“Kasih tahu ya kalau sudah hampir sampai. Nanti dijemput Hari, adiknya Heru.”
Begitulah kira-kira bunyi pesan singkat yang dikirim oleh Mama Heru. Hujan baru saja reda saat saya tiba di Bukittinggi. Ya, hujan sering sekali menjadi saksi kedatangan dan kepergian saya di suatu kota pada perjalanan ini. Tak lama saya berhenti di depan ruko pertokoan sampai akhirnya seorang pengendara motor menepi. Wajahnya mirip Heru, ah ini pasti Hari!
Heru adalah teman saya saat bekerja di UGM. Saya waktu itu meminta rekomendasi darinya perihal tempat menginap di Bukittinggi. Ia malah menawarkan menginap di rumahnya saja, tentu saya tak menolak. Heru sendiri saat itu sudah berangkat ke Washington DC untuk melanjutkan kuliah. Hehe.. Jadi saya menginap di rumah teman, sementara teman saya itu tidak di rumah. Orang-orang bilang saya aneh.
Sebelumnya, Mas Wiwit yang juga rekan kerja saya saat di UGM pernah menginap di rumah Heru saat ia solo backpacking ke Sumatera setahun sebelumnya. Jadi saya tidak ragu akan menemukan sebuah keluarga baru yang hangat di Bukittinggi. Lagipula bagi saya yang seorang perempuan, rasanya lebih aman menginap di rumah orang yang saya kenal daripada sendirian di penginapan.
Setelah melewati sisa-sisa gerimis, memasuki rumah Heru rasanya nyaman sekali. Saya langsung bersalaman dan memperkenalkan diri saya kepada Nenek Heru. Mama Heru saat itu belum pulang karena beliau masih mengajar. Hujan kemudian turun lagi sehingga saya menghabiskan sore hingga malam itu di rumah saja. Berbenah sekaligus mencuci pakaian kotor yang menumpuk.
Nasi, sayur, dan rendang menjadi santapan malam itu. Sambil menikmati makan malam, saya berbincang dengan Mama Heru. Perbincangan seorang anak yang pergi meninggalkan rumah dan seorang ibu yang ditinggalkan anaknya ke luar negeri untuk belajar. Kami berjodoh karena kemudian kami saling menyelami perasaan satu sama lain. Anak yang memahami perasaan ibu dan ibu yang memahami perasaan anak.
“Tante mengerti perasaan Mama Icha. Pasti nggak mudah ditinggalkan anaknya pergi jauh. Tapi kalau nggak seperti itu anak nggak akan belajar dan dapat pengalaman,” kata Mama Heru. Saya mengangguk dan terdiam.
Tiba-tiba terbayang wajah Mama nun jauh di Bekasi, yang telah bertahun-tahun melihat punggung saya menjauh dan hilang dari pandangannya. Sewaktu saya meninggalkan rumah untuk sekolah di asrama saat SMA, ketika saya berangkat kuliah ke Jogja, ketika saya ke luar negeri untuk kali pertama, ketika saya pamit berangkat ke Bawean – tempat yang tak terbayangkan olehnya – dan semua kepergian saya yang terkadang terlalu egois untuk sekadar memikirkan perasaannya (Gosh, saya menahan air mata demi meneruskan tulisan ini).
Mama Heru seperti Mama saya. Saya merasakannya. Bahkan rendang buatannya sama seperti rendang buatan mama (tepuk tangan untuk mama saya yang asli Sunda namun rendang buatannya menyamai buatan orang asli Minang :D).
Mama Heru bercerita bagaimana ia ditinggalkan Heru sejak di bangku SMA. Saat itu Heru berangkat pertukaran pelajar ke Amerika dalam program AFS (Bina Antar Budaya). Kemudian Heru pergi ke Jogja untuk kuliah, dan kepergian-kepergian lainnya. Jauh dari rumah.
Saya ingat sejak kuliah saya jarang meminta izin kepada orang tua jika saya hendak beraktivitas atau pergi ke suatu tempat, entah itu acara kampus, jalan-jalan pribadi, naik gunung, dan lainnya. Iya, saya bilang sih, tetapi seringkali bukan dalam konteks meminta izin melainkan laporan saya sedang dimana atau mau kemana.
Sewaktu saya semester akhir kuliah, dengan santainya saya bilang ke Papa. “Pa, nanti insya Allah September mau backpacking keliling ASEAN ya.” Cetarrrr! Alih-alih kaget, Papa saya responnya datar saja. “Oh.. Sama siapa?” Saya bilang berdua sama seorang teman saya, Pupu. Yang terpenting saya menyampaikan bahwa target saya bulan itu saya sudah lulus dan wisuda. “Udah beli tiketnya,” tambah saya. Papa tak bisa berkata-kata selain mengucapkan hati-hati dan semoga lancar, begitu pula dengan mama. Nampaknya mereka sudah kebal dengan kelakuan saya.
Mendengar curahan hati Mama Heru tentang keikhlasan seorang ibu melepaskan anaknya pergi, saya merasa tersentuh. Karena jujur saja antara saya dan Mama jarang sekali membicarakan tentang ini. Saya hanya tahu Mama mendukung saya dan membekali saya dengan kepercayaan dan doa. Jadi terpikir, saat nanti saya menjadi seorang ibu, bisakah saya seperti mereka?
***
Saya terbangun di subuh yang dingin keesokan harinya. Mama Heru menghampiri saya dan berkata, “Icha, semalam pakaiannya Tante keringkan di mesin cuci ya. Itu sudah Tante jemur lagi. Kalau nggak begitu takutnya nggak kering, karena sedang sering hujan.”
Itulah perhatian dan kasih sayang seorang Ibu. Salam hormat untuk para ibu luar biasa di seluruh dunia. :’)
kok saya jadi ikutan sedih baca ini :”)
saya merasa beruntung mbak, juga punya ibu yang memahami bahwa saya akan dapat banyak ilmu di perjalanan, maka beliau mengizinkan saya bepergian jauh 🙂
LikeLike
Meskipun kita jauh dari rumah, selalu ada pengalaman yang justru mendekatkan jarak yang ada. Bukankah begitu? 🙂
LikeLike
terus aku juga jadi keinget ibuku mba. nice post.
LikeLike
Thanks Tiara. Tadi abis nulis ini aku langsung SMS mamaku dong. :’)
LikeLike