Indonesia, Traveling

Nostalgia Dieng

Sudah cukup lama saya ingin ke Dieng (lagi). Kali pertama saya ke sana adalah tahun 2010 (baca: Menembus Dinginnya Dieng). Saya penasaran, seperti apa ya Dieng sekarang?

Dulu saya dan seorang teman pergi ke Dieng dengan modal nekad dan benar-benar dadakan. Kami naik travel dari Jogja sampai Wonosobo dan lanjut dengan kendaraan umum. Itu pun kami baru mendapat travel pada malam sebelumnya, karena kebanyakan travel sudah penuh untuk keberangkatan paling pagi esoknya.

Continue reading “Nostalgia Dieng”

Advertisement
Other Stories

Obrolan Meja Makan

IMG-20160804-WA0024
Mengendarai odong-odong di Alun-alun Kidul Jogja

Terkadang ketika kita sedang traveling dan menjadi turis, kita cenderung ingin mencoba hal-hal baru, terutama yang khas dari kota yang kita kunjungi. Hal ini juga berlaku saat saya tinggal di negeri orang untuk belajar dalam jangka waktu tertentu. Berhubung saya tidak akan lama di negara tersebut, saya menyempatkan untuk mengunjungi tempat-tempat yang menarik hati saya. Saat mengobrol dengan orang lokal, saya baru tersadar bahwa mereka sendiri pun seringkali belum pernah ke tempat yang pernah saya kunjungi atau melakukan hal yang sebenarnya umum bagi para turis. Sebut saja foto dengan kostum Belanda di Volendam, hehe. Bisa jadi tidak banyak orang Belanda sendiri yang melakukannya.

Continue reading “Obrolan Meja Makan”

Other Stories

Nggak ada noda ya nggak belajar

269161_10150230080017396_2287645_n
Guru-guru dan kepala sekolah turun tangan membangun ruang kelas

Pagi itu wajah-wajah ceria telah hadir di SDN 4 Telukjatidawang, Bawean. 11 Juli 2011, hari pertama di tahun ajaran 2011-2012. Bagi kebanyakan anak, pertanyaan yang muncul ketika kembali bersekolah adalah “saya akan belajar apa”. Tidak demikian dengan murid-murid di sekolahku. Wajah ceria mereka disambut oleh kenyataan bahwa pembangunanan ruang kelas mereka belumlah selesai. Maka pertanyaan yang muncul adalah “saya akan belajar di mana”.

Continue reading “Nggak ada noda ya nggak belajar”

Other Stories

Wajah Perempuan Indonesia

DSC02992
Perempuan Indonesia masa depan (Keterangan: Beberapa siswi di P. Bawean sedang belajar IPS)

Aku melihat perempuan Indonesia
Berdiri meminta-minta di jalan-jalan dekat lampu merah
Di atasnya terik matahari sebagai payung
Di dalam gendongannya seorang bocah ingusan tak berdosa
Di sekelilingnya orang-orang memandang acuh, tak suka, curiga, namun ada pula yang iba

Continue reading “Wajah Perempuan Indonesia”

Indonesia, Traveling

Minggu Membatik

“It’s like magic!” kata Season saat melihat proses pewarnaan batik.

Minggu pagi itu mungkin terasa seperti Minggu pagi biasanya, tetapi tidak bagi saya. Meskipun badan sedang kurang fit sejak sehari sebelumnya, pagi itu, 27 Maret 2016, saya bersemangat untuk memulai Batik Tour bersama Eksplorasik. Area Parkir Bank Indonesia yang tak jauh dari area Malioboro menjadi titik kumpul kami pagi itu.

Ada lima peserta yang bergabung, yang terdiri dari tiga orang Indonesia dan dua orang asing yang berasal dari Amerika Serikat dan Prancis. Kami memang menargetkan pesertanya berjumlah antara 5 – 10 orang saja agar proses belajar membatik lebih efektif. Selain itu, dengan grup yang kecil, setiap orang diharapkan bisa saling mengenal dan berbaur satu sama lain.

Continue reading “Minggu Membatik”

Movies, Review

Potret Perempuan dalam ‘Siti’

Setelah beberapa kali ketinggalan screening film Siti di Jogja, akhirnya saya sempat menonton di bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada akhir pekan lalu. Buat saya, Siti bukanlah film yang akan dilupakan begitu saja. Penokohannya kuat, konfliknya intens dan menguras emosi. Mungkin terlebih karena saya perempuan, selama menonton film ini saya jadi membayangkan kalau saya ada di posisi Siti. That’s tough.

Continue reading “Potret Perempuan dalam ‘Siti’”

Other Stories

Drama

Bagiku ini adalah drama, tetapi mungkin tidak bagi orang-orang Bawean. Awal Januari aku dan teman-teman Pengajar Muda (PM) Bawean hendak kembali ke Pulau Bawean karena masa libur sekolah telah usai. Sayang seribu sayang. Sudah seminggu belakangan kapal Bahari Express tak beroperasi. Hal ini tak lain karena cuaca yang sedang tidak bersahabat. Angin kencang dan gelombang tinggi mencapai empat meter.

Rabu, 11 Januari 2012, ada kapal feri bantuan yang sengaja transit di Pulau Bawean demi membawa ratusan penumpang yang tertahan di Gresik. Kapal itu berangkat dari Tanjung Perak dengan tujuan Sampit, Kalimantan. Namun hari itu, kapal bergerak dari Tanjung Perak ke Pelabuhan Gresik, untuk singgah di Bawean, dan kemudian ke Sampit.

Kami terus memantau informasi mengenai keberangkatan kapal ini. Hari itu, kabarnya penjualan tiket dibuka pukul 13.00. Namun karena calon penumpang sudah antre dari pagi, kemudian loket dibuka lebih awal. Kami pun tidak mendapatkan tiket.

Beberapa hari kami menunggu. Di hari-hari tersebut beberapa SMS berdatangan dari muridku dan orang Dusun Pinang Gunung.

“Apa kabar bu? Disini aku menunggu ibu, dan juga teman-temanku. Katanya ibu mau pulang. Dari Koma. balas ya bu pliiiiis” Itulah salah satu SMS dari muridku.

Barulah hari Sabtu (14/01) kami bisa ke Bawean lagi dengan Bahari Express yang sudah mendapat izin untuk beroperasi kembali. Menurut BMKG, cuaca sudah membaik dan memungkinkan untuk berlayar.

Orang Bawean setiap tahun merasakan hal ini. Cuaca buruk di bulan Desember sampai dengan Februari membuat kapal-kapal tak berani berlayar. Selain terhambatnya sarana transportasi bagi warga Bawean, hal ini juga memengaruhi distribusi barang dari Jawa. Setiap tahun Bawean dilanda krisis bahan bakar. Harga bensin bisa mencapai Rp15.000/liter, paling murah Rp10.000/liter. Belum lagi persediaan bahan makanan yang terus menipis jika tak ada kapal dalam jangka waktu lama. Nelayan tak banyak yang melaut karena taruhannya nyawa. Kalaupun ada ikan di pasar, maka harganya pasti sangat mahal. Begitulah kehidupan orang pulau, kurasa begitu juga yang terjadi di ribuan pulau kecil lainnya di Indonesia.

Aku pun membayangkan bahwa dusunku akan gelap gulita di malam hari. Karena listrik PLN belum masuk, maka dusunku sangat bergantung pada bahan bakar bensin dan solar untuk mesin genset maupun diesel. Duh…sungguh berat yang mereka lalui di musim-musim ini.

Di atas kapal menuju Bawean, banyak yang terlintas di pikiranku. Flashback. Dari mulai masa pelatihan IM, deployment, masa-masa di Dusun Pinang Gunung, Bawean, masa liburan singkat dengan keluarga, dan hari-hari menunggu kapal dengan PM lainnya. Dua yang terakhir, rasanya membuat hatiku agak berat. Rasanya aku masih rindu keluargaku. Dan rasanya aku masih ingin bersama teman-teman PM Bawean. Tak terasa kami akan berpisah lagi menuju desa masing-masing, bertugas dan insya Allah menanami kembali ladang kebaikan di sekolah masing-masing.

Kawan, rindu itu bukan sesuatu yang salah kan?

Saat aku menginjakkan kaki di Pulau Bawean lagi, perasaanku campur aduk. Awan hitam menggantung di langit, angin kencang, debur ombak menari-nari. Di titik ini rasanya aku kembali mengumpulkan semangatku. Meyakinkan bahwa ini adalah pilihanku dan selamanya aku tak akan pernah menyesal pernah menjadi salah seorang yang melunasi janji bangsa, walau hanya setahun mengajar.

Sesampainya di Dusun Pinang Gunung, keluarga angkatku menyambut dengan hangat. Dan saat itu kebetulan beberapa tetangga juga ada di rumah. Kami bersalaman. Dan tanpa kuduga, seorang nenek memelukku. Erat. Erat sekali. Ia meneteskan air mata. Ia berkata-kata dalam Bahasa Madura campur Bahasa Indonesia.

“Ibu guru… Alhamdulillah mareh balik kanna. Dari kemarin saya tako.. Angin besar, hujan deras. Berma ibu di Jawa tak ada kapal… Anak-anak disini menunggu Ibu…” (“Ibu guru… Alhamdulillah sudah kembali kesini. Dari kemarin saya takut. . Angin besar, hujan deras. Bagaimana ibu di Jawa tak ada kapal… Anak-anak disini menunggu Ibu…”)

Inikah rasanya diharapkan dan dirindukan? Susah payah aku menahan agar air mataku tak jatuh. Cukup sudah drama hari ini.

Bawean, 15 Januari 2012

*Repost dari https://indonesiamengajar.org/cerita-pm/maisya-farhati/drama, dipublikasikan pada 22 Januari 2012

Movies, Review

Nostalgia Lewat Negeri Van Oranje

Dari beberapa film Indonesia yang sedang tayang di bioskop pada awal tahun ini, saya memilih untuk menonton Negeri Van Oranje. Sejauh ini saya belum mendengar review luar biasa tentang film ini, namun saya semata-mata ingin bernostalgia akan masa-masa studi dan tinggal di Belanda. Film karya Endri Pelita ini diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh  Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, dan Rizki Pandu Permana.

Novelnya sendiri sudah pernah saya baca pada awal 2011. Novel yang ringan, menghibur, dan disisipi informasi mengenai serba-serbi studi di Belanda serta budaya sehari-hari masyarakat Belanda. Dari buku inilah kali pertama saya mengetahui bahwa orang Belanda kalau cipika-cipiki itu tiga kali alih-alih dua kali seperti di Indonesia. Hehe… Saat membacanya, sama sekali tak ada pikiran saya kelak akan berkuliah di Belanda.

Continue reading “Nostalgia Lewat Negeri Van Oranje”

Other Stories

IMSO (In My Sotoy Opinion)

Hari ini ramai sekali berita dan berbagai komentar di media sosial mengenai adanya larangan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan terkait layanan transportasi berbasis aplikasi internet seperti Go-Jek, Grab Taxi, dan layanan sejenis lainnya (baca: Ini Aturan yang Membuat Go-Jek Cs Dilarang Beroperasi oleh Kemenhub). Kabarnya bukan aplikasi internetnya yang dipermasalahkan melainkan penggunaan kendaraan pribadi yang dijadikan transportasi umum. Nah kalau begitu, bukankah seharusnya larangan mencakup semua ojek pangkalan, mobil omprengan, dan juga rental mobil dan motor? Bagaimana cara mengontrolnya? Aturan sudah seharusnya menyeluruh dan tidak tebang pilih, bukan?

Ada berbagai status di Facebook, cuitan di Twitter, bahkan petisi di change.org yang mendukung angkutan ojek untuk tetap beroperasi.  Keriuhan di media sosial dan masyarakat secara umum ini nampaknya terdengar juga oleh Presiden Jokowi.  Siang tadi, cuitan Jokowi serasa memberikan harapan untuk masyarakat. Di sisi lain, banyak juga yang menganggap ini hanyalah aksi sok pahlawan agar presiden terlihat do something good. Yang bisa positif, sila mengapresiasi. Yang dasarnya tidak suka ya tetap saja selalu berpikir ada udang di balik bakwan. Lagipula bukan itu sih yang ingin saya bahas. Saya hanya rakyat jelata ingin curhat. 😀

Screenshot (21)
Sumber: Akun Twitter Jokowi

Dalam hal transportasi, sebenarnya banyak sekali hal yang harus dibenahi. Kalau dibuat kerangka berpikir yang terstruktur, bisa lah pelan-pelan dipetakan sebenarnya goal-nya ingin sistem transportasi yang seperti apa. Kemudian dilihat sekarang kondisinya bagaimana, apa saja yang kurang, apa saja yang harus dibenahi, dan bagaimana dampaknya untuk masyarakat secara luas. Jadi tidak membuat kebijakan yang reaktif karena satu fenomena saja.

Kalau isunya keselamatan:

Halo… apa kabar Metro Mini dan Kopaja yang masih berkeliaran di Jakarta? Yakin supirnya punya SIM? Nyetirnya saja sering bagaikan orang kesurupan. Joknya saja kadang tak yakin masih bisa diduduki atau tidak. Asap mobilnya pun sudah hitam tebal dan pasti membahayakan kesehatan.

Apa kabar ojek pangkalan yang nyetirnya ugal-ugalan dan sering tidak memakai helm? (walau tentu ada juga yang patuh aturan).

Kalau googling 'metro mini', yang banyak keluar adalah gambar kecelakaan :( (sumber: Metro.co)
Kalau googling ‘metro mini’, yang banyak keluar adalah gambar kecelakaan 😦 (sumber: tempo.co)

Kalau bicara tentang ojek dan angkutan tidak resmi lainnya (misalnya mobil omprengan), yang harus disadari adalah bahwa angkutan tersebut sudah ada dan masih ada karena ada supply dan demand. Tukang ojek butuh penghasilan, masyakarat butuh moda transportasi alternatif yang belum cukup dipenuhi oleh angkutan umum yang suda ada. Pertanyaan selanjutnya, apakah pemerintah sudah cukup menyediakan lapangan kerja? Apakah pemerintah sudah menyediakan layanan transportasi umum yang mencukupi dari segi kualitas dan kuantitas?

Kira-kira itulah pertanyaan retoris untuk pemerintah karena kita semua sudah tahu jawabannya.

Menjadi pemimpin termasuk pejabat publik itu memang amanah yang tidak main-main. IMSO (in my sotoy opinion), selain harus punya kemampuan analitis, salah satu hal yang harus dimiliki pemimpin adalah empati (enak ya jadi rakyat nuntut-nuntut pemimpin supaya punya kemampuan ini-itu :p). Terdengar sederhana tapi tidak sesederhana itu.

Cobalah sekali-kali Menteri Perhubungan atau bahkan presiden membuat program “Sehari Naik Angkutan Umum di ____ (masukkan nama kota/daerah)” agar turut merasakan bagaimana duka-duka (ada sukanya nggak sih?) menggunakan transportasi umum. Dengan merasakan sendiri setidaknya bisa menempatkan bagaimana seharusnya pelayanan transportasi publik yang layak.

Screenshot (22)
Pernyataan Jokowi di laman Facebook-nya hari ini

Misalnya ya… commuting Bekasi ke Jakarta, berangkat pagi dan pulang sore sesuai jam kerja (maaf kalau ini mah modus saya saja sekalian curhat :D). Rasakanlah lamanya penantian akan patas jurusan Bekasi saat pulang kerja. Sekalinya patasnya datang, ehhh sudah penuh dong cyiiin… (ya kecuali naiknya dari terminal). Patas ke Bekasi dan kota satelit lainnya (misalnya Bogor dan Tangerang) penuhnya ampun-ampunan karena jumlah armadanya tak seberapa sedangkan penumpangnya amat banyak. Begitu penuhnya sampai penumpangnya lesehan dan yang berdiri sampai nggak bisa gerak. Ciyus deh, Pak. Cobalah sensasinya maka Anda termasuk ke dalam orang-orang yang diuji kesabarannya. 😉

Makanya kalau pas ada mobil omprengan ke Bekasi lewat tuh rasanya tertolong sekali. Penderitaan lahir dan batin serasa terobati. Kan sudah capek ya seharian kerja, penginnya duduk manis dan istirahat sejenak setelah pegal berdiri menanti pujaan hati (baca: bis yang tak kunjung datang).

Begitu juga yang perlu ojek. Daripada menunggu bis cukup lama, kadang rutenya tidak efisien, dan ditambah kena macet, mendingan naik ojek… Pejabat saja kalau ada jadwal rapat tapi di jalan kena macet kan naik ojek juga sebagai alternatif.

Jadi begitu lho, Pak, problematika anak jalanan dan anak angkot. Kalau belum bisa memberikan solusi setidaknya tidak perlu menambah problema kami.

IMSO.

Salam,
Rakyat Jelata
‪#‎GoRakyat‬

Ps. Iya tahu… sudah dicabut kok larangannya untuk sementara. Alhamdulillah. 😀

Apresiasi kepada Presiden dan Menhub yang mencabut larangan tersebut. Selama ini saya punya pandangan senada dengan Jokowi. Aturan itu pemerintah yang buat. Jika dinilai sudah tidak sejalan dengan kondisi saat ini, ya perbarui dan perbaikilah peraturannya. Buatlah peraturan yang bisa menertibkan angkutan umum dan memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat. Kepentingan rakyat menjadi yang utama.

10291694_1093902210643757_4098559295388585586_n
Foto: laman Facebook Go-Jek

Keputusan positif ini merupakan bukti kemenangan ekonomi kerakyatan. Kami mengajak semua pengguna dan driver GO-JEK merayakan keputusan Jokowi-JK ini via social media dengan ‪#‎GoRakyat‬.

Hidup GO-JEK! Hidup Karya Anak Bangsa!

(Nadiem Makarim, CEO GO-JEK)

Indonesia, Traveling

Menyambangi Gili-gili di Lombok

Bercerita tentang Lombok rasanya kurang lengkap tanpa membicarakan gili (pulau kecil), pantai, dan keindahan bawah lautnya. Sebelumnya, saya sudah sering mendengar tentang Gili Trawangan, salah satu gili yang paling banyak dikunjungi turis serta paling banyak dinikmati pantainya. Namun pada kunjungan pertama ke saya ke Lombok, ternyata saya belum berkesempatan berjumpa dengan Gili Trawangan. Meskipun demikian, saya tak terlalu menyesal karena saya dan rombongan Travel Writers Gathering 2015 justru diajak menjelajahi gili-gili yang terbilang lebih sepi, bahkan serasa milik pribadi karena tidak ada turis lainnya di sana. 😀

Dari Mataram, kami bertolak menuju pelabuhan Tanjung Luar. Kalau dilihat di peta Pulau Lombok, maka kita akan menemukan pelabuhan ini terletak di bagian tenggara pulau. Kawasan Tanjung Luar juga merupakan pusat kesibukan untuk aktivitas jual beli ikan. Beragam hasil tangkapan laut ada di sana. Karena ikan-ikan yang dijual adalah hasil tangkapan laut langsung (belum melewati jalur distribusi yang panjang), maka harga jualnya pun cukup miring.

DSC00676
Pelabuhan Tanjung Luar
DSC00688
Keramba
DSC00691
“Hiduplah Indonesia Raya…”

Ditemani seorang pemandu lokal dan dua pemandu dari panitia, yaitu Pak Man dan Pak Hadi, kami memulai perjalanan dari Tanjung Luar. Di tengah laut, kami melintasi beberapa bangunan bambu yang ternyata merupakan keramba lobster. Terlihat sekelompok burung camar yang sedang bersantai di sana. Sebagian terlihat hendak terbang bertualang menikmati keindahan birunya laut Lombok. Selain keramba lobster, kami menemukan pemandangan unik di tengah laut. Bendera merah putih terlihat berkibar dengan gagahnya. Ternyata di sekeliling tiang bendera tersebut terhampar pasir putih yang menghubungkan dua pulau, yaitu Gili Maringkik dan Gili Kambing.  Hamparan pasir itu akan terlihat saat air sedang surut. Di sepanjang pasir itu terdapat pula jejeran tiang listrik sebagai sumber penerangan Gili Maringkik. Saat air tinggi, bagian bawah tiang listrik itu pun ikut terendam air laut.

Hari itu kami habiskan dengan island hopping dan snorkeling di beberapa spot menarik. Berikut cerita keseruannya.

Gili Sunut

Setelah beberapa lama di laut, kapal kami merapat di sebuah pulau tak berpenghuni. Kami begitu tak sabarnya ingin segera turun dari kapal dan bermain-main di pantai dan pasirnya yang putih. Dari kejauhan, saya melihat sisa-sisa bangunan yang menandakan dulunya area ini adalah area pemukiman. Saya dan beberapa teman berjalan ke sana, menyusuri pasir, bebatuan, dan ranting-ranting pohon yang mengering. Saya membayangkan bagaimanakah dulunya kehidupan di pulau ini? Begitu memasuki salah satu reruntuhan rumah, terbayang bahwa dulunya ada sebuah keluarga yang hidup dengan suka cita di sana. Temboknya masih kokoh di beberapa bagian, namun sudah tak berpintu dan berjendela.

Saya tidak memeroleh cerita yang pasti mengapa pulai ini kini tak lagi berpenghuni. Namun kebanyakan cerita menyebutkan bahwa penduduknya direlokasi dengan alasan sulitnya akses serta minimnya fasilitas umum di pulau ini. Entahlah.

Sisa waktu di Gili Sunut kami habiskan dengan menikmati keindahan pemandangan di sekelilingnya serta berfoto ria. Gradasi warna laut yang bertemu dengan biru langit rasanya takkan membuat saya bosan.

Pink Beach

Nama Pink Beach atau Pantai Pink tentu sudah familier di telinga kita. Ternyata Lombok memiliki banyak pantai dengan pasir berwarna merah muda, namun jika disebut Pantai Pink biasanya nama itu merujuk ke Pantai Tangsi. Warna pink pada pasirnya terbentuk karena butir-butir pasir aslinya yang berwarna putih bercampur dengan serpihan karang merah muda. Jadilah perpaduan itu memberikan warna pasir baru yang indah.

Siang itu kawasan Pantai Tangsi terlihat sepi. Warung-warung pun kebanyakan kosong tanpa penjual maupun pembeli. Sepinya aktivitas wisata di pantai ini tidak mengherankan karena Bandara Internasional Lombok baru saja dibuka kembali setelah ditutup selama seminggu lebih akibat aktivitas vulkanik Rinjani.  Mungkin dalam beberapa hari ke depan aktivitas di pantai ini baru akan kembali seperti semula.

Pak Man dan tim pemandu kami ternyata sudah menyiapkan bekal makan siang. Bekal itu diangkut dari kapal dan dibawa ke sebuah (mungkin satu-satunya) warung yang buka. Begitu perbekalan dibuka, rasanya lidah ini langsung menari-nari. Di atas meja sudah tersaji aneka menu boga bahari: ada sotong, ikan bakar, dan ikan kuah kuning. Kelezatan menu itu bertambah nikmat dengan kehadiran plecing kangkung khas Lombok yang rasanya menyegarkan.

Usai makan siang, kami berjalan-jalan ke bukit yang terletak tak jauh dari pantai. Ada beberapa rumah penduduk yang hidup sebagai nelayan dan juga beternak ayam dan kambing. Menikmati pantai pink dari ketinggian memberi kesan yang berbeda. Meresapi alam dalam diam selalu membuat saya begitu kecil dan mengagumi kebesaran Sang Pencipta.

Hujan sempat mampir di Pantai Tangsi siang itu. Kami yang sedang menikmati pemandangan dari bukit pun buru-buru mencari tempat berteduh. Syukurlah ada semacam saung kecil milik sepasang kakek dan nenek yang tinggal di sana. Sejenak kami duduk menanti hujan reda sementara sang kakek dan nenek menyantap makan siang dengan nikmat.  Keduanya pun menawari kami, namun kami hanya mengucapkan terima kasih karena kami sudah makan. Sepiring nasi dan lauk ikan laut nampak dinikmati dengan penuh syukur oleh keduanya.

Sebelum meninggalkan Pantai Tangsi, Pak Hadi mengajak kami menengok sebuah goa. Konon ini adalah goa yang dibangun oleh Jepang. Saat melihat goanya, sebenarnya saya enggan masuk. Dari luar sudah terlihat sampah plastik berserakan. Sayang sekali ya. Namun karena penasaran akhirnya saya masuk. Gelap dan pengap seketika menyeruak. Menurut Pak Hadi, warna pasir di dalam goa lebih bagus daripada pasir di luar sana. Saya sendiri tidak terlalu menyadari perbedaannya. Hehe.

 

Snorkeling

Ada dua lokasi snorkeling yang kami singgahi hari itu, yang pertama adalah Teluk Semangkok. Saat hendak menceburkan diri ke laut, saya baru tahu bahwa tidak ada fin atau kaki katak. Yah semoga saja arusnya tidak deras, pikir saya. Namun ternyata arus di Teluk Semangkok ini cukup kuat. Rasanya kok saya berenangnya nggak maju-maju ya. Huaaa… Tetapi lucunya ternyata tim pemandu membawa semacam rakit kecil. Satu orang duduk di atasnya sambil mendayung kemudian beberapa orang bergantian berpegangan ke bagian belakang rakit. Haha.. Singkat kata, kami mengambang sambil ditarik oleh rakit tersebut. Untuk sementara, kami pun tinggal berleha-leha menikmati kekayaan bawah laut Teluk Semangkok tanpa terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

Sebelum hari beranjak terlalu sore, kami menuju lokasi snorkeling selanjutnya yang bernama Gili Petelu. Di sini, kami bisa snorkeling dengan lebih santai karena arusnya terbilang tenang. Lautnya juga tidak terlalu dalam dan di beberapa titik bahkan sebenarnya kaki kami bisa menyentuh dasarnya. Pada kondisi seperti ini justru kita harus lebih berhati-hati agar kaki kita tidak mengenai dan merusak terumbu karang.

 

Menikmati Sunset

Masih ingat bendera merah putih yang terlihat saat kami baru berangkat dari Tanjung Luar? Pada sore hari menjelang matahari terbenam, kapal kami singgah ke sana dan kini kami seolah menemukan daratan yang hilang. Sore itu laut sudah kembali surut dan kami dapat berjalan-jalan di pasirnya yang putih. Di barat sana, matahari tenggelam untuk menyapa kembali keesokan harinya.

Terima kasih untuk hari yang menyenangkan, Lombok. 🙂

1865143963390123180513