Indonesia, Traveling

[SumateraTrip-9] Serba-serbi Bukittinggi

Jam gadang! Mungkin itu yang pertama terlintas di benak kebanyakan orang saat mendengar nama kota yang satu ini. Di balik itu, jauh puluhan tahun yang lalu, Bukittinggi memiliki peran penting dalam sejarah kebangsaan. Kota ini pernah ditunjuk sebagai ibukota Pemerintahan darurat Republik Indonesia ( PDRI ) pada Desember 1948 sampai dengan Juni 1949, setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Setelah itu, Bukittinggi menjadi ibukota provinsi Sumatera, Sumatera Tengah (mencakup Sumbar, Jambi, dan Riau), dan Sumatera Barat sampai akhirnya ibukota dipindahkan ke Padang. Sebelum Indonesia merdeka pun Belanda dan Jepang telah menjadikan Bukittinggi sebagai kota penting, yaitu sebagai basis militer.

Bukittinggi masa kini terkenal dengan pariwisatanya. Jujur saja saya justru agak bingung menceritakan kota ini dari sudut pandang yang berbeda. Pasti sudah banyak pejalan yang berkunjung ke kota ini dan bercerita mengenai kemegahan jam gadang, keindahan Ngarai Sianok, kisah di Rumah Kelahiran Bung Hatta, dan lainnya.

Pagi itu saya berangkat dari rumah Heru sekitar pukul 8.30 pagi. Kabar baiknya, rumah Heru terletak tak jauh dari Pasar Bawah dan Pasar Atas yang berarti juga tak begitu jauh dari Jam Gadang. Berdasarkan arahan dari Hari, tempat terdekat yang bisa saya singgahi adalah Rumah Kelahiran Bung Hatta. Begitu menemui jalan raya, saya hanya perlu berbelok ke kiri dan jalan lurus terus. Rumah yang dimaksud ada di sebelah kanan jalan. Rumah kayu berlantai dua itu terlihat asri dan terawat. Pada dinding depannya tertulis ‘Dibuka untuk Umum Senin – Minggu. Mulai pukul 08.00’ yang berarti tempat ini buka setiap hari. Masuk ke rumah ini tidak dipungut biaya sama sekali. Saya disambut seorang petugas yang ramah dan kemudian mengisi buku tamu.

Rumah Kelahiran Bung Hatta

Pemugaran dan peresmian Rumah Kelahiran Bung Hatta ini diprakarsai oleh pemerintah pusat dan Pemda setempat pada 1995. Ruangan yang ada di bangunan utama di antaranya adalah ruang tamu dan kamar-kamar. Ada juga ruang makan di bangunan ini namun harus masuk lewat pintu belakang yang sekaligus juga tempat adanya tangga untuk naik ke lantai dua. Di gedung terpisah di bagian belakang, terdapat dapur, kamar bujang, serta satu ruang terbuka tempat menyimpan kereta (tanpa kuda).

Rumah ini menurut saya cukup informatif. Di dindingnya terpajang foto-foto keluarga Bung Hatta beserta keterangannya. Ada juga potongan foto dan berita yang dibingkai serta silsilah keluarga Bung Hatta. Konon perabotan rumah ini pun kebanyakan masih asli sehingga nuansa masa lalu masih cukup terasa.

Beranjak dari rumah ini, saya berjalan terus melewati Pasar Bawah menaiki tangga menuju Pasar Atas. Dari sana Jam Gadang Sudah terlihat. Saya belum tahu pasti letak-letak tempat wisata di sekitarnya, namun saya pikir nanti saya bisa bertanya sana-sini, jadi saya tetap melangkah. Saya juga pernah diberi tahu salah seorang teman bahwa di dekat Jam Gadang ada pusat informasi pariwisata, nanti saya bisa mampir.

Jam Gadang, Tangga ke Pasar di Atas, dan Jembatan Limpapeh

Saya rasa cuaca pagi itu bisa dibilang sempurna. Cuaca cerah namun juga tidak terlalu terik. Langit biru, sedikit awan putih menghiasi. Belum terlalu banyak orang di sekitar Jam Gadang sehingga cukup memudahkan untuk mengambil foto. Jam Gadang sendiri berarti Jam Besar. Dengan tinggi 26 meter, terdapat empat jam di empat sisi menaranya. Jam Gadang ini bersaudara lho dengan Jam Big Ben yang terdapat di London, Inggris. Saya bilang bersaudara karena punya hubungan dalam hal kesamaan mesin jamnya. Mesin jam jenis ini hanya dibuat dua unit di dunia, yaitu untuk Jam Gadang dan Big Ben.

Selain berfoto, kita juga bisa duduk-duduk menikmati pagi atau sore di sekitar jam ini (kalau mau santai siang juga sipersilakan, tapi kan panas. Hehe…). Terdapat cukup banyak kursi di sekeliling komplek Jam Gadang. Bila mau berjalan-jalan menggunakan delman, tersedia juga delman yang mangkal di komplek ini.

Usai memotret Jam Gadang dari berbagai sisi, saya berjalan menuju Benteng Fort de Kock. Ternyata benteng ini terletak satu komplek dengan Kebun Binantang Bukittinggi (Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan). Pintu masuknya sama dan saya hanya perlu sekali membayar karcis masuk seharga Rp8.000 (semua harga karcis masuk masih terhitung libur lebaran). Ada dua kawasan dimana keduanya dihubungkan oleh Jembatan Limpapeh yang melintasi Jalan Ahmad Yani. Benteng Fort de Kock saat ini jauh dari ekspektasi saya akan sebuah benteng. Memang masih ada beberapa meriam di sana, namun tak ada sisa-sisa bangunan yang benar-benar bernuansa benteng. Temboknya sudah baru dan dicat putih/krem.

Benteng ini didirikan kali pertama pada 1825 oleh Kapten Bouer. Kala itu Belanda mendirikan dua benteng di Sumatera Barat, yaitu di Bukittinggi dan Batusangkar (Benteng Fort Van der Chapellen). Konon karena kedua kota tersebut adalah yang paling sulit ditaklukkan pada saat Perang Paderi.

Tujuan selanjutnya adalah Goa Jepang dan Ngarai Sianok. Nah, saya agak disorientasi begitu keluar dari pintu keluar kebun binatang di sisi lain Jembatan Limpapeh. Setelah beberapa detik saya melakukan orientasi medan (gaya!) saya sampai pada kesimpulan bahwa ternyata berjalan lurus dari pintu keluar ini, saya bertemu lagi dengan Jam Gadang. Ya ampun! Ternyata tadi jalannya memutar di sekitar sini saja.

Namun ternyata berjalan kaki dari kebun binatang ke Goa Jepang itu cukup jauh lho! Alhamdulillah kaki saya bisa diajak bekerja sama sehingga saya mampu melangkah tanpa keluh kesah (it rhymes! :p). Pemandangan saat pertama mendekati kawasan Goa Jepang dan Ngarai Sianok? Monyet! Iya, monyet-monyet itu baik bergerombol maupun sendiri-sendiri seolah menyambut kedatangan para pengunjung. Saya sok kalem padahal agak-agak melipir ngeri. Maklum, trauma pernah diganggu kawanan monyet jail di Kaliurang, Jogja. Mereka (monyet-monyet Kaliurang) merampas hidup saya! Eh nggak ding, merampas harta benda teman saya gara-gara ia mengeluarkan makanan. Still, it was sooo annoying to death.

Ngarai Sianok

Oke, fokus lagi ah. Saya baru tahu ternyata bayar karcis masuknya dua kali ya. Pertama saya membayar Rp4.000 di pintu masuk ke taman untuk melihat pemandangan Ngarai Sianok. Kedua, membayar lagi Rp6.000 jika kita hendak masuk ke Goa Jepang. Oh ya, jangan kaget kalau nanti Saudara sekalian diikuti oleh para pemandu yang menawarkan jasanya. Menurut saya masuk ke Goa Jepang memang lebih enak pakai pemandu. Namun karena waktu itu tidak tercapai kesepakatan harga antara saya dan calon pemandu itu, kami memilih jalan berbeda. Saya masuk goa, dia pergi menjauh dengan langkah gontai.

Setelah sebelumnya sempat ke Lubang Tambang Mbah Soero, masuk ke Goa Jepang agak sedikit mengecewakan. Lorong-lorongnya gelap tanpa dipasang lampu yang memadai. Selain itu, sayang sekali tempat bersejarah seperti ini kotor karena aksi vandalisme pengunjungnya. Banyak coretan di sana-sini. Memang Goa Jepang di Bukittinggi ini sudah jauh lebih lama diresmikannya, yaitu tahun 1986. Namun seharusnya usia bukan menjadi alasan suatu tempat wisata tidak terawat lagi bukan?

Karena saya tidak menggunakan jasa pemandu, saya dan dua orang bule Inggris ngintil di belakang rombongan sebuah keluarga. Sebenarnya selain untuk menguping cerita si Bapak pemandu, saya juga merasa ngeri kalau berjalan sendirian dalam kegelapan. Sang pemandu membawa kami ke sebuah ruangan. Katanya itu adalah tempat pribumi dan para tawanan disiksa oleh Jepang, kemudian mayatnya dibuang ke sebuah lubang yang ada di pojokan. Lubang itu menuju ke luar goa. Ketika lubang ini pertama kali ditemukan warga pada 1946, konon tulang belulang manusia berserakan.

Perkenalkan: Turis Udik

Tanpa saya sadari, saya juga diikuti seseorang. Dia adalah pemandu muda yang mencoba sok akrab dan menjelaskan ini-itu. Karena saya merasa orang ini baik dan sopan, saya biarkan saja. “Nggak usah bayar kok,” katanya seolah meyakinkan bahwa saya tak perlu waswas nanti tiba-tiba dimintai uang. Haha… Saya mendengar ceritanya dan sesampainya di luar tentu lah saya beri tip. Dan tahukah bahwasanya sepanjang di dalam goa tadi saya melakukan kebodohan? Ternyata saya lupa melepas sunglasses. Pantesan dari tadi gelaaaap! (Yah selain memang tidak ada lampu di dalam goa)

Setelah menanggung malu (kepada diri sendiri), saya berjalan menyusuri taman dan melewati ruko penjual souvenir. Saya berhenti di di tempat penjual lukisan dan membeli beberapa lukisan kecil sebagai souvenir bagi host saya di kota-kota selanjutnya. Kami mengobrol sana-sini sampai akhirnya ketahuan kalau si bapak penjual berasal dari Tasikmalaya. Serta merta bahasa Sunda keluar dari mulut kami berdua menggantikan bahasa Indonesia. 😀

3 thoughts on “[SumateraTrip-9] Serba-serbi Bukittinggi”

  1. Kalau suasana malam di bukitinggi gimana ya? enak buat makan sambil bongkrong gak sih mbak? maklum susah tidur cepet, jadi harus cari tempat nongkrong 🙂 🙂 …oh ya salam kenal 🙂

    Like

Leave a comment