Awalnya saya agak kaget ketika pada suatu pagi Chendra mengusulkan untuk menonton film komedi romantis. Film itu adalah ‘Kapan Kawin’ yang kebetulan sedikit dibahas pada salah satu episode Kick Andy dan pada sebuah bincang-bincang di Kompas TV yang kami tonton. Tumben amat, biasanya kan sukanya film laga atau balap-balapan.
“A hard-working lawyer, attached to his cell phone, can’t find the time to communicate with his family. A couple is drawn into a dangerous situation when their secrets are exposed online. A widowed ex-cop struggles to raise a mischievous son who cyber-bullies a classmate. An ambitious journalist sees a career-making story in a teen that performs on an adult-only site. They are strangers, neighbors and colleagues and their stories collide in this riveting dramatic thriller about ordinary people struggling to connect in today’s wired world.”
Hampir setiap hari atau bahkan setiap hari kita tersambung internet. Pagi-pagi sambil sarapan, menikmati perjalanan ke kantor, atau kapanpun saat sedang luang rasanya jari-jari ini tidak bisa tidak menyentuh berbagai tombol aplikasi online di ponsel kita. Ada yang bilang teknologi itu mendekatkan yang jauh, namun bisa juga justru menjauhkan yang dekat. Internet, khususnya, memberikan banyak kemudahan untuk beraktivitas dan berkomunikasi. Namun jika kita tidak menggunakannya dengan bijak, internet bisa jadi merugikan dan membahayakan.
Pernahkah kamu punya mimpi namun tersandung banyak kendala?
Setelah sekian lama absen dari dunia per-bioskop-an, film pertama yang saya tonton adalah Tabula Rasa. Kalau sekadar mendengar judulnya, jujur saja saya tidak bisa menebak genre filmnya. Film cinta-cintaan kah? Waktu itu saya malas googling. Lalu suami saya, Chendra, bilang ada film Indonesia yang bagus yang bercerita tentang masakan padang. Eh, jangan-jangan Tabula Rasa itu ya? Kami pun kemudian berselancar ke situs 21cineplex. And yes, it matches!
***
Adalah Hans (Jimmy Kobogau), pemuda dari Serui, Papua, yang bermimpi menjadi pemain bola handal. Selain bermain bola, dalam kesehariannya ia membantu sebagai seorang juru masak di panti tempatnya dibesarkan.
“Mama tara senang kah lihat saya jadi pemain bola yang berhasil? Di Jakarta nanti saya akan jadi orang hebat,” ujar Hans di malam perpisahan itu kepada Mama, ibu asuh yang membesarkannya di Panti Asuhan di Serui.
Awalnya saya pikir ini adalah film kartun yang membosankan. Bercerita tentang seorang anak panti asuhan bernama Lewis yang oleh orang sekitarnya sering dianggap aneh karena ia gemar melakukan berbagai eksperimen untuk menemukan alat-alat baru. Mengapa dianggap aneh? Karena eksperimennya sering gagal dan justru membuat kekacauan.
Saya baru saja menonton film ‘Tanah Surga…Katanya’. Sukses berurai air mata. Film tentang kehidupan di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia ini mengangkat isu-isu sosial, ekonomi, dan drama keluarga. Ditambah cukup banyak bagian dari film itu yang mengingatkan saya akan Bawean, dari mulai ruang kelas yang disekat papan, anak-anak yang lebih familiar dengan Malaysia daripada Indonesia (jadi ingat murid-murid saya lebih banyak yang punya baju kesebelasan Malaysia yang kuning ngejreng, hanya satu anak yang punya baju kesebelasan Indonesia dengan nama punggung Bachdim hehe..), para orang tua yang bekerja di Malaysia, dan lainnya.
Pertama kali melihat informasi mengenai film ini di web 21cineplex, saya terpana melihat di situ tertulis durasinya 158 menit. Such a long movie! Ditambah lagi tertulis kalau itu adalah film drama musikal. Sebelumnya saya memang tidak familiar dengan novel dan drama musikalnya dengan judul serupa. Namun saya tertarik untuk menonton setelah membaca synopsis dan menyimak beberapa teman yang membahas film tersebut di media sosial (ikut mainstream).
Jika biasanya kita melihat penampilan Anne Hathaway sebagai gadis anggun dan baik-baik, di film ini Anne mendapatkan peran yang berbeda dari biasanya. Ia memerankan tokoh Kym, wanita usia 20-an yang harus keluar masuk rehabilitasi narkoba. Pada suatu waktu, ia harus pulang dan kembali berkumpul dengan keluarganya dalam rangka pernikahan kakaknya, Rachel (Rosemarie DeWitt). Kym dan rachel adalah dua orang yang sangat berbeda. Rachel adalah wanita yang sukses dan baru saja mendapat gelar Ph.D. Dibandingkan dengan Kym, jalan hidup rachel bisa dibilang lurus-lurus saja.
Sebenarnya menonton serial kartun Chibi Maruko Chan adalah hobi saya setiap Minggu pagi. Iya, itu sudah jauh beberapa tahun yang lalu karena belakangan saya tak lagi menemukan serial kartun itu di televisi. Cerita Maruko diangkat dari komik manga populer berjudul serupa yang dikarang oleh Momoko Sakura. Jadi cerita ini memang diangkat dari pengalaman pengarangnya sendiri. Maruko adalah panggilannya sewaktu kecil.
Film dibuka dengan tulisan “Los Angeles once upon a time”. Sama seperti latar waktu, latar belakang tokohnya pun terasa tak jelas di awal cerita. Seorang anak bernama Alexandria (Catinca Untaru) sedang dirawat di sebuah rumah sakit karena tangannya patah. Dari fisik dan bahasa Inggris-nya yang masih belum terlalu lancar, terlihat bahwa ia adalah seorang imigran. Ia menulis surat untuk seorang suster dan menerbangkannya melalui jendela di lantai dua. Ternyata surat itu masuk ke sebuah ruangan. Surat itulah yang kemudian mempertemukannya dengan seorang pemuda bernama Roy (Lee Pace) yang juga dirawat di tempat tersebut.
Ya, semua baik-baik saja. Begitulah yang terjadi dalam sebuah keluarga dengan empat orang anak: Amy (Kate Beckinsale), Rossie (Drew Barrymore), Robert (Sam Rockwell), dan David (Austin Lysy). Mereka belum bertemu ayah mereka, Frank Goode (Robert de Niro), sejak pemakaman sang ibu delapan bulan lalu. Pada suatu malam, sang ayah berencana mengadakan pesta kecil bersama keempat anaknya, namun mereka semua berhalangan hadir. Mereka semua kini berada di kota yang berbeda, mengejar impian masing-masing.