Other Stories

Wedding and Marriage

Tadi siang sambil menyantap hidangan makan siang di suatu simposium, muncullah sebuah diskusi tentang pernikahan antara saya dan dua rekan saya yang juga hadir pada acara tersebut. Pada awalnya Ine yang duduk di sebelah saya membahas betapa inginnya ia mengadakan pesta pernikahan bertema alam, unik, private, dan tentunya khidmat. Saya? Tentu saya juga mau. Hehe.. Tetapi bagi saya kehebohan persiapan sekaligus pelaksanaan resepsi pernikahan itu sudah lewat.

Sudah sejak lama, saya juga menginginkan sebuah perayaan pernikahan yang sederhana (no need so many fancy things) dan hanya dihadiri kalangan terbatas saja, yaitu keluarga dan sahabat-sahabat terdekat. Pesta tersebut mengusung suatu tema tertentu, dengan dress code tertentu yang tidak terlalu formal, dan diisi oleh rangkaian acara yang melibatkan para tamu undangan, bukan sekadar datang, bersalaman, dan makan. Ya, mimpinya sih begitu… Apalagi kalau melihat film-film barat hal seperti itu sangat lumrah. Rasanya senang bisa berbagi di hari yang spesial dengan perayaan yang terasa dekat dan akrab. Pernah di suatu film, sang tokoh utama akan menikah dan daftar undangan ‘membengkak’ menjadi seratus orang. Calon suaminya kemudian terkaget-kaget, “Apa? Seratus? Kok bisa?” Orang itu pasti pingsan kalau tahu di Indonesia jumlah undangan 500 orang itu biasa, bahkan nyatanya antisipasi jumlah tamu yang datang harus dikalikan dua karena asumsi membawa teman atau pasangan.

Lalu, apakah resepsi pernikahan yang private, unik, akrab, dan khidmat itu tidak mungkin dilaksanakan di Indonesia?

Tenang saja… Jawabannya MUNGKIN kok. 🙂

Foto: http://thebridedept.com/
Dekorasi pada pernikahan Andien – Ippe (Foto: http://thebridedept.com/)

Lihat saja pernikahan Andien yang membuat hampir semua orang berdecak kagum dan mupeng. Beberapa teman yang saya kenal juga mengadakan resepsi pernikahan yang unik, mengundang tamu dengan jumlah terbatas, dan menentukan tema sesuai dengan yang mereka inginkan.

HANYA SAJA…

Banyak sekali pertimbangan dan tentu perjuangan tersendiri yang harus dilalui untuk mewujudkannya. Satu dari sekian banyak pertimbangan yang terpenting adalah orang tua.

Mau tidak mau dan sudah pasti wajib bagi kedua mempelai untuk mendapatkan restu dari orang tua. Pada kenyataannya, restu itu bukan sekadar “Yaudah, kamu direstui untuk menikah dengan si A” melainkan meliputi seluruh proses dari mulai persiapan, prosesi pranikah (kebudayaan tertentu, jika ada), akad nikah, sampai resepsi pernikahan.

Nah, konsep resepsi yang bisa dibilang di luar ‘pakem’ kebiasaan ini harus bisa dikomunikasikan dengan baik. Orang tua (kedua mempelai) bisa saja punya preferensi dan ekspektasi tersendiri mengenai resepsi pernikahan anak-anaknya. Kalaupun kita berargumen bahwa kita siap membiayai resepsi kita sendiri, belum tentu usulan kita langsung diterima. Biasanya isunya bukan sekadar aspek finansial melainkan juga melibatkan aspek sosial.

Alasan “nggak enak kalau nggak ngundang tetangga dan kolega” biasanya menjadi hal yang memengaruhi pandangan orang tua tentang bagaimana seharusnya sebuah resepsi berlangsung. Karena alasan dan sudut pandang sudah berbeda, kalau sama-sama ngotot bisa jadi tidak bertemu jalan tengahnya. Oleh karenanya, masing-masing harus bisa berkompromi.

Bagi saya pribadi, lebih baik kita anak-anaknya yang berkompromi dengan apa yang diharapkan orang tua. Ingat, ini bukan battle antara kita dan orang tua. Ini bukan ajang pembuktian siapa yang lebih bisa memengaruhi siapa. Ini bukan menang dan kalah. Jika kita memiliki usulan konsep pernikahan yang unik, yang penting dikomunikasikan dahulu. Setelah melihat reaksi orang tua dan perkembangan diskusi, sebagai orang yang sudah dewasa, kita seharusnya bisa menilai apakah rencana kita akan tetap dilaksanakan atau tidak.

It’s not just about the wedding, it’s about the marriage

After all, we want to get married because of the marriage, not ‘just’ the wedding, right? Kita memutuskan mengikat janji suci yang sah secara agama dan hukum dengan orang yang kita cintai untuk selanjutnya memulai hidup bersama. Bersama dalam suka, suka, suka, dan duka (maksudnya berdoa supaya sukanya lebih banyak. Amin :)). Bersama dalam senyum, tawa, dan tangis. Berbagi cerita sehari-hari, mendengarkan, berdiskusi tentang berbagai isu, melakukan hobi bersama, menjelajah tempat baru bersama, saling mendukung dan menguatkan, dan lainnya. Itu kan yang kita inginkan?

Percayalah, memang terkadang (atau seringkali) ada ganjalan, hambatan, dan perbedaan pandangan dalam mempersiapkan pernikahan. Selama hal itu masih bersifat teknis dan tidak melewati batas prinsip hidup kita (misalnya kepercayaan), idealnya semua masih bisa dipikirkan ulang. Maksudnya, jangan terburu-buru bereaksi saat ada yang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Pernikahan saya dulu dilakukan pada jeda liburan semester yang hanya dua minggu. Saat proses persiapan, saya tidak ada di Indonesia karena sedang berkuliah di Belanda. Saya bersyukur ada keluarga (terutama Mama yang menjadi koordinator) yang ikhlas membantu mempersiapkan banyak hal, juga suami (saat itu masih calon suami) dan keluarganya yang juga turut membantu sehingga rencana besar tersebut bisa terlaksana. Alhamdulillah.

Karena saya tidak ada di Indonesia, saya sadar bahwa saya tidak bisa banyak membantu. Sejak awal memantapkan rencana pernikahan yang dilakukan di jeda liburan tersebut, saya sudah membuang jauh-jauh bayangan resepsi pernikahan dengan konsep yang sejak dulu ada di kepala saya. Siapa yang akan mengurus? Lagipula saya pun tidak punya banyak waktu untuk mendiskusikannya dengan keluarga.

Ketika ada perbedaan pandangan antara kedua keluarga (ini wajar terjadi), saya dan suami berusaha menjadi penengah yang membantu berkomunikasi kepada masing-masing pihak. Pada masa-masa tertentu, beberapa hal terasa sangat sulit. Tetapi saya dan suami selalu kembali ke awal. We want to get married. We want to build a family. We want a happy marriage more than we expect an ideal wedding reception.

1653282_10152022401349615_821121902_n
Akad nikah (2013)
Summer in Groningen, Netherlands (2014)
Summer in Groningen, Netherlands (2014)

Dan hari yang membahagiakan itu tiba pada suatu hari di bulan Desember dua tahun lalu. Diikuti dengan hari-hari membahagiakan selanjutnya (setidaknya kami berusaha untuk bahagia dan mensyukuri yang kami miliki hingga hari ini).

The wedding reception is only for a day but surely we want our marriage to last until death do us apart. Insha Allah.

Ps. I hope I don’t discourage you to struggle for your own dream wedding. Go for it, but remember family comes first. 🙂

1865143963390123180513

14 thoughts on “Wedding and Marriage”

  1. Hahaaa kebayang deh orang tua yg pengen heboh jg saat kawinan anaknya, smoga hanya sampe generasi kita aja yg modelnya begini dan generasi setelahnya punya privacy sendiri saat mengurus pernikahan mereka, kesian jg soalnya:)

    Liked by 1 person

  2. Aku dulu juga gak bisa banyak bantu krn di Jkt, jd yg urus keluarga di Malang. Makanya manut aja deh sama apa yg mama-papa pengen 😀 Liat mereka bahagia meskipun dirempongin urusan nikahan itu rasanya….priceless

    Like

    1. Iya, Dita.. Kurang lebih sama ya kondisinya. Dan waktu itu suamiku jg udah pindah ke Jogja jadi mostly memang keluarga yg mengurus persiapan. Akhirnya mikir gitu juga, bahwa orang tua kita punya kebahagiaan tersendiri dalam membantu mempersiapkan pernikahan kita. 🙂

      Like

  3. Aku juga berkeinginan kelak menikah dengan konsep yang private, sedikit temen dan keluarga namun nyatanya (lha sekarang aja udah bilang nyatanya >.<) itu gak mungkin. Kenapa? karena kita keluarga besar. Keluarga aja bisa lebih dari 100 orang, apalagi tamu. Kecuali nikah lari ya kayak Bajuri dan Oneng hahaha.

    Langgeng terus ya Cha! 🙂

    Like

    1. Eh emangnya Bajuri sama Oneng nikah lari ya? Haha.. *salah salah fokus*
      Iya.. kalau hitung2an matematika sih akan cukup menantang untuk menyeleksi tamu undangan karena kuota pasti udah habis sama keluarga istri dan suami. 😀 Solusinya sih kalau emang pengeeeen banget resepsi ala kita sendiri, ya bikin acara dua kali. Satu ngikutin ortu, yang lainnya acara kita sama teman2. Tapi kalau udah nikah mah mikirnya uangnya dikumpulin aja buat beli hal2 lain yg lebih penting. 😉
      Btw makasih yaa.. Semoga lancar juga segala-galanya buat Mas Yan hehe..

      Like

  4. Inget kita pernah ngobrolin ini seabad yg lalu ya cha… Tapi secara kultur di Indonesia yah, namanya nikahan itu kan acaranya orang tua -terutama ortu perempuan- karena kita ngga bisa nikah tanpa restu ayahanda. Dan ya namanya orang tua seneng kalo banyak yg dateng, berarti banyak yg doain, dan -in some cases- seneng kalo banyak yg nyumbang. Nah niat yg belakangan ini trus bikin bbrp org jadi “maksa” buat bikin resepsi yg wah di gedung bergengsi biar banyak yg nyumbang. Sigh…

    Like

    1. Hah? Serius No? Untuk yg terakhir sih gw gak tahu sampai ada yang kepikiran kayak gitu. :/

      Iya.. ini emang obrolan udah lama banget yaa.. dan mungkin curahan hati mereka yang udah mengalami tahap ini. Pas mengalami masa2 yg gak mudah, gw sama Chendra ya mikirnya yang penting akad deh. Di luar itu semua (seharusnya) bisa dikompromikan.. Setuju, restu dan kebahagiaan orang tua itu sesuatu yang gak terbayarkan oleh apapun.

      Like

  5. iaa mba, karena sekarang lg proses persiapan ini, jadinya berasa banget deh. konflik sana sini, kemauan banyak banget. tp in the end emang keluarga inti. aku dahuluin apa yang orang tua aku pingin, karena ini jg kebanggaan dan kebahagiaan mereka 🙂
    Bahagia terus ya Mba sama suaminya 🙂

    Like

    1. Huaaa.. Mbak Astrid, semoga persiapannya berjalan lancar ya. Yup, ini adalah kesempatan untuk membahagiakan orang tua sebelum berstatus sbg istri orang. Sekali lagi selamat ya, Mbak.. dan terima kasih utk doanya. 🙂

      Like

  6. Wah bener banget ini. Dulu juga mengidam (istri sih) hal yang sama tapi kemudian karena semua mua dibantuin keluarga jadi ya ikut aja. Toh yang happy bukan cuma kita yang nikah kan ya. 😀

    Like

Leave a comment