I knew I wanted to study for Master’s degree right after I graduated from my bachelor. Oh, no, even before. I have applied for some schools and scholarships since few years ago but unfortunately it was just last year that I was admitted for both the school and scholarship (previously it was just the school). And here I am now, studying at University of Groningen (RUG), Netherlands, the school that I am proud of.
Fredie mempersilakan kami masuk ke kamarnya yang berukuran kira-kira 4 x 2.5 meter. Kamarnya tidak bisa dibilang rapi, namun menurut saya layak huni dilihat dari ukuran, ventilasi, serta furnitur yang ada di dalamnya. Fredie kemudian mengambil gitar eletriknya dan memainkannya untuk kami. Kami semua serempak bertepuk tangan saat Fredie mengakhiri permainan gitarnya.
Fredie (56) adalah salah seorang penghuni Ommelanderhuis, sebuah tempat penampungan (shelter) bagi orang-orang yang tak memiliki rumah di Groningen. Terletak di Schoolstraat 11, ternyata bangunan ini memiliki sejarah yang cukup panjang (baca selengkapnya di SINI), salah satunya sebagai asrama untuk para biarawati. Fredie yang saat itu bertindak sebagai pemandu tur di Ommelanderhuis juga menunjukkan kepada kami bekas terowongan yang dulunya menghubungkan gedung ini dengan Martinikerk (kerk berarti gereja dalam bahasa Belanda). “Terowongan ini berfungsi sebagai jalan bagi para biarawati karena mereka tidak lazim untuk berjalan di keramaian ,” katanya menjelaskan.
Alhamdulillah. I am super happy today for visiting some more museums in Amsterdam (I’ll write about the museums later in another post). Among others, one thing that also made my day is finding this bookstore which sells used English books. And I really love the books I just bought today. Yeayy..
‘The Story of Indonesia‘ was written by Louis Fischer, author of ‘The Life of Mahatma Gandhi’ (which I haven’t read actually) and published in 1959. So this book is 55 years old now. The bookstore owner said that this kind of old book is hard to find but easy to sell (yeahh..). And this book has been on the shelf for only few days before a lucky person got it (and it is me..hehe..). I finally decided to buy it after I randomly picked some pages to read.
Saya sering gagal (dan sampai saat ini masih belum berhasil) paham mengapa musik disetel dengan suara begitu keras di suatu pesta atau pertemuan. Sama halnya seperti situasi di pub. Setiap orang pasti punya preferensi dan alasan yang berbeda, tapi saya benar-benar tidak bisa menikmatinya. Bicara harus teriak-teriak dan seringkali kita harus meminta lawan bicara kita mengulang apa yang dia katakan karena kita tidak bisa mendengar dengan jelas.
Beberapa bulan lalu, saya hendak datang ke gathering Couchsurfing (CS) Groningen di ‘blablabla’ Pub & Restaurant. Saya tahu saya nggak akan suka suasana di pub, tapi berhubung ada kata restorannya, saya pikir tempat ini cukup tenang. Waktu itu janjiannya jam 9 malam, karena saya ada kelas Bahasa Belanda sampai dengan jam 10, saya menyusul setelah kelas selesai. Pas masuk ke lokasi, duh saya langsung pengin pulang. Ruame bangettt. Suara musik yang super keras ditambah orang-orang pada ngobrol dengan suara keras pula (baca: teriak).
Ceritanya mau sok bikin judul film thriller ‘I Know What You Did Last Summer’ tapi versi musim dingin. Sebenarnya musim dingin belum berakhir sih, tapi lumayan suhu udah nggak minus lagi. Bahkan minggu lalu cuacanya cukup hangat, menyenangkan banget berasa musim semi. Tapi minggu ini cuaca galau lagi plus angin kenceng. Udah biasa lah hampir tersapu angin saat bersepeda. Biasanya saya melipir dulu daripada tiba-tiba keluar jalur sepeda terus keserempet mobil kan. Malah kemarin pas mau belok kanan, eh nggak belok-belok karena anginnya ke arah yang berlawanan. Capek deh…
Selain menampilkan koleksi Gustav Rau (baca cerita selengkapnya di SINI), di lantai yang berbeda, Groninger Museum memamerkan hasil karya Jaime Hayon bertajuk Funtastico. Ia disebut-sebut sebagai salah satu desainer paling berpengaruh saat ini, di antaranya versi majalah Times dan Wallpaper. Apa saja hasil karyanya? Bisa dibilang beragam dari mulai furnitur rumah tangga, keramik, instalasi taman kaktus berjudul ‘Mediterranean Digital Baroque’, sampai pion catur ‘raksasa’ berjudul ‘The Tournament’.
Melihat hasil karyanya, kita bisa kagum dan mengernyitkan dahi pada saat bersamaan. Saya jadi bertanya-tanya, “Dari mana ya dia kepikiran membuat benda seperti ini?”. Pertanyaan serupa sering muncul saat menghadiri pameran seni kontemporer lainnya. Imajinasi dan realita berbaur menjadi satu menghasilkan sebuah karya baru.
Furnitur yang didesain oleh Hayon. Sofa ungu ini terinspirasi dari American hotdog. 😀
Itulah pertanyaan pertama yang muncul saat kali pertama masuk ke Groninger Museum kemarin siang. Pasalnya Groninger Museum bekerja sama dengan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) saat ini sedang memamerkan koleksi lukisan (yang dahulunya) milik Gustav Rau.
Gustav Rau (1922-2002) lahir di Stuttgart, Jerman. Ayahnya adalah seorang pengusaha di industri mobil. Karena ia merupakan anak satu-satunya, setelah menyelesaikan sekolah ia diminta melanjutkan mengurus perusahaan ayahnya. Rau mengikuti permintaan ayahnya namun beberapa tahun kemudian ia menjual perusahaan itu demi menunaikan panggilan hatinya.
Salah satu taman di Groningen pada awal musim gugur 2013
Pada sebuah survei yang diselenggarakan Uni Eropa tahun 2013, Groningen didaulat sebagai salah satu kota dengan penduduk paling bahagia di Eropa. Groningen, sebuah kota di ujung utara Belanda, menduduki posisi ketiga dalam kepuasan warganya terkait fasilitas kesehatan (95%), ruang publik (94%), dan pendidikan (89%).
Bagi saya yang belum sampai setahun tinggal di kota ini, hal tersebut tidak mengherankan. Dalam hal ruang terbuka hijau misalnya, Groningen memiliki banyak sekali taman dimana warga bisa berjalan-jalan, berkumpul bersama teman dan keluarga, atau sekadar menghabiskan waktu sambil membaca buku. Taman dan danau menjadi pemandangan lumrah di kota ini.
Saya selalu berharap semakin banyak pula taman yang ada di Indonesia. Taman bukan hanya menjadi paru-paru kota, namun dapat menjadi tempat berinteraksi dan sumber inspirasi bagi warganya.
*Ps: Sila kunjungi laman blog Ari Murdiyanto yang menjadi tuan rumah pada turnamen kali ini.
Saya baru saja kembali dari ruang laundry di lantai satu untuk mengambil pakaian saya. Sebelum kembali ke kamar, saya mengecek kotak surat di ruang depan, di dalamnya saya menemukan surat dari Nederlandse Spoorwegen, perusahaan kereta Belanda.
Karena penasaran, saat di lift saya membuka amplop surat tersebut. Sekadar info, di asrama saya terdapat dua lift, yang satu untuk lantai bernomor genap dan yang satunya lagi untuk lantai bernomor ganjil. Kamar saya ada di lantai tujuh, namun karena lift lantai ganjil agak lama datangnya, saya akhirnya menggunakan lift genap dan memencet angka delapan. Jadi saya nanti tinggal turun satu lantai saja menggunakan tangga.
‘Banyak jalan menuju Roma, sebagaimana banyak pula jalan menuju Groningen’
“Icha, where is Groningen?” tanya seorang teman saya yang berasal dari Kamboja saat ia melihat album foto saya di Facebook.
Groningen memang tidak sepopuler Amsterdam. Namun saya sudah cukup familiar dengan salah satu universitas di kota ini sejak saya berkuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM). University of Groningen atau Rijkuniversiteit Groningen (RUG) memiliki cukup banyak kerjasama dengan UGM baik untuk program double-degree maupun pertukaran pelajar. Beberapa teman saya pun sebelumnya pernah berkuliah di universitas ini untuk jenjang master (S2). RUG dalam beberapa tahun ini selalu masuk peringkat 100 besar universitas terbaik di dunia, di antaranya versi Times Higher Education dan QS World University Ranking.