
Kelok 44 namanya. Saya rasa banyak orang sudah familiar dengan nama itu. Kelokan ini terletak di perbukitan menuju Danau Maninjau, tepatnya masuk wilayah Kabupaten Agam. Saya berangkat pukul 2 siang dari Bukittinggi, setelah sebelumnya jalan-jalan di sekitar Jam Gadang.
Saya sebenarnya sudah bertanya kepada Hari mengenai moda transportasi apa yang dapat saya ambil untuk menuju Danau Maninjau. Katanya ada semacam minibus dari terminal, namun Hari menawarkan untuk diantarnya saja supaya saya juga bisa ke Puncak Lawang. Puncak Lawang adalah bukit dimana kita bisa melihat Danau Maninjau dari atas. Wah pasti bagus sekali untuk memotret, pikir saya.
Ternyata Puncak Lawang cukup ramai. Puncak dataran tinggi ini terletak di Kecamatan Matur, Kabupaten Agam. Sebelum masuk, kami diminta membayar masing-masing Rp6.000. Tidak jelas juga dasarnya apa, tidak ada karcis dan saya tidak melihat pengumuman terpampang mengenai jumlah biaya masuk.
Selain menikmati pemandangan Danau Maninjau dari atas, ada juga fasilitas untuk outbound dan paralayang. Sayang karena udara siang itu terbilang sangat panas, pemandangan Maninjau justru tak begitu jelas terlihat, kabur oleh air yang menguap ke udara. Hmm..mungkin kali lain lebih baik ke Puncak Lawang di pagi hari saja.

Dari Puncak Lawang, kami melanjutkan perjalanan melewati Kelok 44. Kali pertama saya tahu tentang kelok 44 adalah dari novel A. Fuadi berjudul Negeri 5 Menara. Saya ingat sekali latar tempat di awal ceritanya, saat ia hendak bersekolah ke Jawa dan meninggalkan tanah Minang.
Karena berkontur pegunungan, kalau tiap keloknya mau dinamai, pasti akan banyak sekali nama kelok di Sumatera Barat. Saat perjalanan Padang-Sawahlunto saja, mayoritas jalurnya kelokan dan dikelilingi bukit. Kelok 44 mungkin menjadi istimewa karena kelokannya tajam dan terus-menerus hingga 44 kelokan sepanjang kurang lebih 10 kilometer.
Hari dan saya waktu itu berkendara motor. Saya rasa akan lebih ngeri lagi kalau menyetir mobil karena perlu perhitungan yang presisi jika berpapasan. Di kelokan ini, pengendara juga belajar untuk sabar dan toleransi. Jika berpapasan saat kelokan, harus ada salah satu yang mengalah (biasanya yang arah menanjak dipersilakan terlebih dahulu). Dari segi keamanan, saya rasa adanya spion jalan di tiap kelokan sangat membantu sehingga kita bisa melihat kendaraan dari arah berlawanan.

“Tapi kalau malam, jalan ini gelap, Cha, belum ada lampu,” Hari memberi tahu. Glek! Mengerikan sekali.
Di kelokan ke sekian, Hari bertanya apakah saya mau turun untuk memotret (atau dipotret :D). “Nanti aja deh Har, pas pulang ya. Aku mau foto di Kelok 1 SAMA di Kelok 44,” jawab saya.
“Apa? Kelok 1 SAMPAI 44?” Mungkin lebih baik Hari pingsan saja atau nyebur ke danau kalau permintaan saya sekejam itu. Hahaha…
“SAMA, bukan SAMPAI…” jawab saya menenangkan.

Danau Maninjau ini merupakan danau vulkanik, yaitu danau yang cekungnya terbentuk karena letusan gunung berapi. Di Sumatera Barat, Maninjau adalah danau terluas kedua setelah Singkarak. Seperti di kebanyakan daerah di Indonesia, danau ini memiliki cerita yang dipercaya oleh rakyat setempat sebagai asal mula terjadinya.
Kisah Bujang Sembilan. Begitulah kisah yang diceritakan dari mulut ke mulut mengenai danau ini. Alkisah ada sebuah keluarga terdiri atas 10 orang anak: 9 orang laki-laki (bujang) dan seorang perempuan bernama Sani. Kecantikan paras dan perilaku Sani memikat pemuda bernama Sigiran. Sani pun merasa Sigiran adalah pemudah yang baik. Singkat cerita, mereka jatuh cinta.
Sayangnya, kakak Sani tidak setuju akan hubungan itu. Ternyata pernah ada dendam antara kakaknya dengan Sigiran. Kemudian datanglah tuduhan dari kakak-kakaknya bahwa Sani dan Sigiran melakukan perbuatan amoral. Dua sejoli itu membantah habis-habisan namun tetap dibawa ke sidang adat dan diputuskan bersalah.
Sebagai hukuman, Sigiran dan Sani dibawa ke puncak Gunung Sitinjau. Sani bersumpah dan memohon kepada dewa, jika ia tidak bersalah, maka gunung ini akan meletus dan Bujang Sembilan dikutuk menjadi ikan. Terjadilah apa yang diucapkan oleh Sani tersebut. Gunung bergetar, mengeluarkan lahar panas, dan kesembilan kakaknya berubah menjadi ikan.
Tentu saat saya ke Maninjau, suasana tenang meliputi. Tak ada gunung bergetar dan semua kehebohan kisah Bujang Sembilan. Di tengah danau, para nelayan sibuk menangkap ikan. Penginapan dan warung banyak berjejer di pinggiran danau. Saya dan Hari menepi di salah satunya, duduk menghadap danau sambil bercerita tentang rencana hidup masing-masing. Sesekali kami menyeruput jus yang kami pesan. Menghabiskan sore di Maninjau cukup menyegarkan pikiran.
Pengeluaran Hari Kelima
Tiket Kebun Binatang & Benteng Rp8.000
Tiket Taman Ngarai Sianok Rp4.000
Tiket Goa Jepang Rp.6.000
Souvenir Rp55.000
Tip Rp10.000
Angkot Rp2.000
Es blender (3 orang) Rp15.000
Puncak Lawang (2 orang) Rp12.000
Jus (2 orang) Rp20.000
TOTAL Rp132.000
tempatnya asik keknya cha
LikeLike
Iyaa.. Menyenangkan buat refreshing. Kalau mau memacu adrelanin enak juga sambil mengendarai motor. Hihi.. 🙂
LikeLike
kelokan yang bikin mabuk, super heroik belokannya, deket tebing nan jurang tapi herannya mobil2 pada ngebut lewat sini :))
bener2 memacu adrenalin
LikeLike
Hehe… Iya Bhel.. Seru!. Dan pemandangannya spektakulet ya. 🙂
LikeLike
Semoga tahun ini aku bisa berkunjung ke sana juga! Haha..
LikeLike
Amin.. 🙂
LikeLike