Asia, Traveling

Kyoto Imperial Palace

Jumat pagi di awal bulan Juli, saya terbangun saat kolega saya pamit meninggalkan hotel untuk menuju Kansai International Airport. Saya juga akan check out dari Kyoto Okura Hotel hari itu, tetapi saya sudah berniat mengunjungi salah satu tempat wisata di Kyoto sebelum berangkat menuju Osaka di siang harinya. Saya akan mengunjungi teman saya, Raras, yang sebelumnya berkuliah di Osaka dan kini bekerja di sana.

Setelah mandi, saya berselancar lagi di internet demi memutuskan akan pergi ke mana pagi itu. Maklum, hari-hari sebelumnya saya disibukkan oleh pekerjaan. Kalaupun ada waktu luang, maka saya berjalan-jalan dan berpartisipasi dalam reality show Uang Kaget. Haha.. (baca ceritanya di SINI)

Sebetulnya saya sangat ingin ke Fushimi Inari Shrine. Saya pernah melihat album seorang teman di Facebook yang isinya foto-foto di tempat tersebut. Indah! Selain terowongan yang terdiri barisan kayu-kayu bercat merah dan hitam, yang cukup menggoda saya adalah perbukitan yang bisa dicapai melalui komplek kuil ini. Konon butuh waktu dua sampai tiga jam untuk naik dan turun. Huhu… Sudah cukup lama saya tidak mendaki. Rasanya ingin sekali ke sana namun lokasi ini agak jauh dan karena pertimbangan waktu saya memutuskan mencari tujuan lain yang lebih dekat.

Akhirnya saya menengok peta wisata Kyoto yang saya miliki dan mengidentifikasi lokasi wisata yang paling dekat jaraknya dengan hotel. Aha! Saya kemudian menemukan Kyoto Imperial Palace yang kalau dilihat-lihat sih sepertinya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah check out dan menitipkan koper di concierge, saya bertanya kepada petugas hotel mengenai Kyoto Imperial Palace. Meskipun di peta terlihat dekat, ia menyarankan saya menuju ke sana menggunakan kereta subway karena jaraknya melewati tiga stasiun. Jarak di peta memang suka menipu ya…apalagi jika tidak ada keterangan skalanya.

Pukul 9.30 saya tiba di Stasiun Imadegawa yang merupakan stasiun terdekat dengan Kyoto Imperial Palace. Saya agak kebingungan memilih pintu keluar dari stasiun karena tidak menemukan penunjuk arah ke palace tersebut (FYI setiap stasiun subway biasanya memiliki lebih dari satu pintu keluar, bahkan untuk stasiun besar bisa lebih dari sepuluh). Saya kemudian bertanya kepada seorang anak muda (ya saya juga masih muda sih hehe… :p) dan ia meminta saya mengikutinya.

Gakusei desu ka? (Apakah kamu pelajar/mahasiswa?)” tanya saya mempraktekkan seuprit bahasa Jepang yang masih saya ingat.

“Hai! (Ya)” ia mengangguk. “Anata mo gakusei desu ka? (apakah kamu juga pelajar)?” Ia balik bertanya. Iya sih..mungkin tampang saya masih terlihat seperti mahasiswa semester tiga *dikeplak pembaca*.

Berhubung saya lupa bahasa Jepang untuk kata ‘bekerja’, saya campur deh ke bahasa Inggris. “No, I come here for business trip. And today I am free so I want to visit the palace.”

Melihat saya sibuk mengipas-ngipas dengan peta yang saya pegang, ia mengalihkan topik pembicaraan. “Kyoto wa atsui desu ne… (Kyoto panas ya..)” saya mengiyakan. Ia pun ikut mengipas-ngipas dengan telapak tangannya (mengipasi dirinya sendiri lho, bukan mengipasi saya.*yakali*).

Kami berpisah di persimpangan jalan di depan pintu keluar stasiun. Ia berbelok ke kanan menuju Doshisha University, tempatnya kuliah, sementara saya berjalan lurus. Katanya palace terletak tidak jauh dari sana.

Suasana rindang dan teduh menyambut saya begitu saya sampai di pintu gerbang palace tersebut. Saya mengikuti petunjuk arah ke admission office. Alhamdulillah masuk ruangan ber-AC jadi bisa ngadem sebentar. Petugas menyodorkan sebuah formulir untuk saya isi dan meminta saya menunjukkan paspor.

“How much is the admission fee?” tanya saya.

“This is free of charge,” jawabnya yang membuat hati saya berbunga-bunga. Hehe…

Saya diberi tahu bahwa akan ada tur yang dipimpin oleh seorang pemandu pada pukul 10 nanti. Just in time! Sambil menunggu tur dimulai, pengunjung dipersilakan menunggu di waiting room yang juga full AC dan di dalamnya terdapat barisan tempat duduk dan televisi yang menyuguhkan video sejarah dan informasi seputar Kyoto Imperial Palace.

Suasana sejuk di area pintu masuk palace.
Suasana sejuk di area pintu masuk palace.
Ruang tunggu yang sangat nyaman.
Ruang tunggu yang sangat nyaman.

Sebelum beribukota di Tokyo, Jepang pernah berpindah-pindah ibu kota, salah satunya adalah di Kyoto. Hal itu terjadi pada tahun 784 saat Kaisar Kanmu memindahkan ibukota dari Heijokyo (saat ini dikenal dengan kota Nara) ke Nagaokakyo di area Kyoto. Jadi tak heran jika banyak bangunan peninggalan sejarah yang kini masih dijaga dengan baik di Kyoto.

Kyoto Imperial Palace adalah bangunan yang dahulunya sudah berkali-kali hancur karena terbakar dan dibangun kembali. Palace ini memiliki luas area mencapai 27 hektar. Di dalamnya terdapat beberapa  bangunan dengan fungsi yang berbeda-beda, di antaranya adalah Okurumayose yang merupakan pintu masuk untuk kunjungan resmi kekaisaran, shodaibunoma sebagai tempat pertemuan resmi, dan seiryoden yang menjadi tempat tinggal kaisar. Dari semua bangunan, satu bangunan yang terpenting adalah Shishinden. Bangunan ini dipergunakan untuk upacara yang sangat penting seperti upacara penobatam kaisar.

???????????????????????????????
Gerbang masuk ke dalam Shishinden
???????????????????????????????
Masih di area Shishinden. Warnah oranye dipercaya dapat mengusir roh jahat.
Salah satu detail atap.
Salah satu detail atap.

Selain bangunan-bangunan, ada pula ruang terbuka seperti taman dan lapangan. Taman Oikeniwa merupakan perpaduan pepohonan rimbun dan kolam yang menyejukkan. Di tengah panasnya udara di Kyoto, para pengunjung agak berlama-lama berteduh di taman itu. Sang pemandu sempat juga menunjukkan sebuah lapangan kecil dimana dahulunya penghuni palace bermain semacam sepak bola yang disebut kemarinoniwa. Hehe… Jadi terbayang betapa repotnya bermain bola sambil mengenakan pakaian resmi kekaisaran yang panjang seperti jubah.

Taman
Taman Oikeniwa

Kejadian yang lucu adalah saat pemandu membawa kami ke Seiryoden dan menjelaskan tempat tersebut. Dia menjelaskan bahwa ruangan ini cukup terbuka dan memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga saat musim panas pun masih terasa nyaman. Ia lalu bertanya kepada wisatawan kira-kira bagaimana solusinya jika sedang musim dingin.

Saya saat itu spontan menjawab, “They put heater under the floor.”

Mendengar jawaban itu, si pemandu langsung berkata tegas, “NO, THAT IS KOREA!”

Alamaaak… jawaban saya memang jawaban hasil didikan bangsanya Suju dan Rain selama setahun. Haha… Sang pemandu meluruskan jawaban saya dengan menjelaskan kepada para wisatawan bahwa mereka memiliki baju khusus saat musim dingin yang bisa menghalau udara yang menusuk kulit. Oke deh kakaaaak! *plester mulut pakai lakban*

Kejadian itu mengingatkan saya betapa orang Korea juga tidak suka disama-samakan dengan Jepang. Pada bulan Maret 2007, waktu saya masih imut *hoeks* dan menjadi exchange student di Daejeon University, Korea, saya pernah begitu antusias setengah norak menyambut musim semi.

“Lalalala yeyeye… Kita mau ke festival sakura di Sintanjin!” kira-kita begitulah saya berdendang saat berjalan meninggalkan asrama menuju ke halte bus. Saya langsung diprotes salah seorang teman Korea saya. “Not sakura! That is Japanese. We call it pot kot. We are going to see pot kot.”

Di situ saya baru mengerti betapa sepenggal bahasa pun sangat berarti untuk harga diri bangsa. Meskipun Korea dan Jepang bertetangga dan matanya sama-sama sipit, sampai kapanpun mereka tak akan pernah mau disamakan (kok mirip Indonesia sama tetangga sebelah ya? Hihi..). Dahulu Korea memang pernah mengira Jepang adalah saudara, namun ternyata Korea ditipu mentah-mentah dan malah dijajah Jepang. Yah mungkin jargon yang dibawa Jepang kala itu sama seperti saat datang ke Indonesia ya: Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia, Nippon Pemimpin Asia.

***

Tur keliling Kyoto Imperial Palace berlangsung selama satu jam. Setelah selesai, saya bergegas kembali ke hotel untuk mengambil koper dan melanjutkan perjalanan ke Osaka. Apa yang pernah saya alami di Singapura terjadi lagi: kerepotan membawa koper. Memang koper sungguh tidaklah praktis jika kita melakukan perjalanan dengan budget terbatas. Saya sampai mandi keringat berpindah-pindah stasiun sambil mengangkat koper saat menuju Osaka.

Bagaimana ceritanya? Nantikan tulisan berikutnya ya. *sok bikin penasaran*

1865143963390123180513

8 thoughts on “Kyoto Imperial Palace”

    1. Hehe.. Iya, Mbak. Cerdasnya Korea adalah mereka memperkenalkan negaranya lewat pop culture dan teknologi. Drama dan film-film Korea juga digarap serius sehingga lokasi syutingnya akhirnya menjadi tujuan para wisatawan. 🙂

      Like

      1. heeh. trus kayaknya mereka juga nggak mau nampilin yang jelek2 dari negara mereka. jadi waktu itu aku nonton film the thieves. kan ada ceritanya mereka ke hongkong. bedanya jauh banget antara pemandangan pas di hongkong sama di korea 😀

        Like

  1. Foto-fotonya ciamik.
    Tempatnya bersih, terawat dan bagus yaaa… Jadi enak juga buat yang ngambil gambar.
    Taman Oikeniwanya makjleb, jadi pengen bobo siang disitu, hehe 😆 😆

    Like

Leave a comment