Suhu di Berlin mencapai minus empat derajat celcius siang itu, pada suatu hari di akhir Januari. Udara dingin menusuk sementara pemandangan dipenuhi warna putih karena salju menyelimuti kota. Saya dan Mbak Ami hampir putus asa menunggu antrean untuk mendapatkan tiket masuk ke gedung parlemen Jerman (Reichstag), tepatnya untuk naik ke kubahnya. Untuk dapat memasuki gedung tersebut, sebenarnya tidak dikenai biaya sama sekali alias gratis. Hanya saja pengunjung harus mendaftar terlebih dahulu untuk mendapatkan tiket dan menentukan waktu kedatangan sesuai slot waktu yang masih tersedia hari itu (atau keesokan harinya).
Category: Eurotrip
Mengapresiasi Karya Seni
Selain menampilkan koleksi Gustav Rau (baca cerita selengkapnya di SINI), di lantai yang berbeda, Groninger Museum memamerkan hasil karya Jaime Hayon bertajuk Funtastico. Ia disebut-sebut sebagai salah satu desainer paling berpengaruh saat ini, di antaranya versi majalah Times dan Wallpaper. Apa saja hasil karyanya? Bisa dibilang beragam dari mulai furnitur rumah tangga, keramik, instalasi taman kaktus berjudul ‘Mediterranean Digital Baroque’, sampai pion catur ‘raksasa’ berjudul ‘The Tournament’.
Melihat hasil karyanya, kita bisa kagum dan mengernyitkan dahi pada saat bersamaan. Saya jadi bertanya-tanya, “Dari mana ya dia kepikiran membuat benda seperti ini?”. Pertanyaan serupa sering muncul saat menghadiri pameran seni kontemporer lainnya. Imajinasi dan realita berbaur menjadi satu menghasilkan sebuah karya baru.

Gustav Rau dan Koleksinya di Groninger Museum

Siapakah gerangan pria bernama Gustav Rau?
Itulah pertanyaan pertama yang muncul saat kali pertama masuk ke Groninger Museum kemarin siang. Pasalnya Groninger Museum bekerja sama dengan The United Nations Children’s Fund (UNICEF) saat ini sedang memamerkan koleksi lukisan (yang dahulunya) milik Gustav Rau.
Gustav Rau (1922-2002) lahir di Stuttgart, Jerman. Ayahnya adalah seorang pengusaha di industri mobil. Karena ia merupakan anak satu-satunya, setelah menyelesaikan sekolah ia diminta melanjutkan mengurus perusahaan ayahnya. Rau mengikuti permintaan ayahnya namun beberapa tahun kemudian ia menjual perusahaan itu demi menunaikan panggilan hatinya.
Continue reading “Gustav Rau dan Koleksinya di Groninger Museum”
Turnamen Foto Perjalanan – Ronde 36: Taman

Pada sebuah survei yang diselenggarakan Uni Eropa tahun 2013, Groningen didaulat sebagai salah satu kota dengan penduduk paling bahagia di Eropa. Groningen, sebuah kota di ujung utara Belanda, menduduki posisi ketiga dalam kepuasan warganya terkait fasilitas kesehatan (95%), ruang publik (94%), dan pendidikan (89%).
Bagi saya yang belum sampai setahun tinggal di kota ini, hal tersebut tidak mengherankan. Dalam hal ruang terbuka hijau misalnya, Groningen memiliki banyak sekali taman dimana warga bisa berjalan-jalan, berkumpul bersama teman dan keluarga, atau sekadar menghabiskan waktu sambil membaca buku. Taman dan danau menjadi pemandangan lumrah di kota ini.
Saya selalu berharap semakin banyak pula taman yang ada di Indonesia. Taman bukan hanya menjadi paru-paru kota, namun dapat menjadi tempat berinteraksi dan sumber inspirasi bagi warganya.
*Ps: Sila kunjungi laman blog Ari Murdiyanto yang menjadi tuan rumah pada turnamen kali ini.
And Prague would not be the same…

Yes, my trip to Prague, Czech, last November would not be the same without Veronika. I knew her through Couchsurfing, a platform for travelers to do hospitality exchange. It is always nice to have such experience, meet and or stay with a stranger and share a lot of stories and experiences. It was my second time staying at a Couchsurfer’s house. Previously I did it in Banda Aceh, Indonesia, and the host – a couple with two kids – will always be a family for me.
That morning I stood up in front of one of many flats in Prague. I was not alone. I traveled to Prague from Budapest with my friend Kiki, who at that time was doing staff exchange at Corvinus University, Budapest. Based on the address given by Veronika, I was sure that it was where she lives. She actually kindly offered to pick us up at the bus terminal although our bus arrived at 6.45 in the morning. You know, it was autumn already and the sun had not risen yet. Plus, it was Saturday! Most of people would prefer to stay sleeping instead. So, I must say it was very kind of her. Unfortunately we were waiting at different places so after a few minutes there without seeing us, she left the bus terminal.
Mengunjungi Rumah Anne Frank

I think yesterday I made the most of my dagkaart (a day-ticket to use train anywhere in Netherland). I traveled all the way from Groningen to Waalwijk (which took 3,5 hrs) for a family reunion.
I left Waalwijk at 2 pm and headed to Amsterdam. I’ve been waiting to visit House of Anne Frank. And lining up for half an hour to enter the house was just worth it. There’s always something to learn along our journey, isn’t there? I’m so grateful. 🙂
Budapest: Info dan Tips
It’s all about the money
Mata uang Hungaria adalah forint atau sering disingkat menjadi HUFffffttt. Saat saya berkunjung ke Budapest awal bulan ini, nilai tukar terhadap euro sekitar 290 forint per euro. Saya waktu itu tiba di bandara Budapest pukul 19.30 dan langsung mencari tempat penukaran uang. Alangkah kagetnya saya ketika melihat kurs beli 230 forint/euro dan kurs jualnya 320/euro. Luar biasa! Itu semacam perampokan namanya. Marginnya nggak kira-kira.
Saya tengok kanan-kiri tetapi tidak ada tempat penukaran lain. Karena hari sudah malam dan khawatir tidak sempat mencari tempat lain, saya menyerahkan dengan pasrah selembar uang 50 euro saya kepada petugas penukaran uang bernama Interchange (nggak kepikiran kalau bisa menukarkan sebagian saja dan minta kembalian euro).
Menjejaki Budapest (2)
(Cerita sebelumnya bisa dibaca di SINI)
Dohány Street Synagogue
Berdasarkan data sensus Hungaria tahun 2011, terdapat 10.965 penduduk Yahudi (0.11% dari total populasi) di sana. Menurut estimasi sebenarnya jumlah penduduk Yahudi lebih dari itu, yaitu sekitar 120.000 jiwa, namun tidak semuanya menyatakan diri sebagai Yahudi pada saat sensus. Yahudi memiliki sejarah panjang di Hungaria. Pada awal 1900-an, orang-orang Yahudi menguasai sebagian besar perekonomian Hungaria meskipun secara jumlah mereka hanya merupakan lima persen dari total populasi. Mereka tersebar dalam berbagai profesi, menjadi pemilik modal dan mayoritas pemegang saham perusahaan besar, serta duduk di kursi pemerintahan. Dalam dunia pendidikan pun mereka memimpin sebagai doktor dan peneliti berbagai bidang. Tak heran karena seperempat bangku universitas di Hungaria saat itu diduduki oleh orang Yahudi.
Pagi itu saya berdiri di depan Dohány Street Synagogue. Saya tidak yakin terjemahan bahasa Indonesia yang tepat untuk kata ini, yang jelas synagogue adalah tempat berkumpul dan beribadah bagi umat Yahudi. Dohány Street Synagogue merupakan synagogue terbesar di Eropa dan ketiga terbesar di dunia. Di dalamnya terdapat museum dan ruangan yang memang masih digunakan untuk ibadah dan bisa menampung sampai dengan 3000 orang.
Menjejaki Budapest (1)
Selamat pagi, Budapest!
Pagi itu saya, Kiki, dan Fafa bangun agak siang. Padahal malam sebelumnya Kiki sempat mengajak berburu sunrise, entah di Fishermen’s Bastion atau Citadella, saya lupa. Yang jelas, ekspresi saya saat itu adalah, “seriously?” Nggak kebayang aja dinginnya. Brrrr… Saya langsung angkat tangan. Lagipula malam itu kami mengobrol sampai larut. Maklum kami bertiga sudah cukup lama tidak bertemu. Obrolan random dari soal kuliah sampai cita-cita memajukan industri garmen Indonesia. Haha… Obrolan garmen itu gara-gara saya cerita topik global value chain di salah satu mata kuliah dan kenyataan bahwa sebenarnya baju-baju bermerek terkenal itu kebanyakan dibuat di negara berkembang, termasuk Indonesia. Andaikan kita punya modal (dan mau mengerjakan) branding dan marketing yang oke, kita bisa go international juga. Jadi Indonesia nggak hanya dapat sedikit (value added) dari nilai keseluruhan produk itu. Obrolan ini jadi makin nyambung karena sebelumnya Fafa pernah bekerja di industri itu. Jadi dia cukup tahu seluk beluknya.
Anyway… Maaf ngelantur. Kapan-kapan saya bikin tulisan terpisah deh soal topik itu. Menarik banget soalnya.
Surprising Budapest
Buda and Pest became one city named Budapest in 1873. Danube River lies in between, makes the city even more beautiful. Day or night, anytime is the best time to enjoy Budapest.
Dahulu saya sering bertanya-tanya seperti apa ya negara-negara di Eropa Timur itu. Sebut saja Hungaria, Polandia, Ceko, Romania, dan lainnya (namun ada klasifikasi berbeda dari beberapa institusi internasional mengenai negara-negara Eropa Tengah dan Timur). Mungkin kita lebih familiar dan sering mendengar cerita tentang betapa romantisnya Paris dan Venesia, atau betapa indahnya kanal-kanal di Amsterdam.
“Kebanyakan orang bertanya-tanya, ‘Ngapain kok sekolah di Polandia?’ Kebanyakan orang berpikir negara-negara Eropa Timur itu masih ketinggalan,” ujar Fafa saat kami berdiri menunggu tram siang itu. Fafa adalah mahasiswa master di salah satu program Erasmus Mundus yang berkuliah di beberapa Negara sekaligus, yaitu Italia, Polandia, dan semester ini sedang magang di Budapest, Hungaria.