“Waah udah bahagia ya, sekarang udah punya anak.”
Beberapa kali kami mendapat komentar yang kurang lebih sama. Kami percaya, tidak ada maksud yang tidak baik dari kalimat tersebut.
Alhamdulillaah.. sebelum dikaruniai anak pun kami berusaha untuk senantiasa bersyukur dengan apa yang Allah berikan, karena sejatinya rezeki itu berbagai macam bentuknya.
Alhamdulillah dikaruniakan kesehatan, pasangan yang baik, keluarga yang suportif, pekerjaan, waktu luang untuk melakukan hal-hal yang semoga bermanfaat, dan masih banyak lagi.
Hampir enam tahun kami menanti sampai dengan dikaruniai nikmat kehamilan. Perjalanan kami berdua menanti buah hati juga kami anggap sebagai sebuah jalan dari Allah agar kami lebih saling mengenal dan memahami satu sama lain, bisa saling mendukung, serta belajar sabar dan berprasangka baik kepada Allah. Jika doa kita belum diijabah hari ini, insya Allah itu adalah jalan bagi kita untuk tetap rendah hati dan tunduk di hadapan Allah, karena manusia tugasnya ikhtiar dan berdoa, urusan rezeki adalah hak Allah. Dan percayalah, terkadang kita sudah melakukan bermacam ikhtiar dan belum kunjung membuahkan hasil, ternyata Allah bukakan pintu lewat jalan lain yang tak disangka-sangka.
Sewaktu mengetahui saya hamil, beberapa teman bertanya, program apa yang kami jalani. Biidznillah.. kami diberikan amanah kehamilan ketika kami sedang tidak menjalani program medis apapun. Beberapa tahun sebelumnya, kami memang on-off konsultasi ke dokter dan melalui sejumlah program, termasuk inseminasi buatan dan operasi. Hal yang perlu digarisbawahi, baik istri maupun suami wajib berperan aktif dalam segala ikhtiar medis ini. Ini penting, karena biasanya istrilah yang mendapat stigma negatif dari masyarakat, atau bahkan keluarga terdekat, jika suatu pasangan mengalami kasus infertilitas. Padahal pemeriksaan suami dan istri penting agar pemeriksaan komprehensif dan langkah yang diambil sesuai dengan kondisi pasangan tersebut.

Menjalani program kehamilan, selain tentunya membutuhkan persiapan finansial, juga cukup menguras energi, termasuk dari sisi mental. Jadi idealnya program kehamilan dilakukan dalam keadaan baik, sehat, nyaman, dan tidak stres. Waktu itu kami sudah sekitar setahun mengambil jeda, tidak menjalani program apapun. Bulan Juli 2019, kami sempat membahas untuk mulai konsul ke dokter lagi dan mempertimbangkan program bayi tabung (IVF). Qadarullah Agustus 2019 testpack menunjukkan hasil positif hamil. Alhamdulillah.
***
Sebelum menikah, mungkin tak ada yang mempersiapkan mental suami-istri untuk mengalami kondisi infertilitas dan segala perjuangannya. Setiap pasangan yang mengalaminya pun punya cerita dan pengalaman yang berbeda.
Alhamdulillaah di antara banyak pelajaran penting yang kami dapat dari penantian kami, salah satunya adalah pelajaran tentang empati.
Ternyata:
– begini ya rasanya ditanya-tanya tentang anak (bahkan oleh orang yang tidak kenal-kenal amat).
– memang benar, perempuan yang sering mendapat stigma negatif jika pasangan belum dikaruniai anak.
– tuntutan sosial akan terus ada, dari mulai kapan menikah, kapan punya anak, kapan punya anak lagi, dst. (kita tak akan pernah cukup jika terus hidup dalam ukuran/standar yang dibuat orang lain).
– kita harus kreatif ya dalam berbasa-basi, termasuk bertanya-tanya tentang anak. Karena bisa saja tidak ada maksud buruk tetapi malah menyakiti.
– yang dibutuhkan pasangan yang sedang menanti buah hati adalah dukungan dan doa, bukan rasa kasihan.
***
Untuk teman-teman yang masih berjuang, insya Allah ikhtiarnya berbuah pahala. Semoga senantiasa diberikan kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan dalam menjalaninya. Kitalah yang paling tahu kondisi keluarga kita sendiri. Jika suara-suara di luar terlalu ‘bising’ dan membuat kita tidak nyaman, tak ada salahnya mengambil jarak. Jika kita lelah, tak ada salahnya mengambil jeda. Kesehatan dan kebahagiaan kita sangatlah berarti, dan itu bukan dari ukuran orang lain. 🙂
