Other Stories

Me Time Ibu

Sebuah Petualangan

Agustus tahun lalu adalah kali pertama saya naik pesawat setelah lebih dari dua tahun dunia dihantam pandemi. Selalu ada rasa yang berbeda ketika kali pertama kita melakukan sesuatu, meskipun hal itu termasuk normal sebelumnya.

Hal yang membuat berbeda sebenarnya bukan hanya soal naik pesawat saat pandemi, namun itu adalah kali pertama saya bepergian cukup jauh sendirian setelah menjadi seorang ibu. Iya, dulu hal itu menjadi sesuatu yang biasa saja, namun kini menjadi kesempatan yang terbilang istimewa. Padahal saya bepergian juga bukan untuk jalan-jalan, melainkan dalam rangka tugas kerja.

Begitu seterusnya. Bepergian sendirian naik pesawat atau kereta, lalu menyambung naik taksi, ojek, KRL, MRT, sampai Damri, rasanya seperti sebuah petualangan seru di tengah rutinitas bekerja di rumah, serta peran sebagai istri dan ibu.

Suatu pagi, waktu saya naik ojek menuju Stasiun Bekasi untuk mengejar KRL (saya waktu itu menginap di rumah orang tua di Bekasi), lalu bergegas mengejar kereta ke arah Jakarta dengan jadwal keberangkatan terdekat, rasanya adrenalin saya terpacu lebih cepat dari biasanya. Tiba-tiba saja saya teringat suatu kejadian bertahun-tahun lalu, waktu akan terbang dari Bangkok ke Jakarta. Kala itu saya malah bersantai-santai di Bandara Suvharnabumi karena salah mengira waktu keberangkatan pesawat sebagai waktu boarding. Alhasil, ketika sudah mepet, saya harus berlari-lari menuju gate keberangkatan.

Tentu ‘keseruan’ mengejar KRL itu hanya berlaku karena saya mengalaminya sesekali saja. Saya pernah berkelakar melalui sebuah unggahan di Instagram story, “Kalau sekali-kali, rasanya bagai petualangan. Kalau setiap hari ya jadinya cobaan.”

Hahaa. Iya, saya tahu rasanya karena pernah juga merasakan jadi pekerja commuter Bekasi – Jakarta bertahun-tahun lalu. Saat ini rasanya belum ada keinginan untuk mengulanginya kembali.

Waktu Sendiri

Tahun-tahun awal menjadi orang tua, hampir bisa dipastikan bahwa sebagian besar keseharian kita adalah tentang anak: menyusui, menyuapi/mendampingi makan, menemani bermain, sampai menidurkan anak dan besoknya mengulangi rutinitas bersama anak. Bagi ibu yang bekerja kantoran, mungkin saat-saat di kantor menjadi jeda waktu yang bisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi dengan sesama orang dewasa (ini penting!). Bagi ibu yang bekerja di rumah (WFH), sesekali bekerja di luar rumah (misalnya ke kafe) juga bisa menjadi ajang refreshing dari suasana yang itu-itu saja. Begitu pula bagi ibu yang full time di rumah, pasti ada cara untuk memberi jeda untuk diri sendiri.

Hal yang saya nikmati saat ada tugas di luar kota salah satunya adalah waktu untuk membaca buku di perjalanan.

Memangnya di rumah tidak bisa?

Bisa jika diusahakan, tapi memang ada saja distraksinya.

20230816_142509

Biasanya, saya baru bisa melakukan hal-hal yang memang ingin saya lakukan (bukan yang harus saya lakukan) ketika anak sudah tidur. Kalau saya membaca ketika anak saya masih terjaga, ia biasanya tertarik pada buku yang sedang saya pegang dan kemudian malah mengambil alih buku tersebut. Atau dia bilang, “Ibu bacain buku K aja.” Haha.. Intinya, bisa saja sih baca buku, tapi tidak terlalu (( khidmat )).

Hal lainnya yang saya lakukan di perjalanan adalah menulis. Dulu saya biasanya membaca buku catatan kecil dan alat tulis. Sekarang lebih sering menulis di Google Keep di ponsel. Sebagian tulisan ini pun saya tulis di Keep saat perjalanan dari Jogja ke Jakarta.

Selebihnya, waktu dalam perjalanan rasanya berharga sekadar untuk bengong sejenak, menikmati waktu untuk diri sendiri.


Rindu dan Rasa Bersalah

Saat bepergian seperti itu, apakah saya merindukan si kecil? Lebih jauh lagi, apakah tebersit rasa bersalah karena meninggalkannya di rumah?

Menjawab pertanyaan pertama, iya, tentu ada rasa rindu. Namanya juga ibu dan anak ya. Emosi dan perasaan itu sangat wajar adanya. Saya dan putri saya, K, mulai mendiskusikannya sejak saya mulai sering dinas ke luar kota. Saat itu ia berusia 2,5 tahun.

Saat akan meninggalkannya, saya berusaha untuk tidak berbohong kepadanya. Sebisa mungkin, kami, orang tuanya, berpamitan dengan layak, agar ia tahu kami akan pergi ke mana, untuk keperluan apa, dan berapa lama. Selain itu, kami juga berdiskusi tentang apa yang bisa dilakukan untuk melepas rindu. “Nanti kita bisa video call ya!”

K terbiasa berfokus pada apa yang bisa dilakukannya ketika saya tidak bersamanya atau saat saya akan kembali. “K boleh jemput Ibu?” tanyanya. Jika memungkinkan, saya mengiyakan dan ia pun senang. Jika tidak, ia sudah cukup senang menyambut kedatangan saya di teras rumah.


Darinya, saya sendiri jadi belajar mengelola perasaan. Bukan hanya rasa rindu, namun rasa bersalah yang biasanya menerpa ibu-ibu bekerja. Wajar saja jika perasaan itu hadir. Awalnya saya pun demikian. Namun, dengan suami yang sigap berbagi peran dan meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, perasaan pun menjadi tenang.

Pada akhirnya, ini juga merupakan proses belajar bagi kami sekeluarga. Orang tua belajar saling mendukung dan berbagi peran. Anak pun belajar bahwa kedua orang tuanya punya peran lain di luar rumah.

Seiring dengan usia dan pemahamannya yang semakin berkembang, kami berharap ia paham bahwa peran tersebut punya tujuan yang baik bagi sesama, selain merupakan ikhtiar untuk menjemput rezeki yang halal bagi keluarga.

Terima kasih, wahai Ayah dan segenap support system!

Apa pun bentuknya, me time bagi seorang ibu (dan bagi seorang ayah juga tentunya) amat penting untuk dialokasikan. Selain ‘petualangan’ berbentuk tugas kerja di luar rumah dan bepergian ke luar kota, misalnya, masih banyak hal lain yang memberikan kita ruang untuk menyayangi diri dan bertumbuh sebagai seorang individu. Sesederhana ibu yang bisa ikut webinar dengan tenang, mengambil kelas untuk pengembangan diri, ikut berorganisasi atau aktif di komunitas, itu adalah beberapa bentuk me time yang bisa dilakukan.

Daaan.. di balik ibu-ibu yang menjalani berbagai aktivitas tersebut, tak lepas dari peran orang-orang di sekitar yang sigap membantu. Dari pengalaman saya, suami menjadi pendukung nomor satu (terlebih karena kami jauh dari orang tua). Saya ingat, tahun 2021 lalu, saya pernah diundang untuk berbagi secara daring dalam suatu kegiatan mahasiswa. Usia K baru satu setengah tahun kala itu. Demi kelancaran saya dalam mengisi acara, K diajak ayahnya jalan-jalan berdua. Pokoknya naik mobil keliling kota dan pergi dari rumah (belakangan saya tahu bahwa mereka main ke museum).

Pada periode usia K sampai dengan dua tahun, beberapa kali saya ikut/mengisi kegiatan secara daring dan suami mendukung dengan cara mangajak K main ke luar rumah. Saat saya mengisi kegiatan via Instagram Live, mereka nonton saya lewat ponsel saat mereka dalam perjalanan di mobil. Hehe.. Gemass. Kalau sekarang, karena K sudah tiga tahun, dia sudah lebih paham dan bisa kondusif meskipun berada di rumah pada saat saya ada acara daring.

Bagi setiap orang, dukungan bisa datang dari beragam pihak, dengan bentuk yang berbeda. Bisa dari orang tua dan anggota keluarga lain, bisa juga dari asisten rumah tangga. Tidak perlu merasa bersalah jika kita perlu waktu untuk diri sendiri. Tidak perlu sungkan juga untuk mengakui bahwa kita tidak sendiri dan butuh bantuan orang lain. Karena kesehatan jiwa raga kita, kebahagiaan kita, menjadi amunisi yang penting untuk untuk berbagi tangki cinta kita kepada orang-orang tersayang, termasuk anak kita.

signature

Leave a comment