indiaman the Masterdam dari dekat
East Indiaman the Amsterdam dari dekat (foto: Ami)

Pada suatu hari di awal bulan Januari 1749, The Amsterdam bermaksud mengawali pelayaran pertamanya. Kapal itu berangkat dari Texel, Noord Holland, hendak menuju Batavia, nama yang disematkan Belanda untuk ibukota Indonesia yang kini berganti menjadi Jakarta. Malangnya, ketika berada di perairan Inggris kapal ini hancur dihadang badai. Hingga saat ini puing-puing The Amsterdam masih berada di perairan Inggris di tempat pertama kali ditemukan.

Saya sendiri tidak memeroleh informasi mengapa di antara sekian banyak kapal, kapal inilah yang dibangun menjadi sebuah replika sekaligus menjadi awal dibangunnya Museum Maritim. Begitu keluar gedung ‘s Lands Zeemagazijn, replika The Amsterdam menyambut saya dalam kesan yang agak samar, entah gagah entah angkuh. Bagi pengunjung Belanda, mereka kemungkinan bangga akan kebesaran bangsanya di bidang maritim. Namun ada sesuatu yang mengganggu saya, yaitu fakta bahwa kapal-kapal East Indiaman datang ke Nusantara untuk misi perdagangan yang pada akhirnya mementingkan materi di atas moral dan kemanusiaan.

Di sisi lain, saya kagum atas bagaimana Belanda mendokumentasikan dan menyimpan peninggalan sejarah mereka dengan baik dan detail. Selain itu, kepingan sejarah pun dipresentasikan dalam bentuk yang menarik dan mudah dipahami. Replika The Amsterdam ini misalnya, terlihat begitu berusaha untuk memberikan gambaran mengenai isi kapal penjelajah pada masanya dan bagaimana kehidupan di dalamnya.

Ada berbagai ruangan di dalam replika The Amsterdam. Di salah satu ruangan terdapat berbagai meriam dan perlengkapan persenjataan. Berpindah ke ruangan lainnya, saya mendapati kamar para awak kapal yang berisi tempat tidur susun dengan ukuran minimalis. Agak sulit dipercaya orang Belanda yang bertubuh tinggi besar harus tidur meringkuk di tempat tidur sesempit itu. Tetapi mungkin ukuran tersebut dibuat untuk menghemat ruang kapal yang terbatas.

Lain lagi di dek kapal. Di sebuah ruang yang sebagian tertutup dan sebagiannya terbuka, saya menemukan sebuah ruang makan lengkap dengan replika makanan dan segala macam peralatannya. Seolah para pengunjung bisa turut merasakan makan di atas kapal ala tentara Belanda di tengah pelayaran menuju negeri yang yang baru akan mereka jejaki untuk kali pertama.

Di antara sekian banyak ruangan, salah satu yang paling mengesankan bagi saya adalah gudang di lantai bawah kapal. Peti-peti kayu bertumpuk rapi (seolah) menyimpan berbagai hasil bumi dari negeri yang jauh. Kalau dipikir secara logis, rasanya agak janggal jika The Amsterdam yang berangkat dari Belanda menuju Batavia membawa rempah-rempah (karena seharusnya rempah-rempah diangkut dengan rute sebaliknya). Namun kemungkinan adanya ruangan ini bermaksud memberikan gambaran dari kebanyakan kapal East Indiaman yang biasanya mengarungi setengah lingkar bumi untuk mengangkut berbagai komoditas perdagangan, termasuk rempah-rempah.  Di ruangan tersebut, saya juga mencoba katrol untuk mengangkat peti kayu. Saya pikir peti itu ringan, tetapi ternyata beratnya lumayan juga. Nampaknya peti dibuat sebagaimana berat aslinya jika berisi komoditas perdagangan. Saya sampai kesulitan menarik talinya. Hehe..

Turun dari The Amsterdam, saya mendapat pengalaman baru sekaligus gambaran kondisi pelayaran antar benua di masa lalu. Mungkin orang Belanda akan semakin bangga dengan kehebatan bangsanya. Saya tersadar bahwa banyak orang mungkin melihat objek yang sama, namun setiap orang pasti punya kesan sendiri-sendiri yang dipengaruhi pengetahuan dan sudut pandang masing-masing. Saya rasa ini juga berlaku dalam banyak hal di kehidupan kita.

Tiba-tiba saya teringat pada salah satu teks di sebuah miniatur yang pernah saya lihat saat mengunjungi Madurodam di Den Haag beberapa bulan sebelumnya. Pada sebuah miniatur kapal, disebutkan bahwa kapal tersebut membawa para pelaut dan tentara Belanda yang begitu pemberani. Mereka berlayar selama berbulan-bulan di samudera yang penuh tantangan demi mencapai suatu negeri ‘antah berantah’ dengan iklim dan cuaca yang berbeda, penyakit berisiko yang belum dikenali, serta orang-orang lokal yang masih tertinggal. Dari sudut pandang Belanda, seperti itulah penjelajahan ke negeri-negeri yang jauh. Bagaimana dari sudut pandang kita sebagai negara yang terjajah selama tiga setengah abad?

(bersambung)

1865143963390123180513

Advertisement

3 thoughts on “Menyusuri Jejak VOC di Amsterdam (bagian 2)”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s