Asia, Other Stories, Traveling

Makkah dan Madinah: Dua Persinggahan

img_20181015_055924_hdr-01.jpeg
Ka’bah di Masjidil Haram

Suatu siang, di antara lautan manusia di Masjidil Haram, air mata ini tertahan. Kemudian tak lama, tangis pecah. Tangis dalam sunyi. Tangis di antara entah berapa puluh ribu manusia yang terpekur menunduk ke tempat sujud di sekeliling Ka’bah.

Sunyi di antara takbir, i’tidal, dan sujud. Tangis di antara lantunan ayat-ayat Alquran dan bacaan-bacaan shalat yang dilafalkan lirih. Rasa sedih yang seringkali datang membuncah ketika mengingat bahwa semua ini takkan lama. Bahwa Makkah dan Madinah ini hanyalah persinggahan untuk kemudian kami melanjutkan hari-hari sebagaimana biasa.

***

Sekitar setahun lalu, saat reuni dengan seorang teman lama, ia bertanya, “Icha, kok sekarang udah jarang traveling?”

Saya tersenyum saja dan bercerita bahwa di Jogja banyak sekali destinasi wisata yang bisa saya kunjungi saat akhir pekan untuk sekadar refreshing. Saya dan suami pun sebenarnya masih suka melakukan perjalanan darat di dalam Pulau Jawa dan sekitarnya.

Jawaban panjangnya, meskipun kala itu tidak saya ceritakan kepadanya secara rinci, dalam fase hidup yang berbeda, mungkin kita akan memiliki prioritas yang berbeda pula. Untuk kasus saya, traveling seperti waktu masih single dulu memang bukan menjadi prioritas. Setelah menikah, misalnya, tentu ada pos-pos pengeluaran yang mungkin lebih besar dibandingkan saat hidup sendiri dan tinggal di kost. Bagi yang merencanakan kehamilan bahkan sudah punya anak, ada juga pos pengeluaran tersendiri.

Dalam hal traveling, ada dua cita-cita utama saya dan suami setelah menikah, yaitu alokasi untuk mendaftar haji dan berangkat umrah. Kami pun berusaha mengerem beberapa pengeluaran demi kedua hal tersebut. Masa tunggu haji saat ini untuk wilayah DI Yogyakarta sudah mencapai dua puluh tahun (mungkin berbeda untuk kota/daerah lain). Kami tidak tahu rahasia Allah tentang usia kami sehingga alangkah baiknya jika berikhtiar lebih dini untuk mendaftar.

Sementara itu, karena haji kemungkinan berangkatnya masih lama, tentu kami pun ingin umrah. “Allah akan memampukan hamba-hamba-Nya yang merasa terpanggil untuk ke Baitullah,” demikian ucap suami meyakinkan. Tentu semua itu diiringi niat, ikhtiar, dan juga dengan seizin Allah SWT.

 

Kemewahan

Bulan Safar 1440 Hijriyah, bertepatan dengan Oktober 2018, alhamdulillaah saya dan suami bisa berumrah. Umrah dan haji merupakan perjalanan spiritual yang amat personal dan mungkin memberikan pengalaman tersendiri untuk setiap orang. Jika saya menuliskannya pun, mungkin hanya sebagian yang bisa tercurah. Namun yang pasti, salah satu kenikmatan dan kemewahan yang dirasakan selama berumrah adalah keleluasaan untuk beribadah.

Fokus dan khusyuk beribadah saat umrah memang merupakan suatu hal yang mudah. Bagaimana tidak, keseharian kita ‘hanya’ disibukkan dengan beribadah, baik itu shalat (fardu dan sunnah), tadarus, berdzikir, menyimak kajian, dsb. Sesekali ada city tour yang diadakan oleh pihak travel (penyelenggara umrah), itu pun hanya beberapa jam dalam sehari. Biasanya, muthawif (pembimbing) pun selalu mengagendakan agar sebelum waktu shalat fardhu (zuhur atau ashar) sudah bisa kembali ke hotel agar bisa menunaikan shalat di Masjid Nabawi ataupun di Masjidil Haram. Tentu kita tak ingin melewatkan pahala shalat di kedua masjid tersebut.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Selama di Makkah dan Madinah yang hanya beberapa hari, kami bebas ‘bermanja’ dengan Allah, terutama saat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Tidak ada shalat dan doa yang terburu-buru karena ada agenda rapat atau mengajar, misalnya. Tidak pula ada alasan menunda shalat karena masih mengerjakan tugas yang belum selesai. Sungguhlah selama ini sebagai manusia, kami terlalu banyak alasan untuk menunda melakukan kebaikan.

img_20181010_174738_hdr.jpg
Senja di Masjid Nabawi, Madinah

Saat tiba di Masjidil Haram dan melihat Ka’bah, rasa syukur semakin membuncah. Ka’bah yang selama ini hanya saya lihat gambar dan videonya, juga yang terkadang menjadi pemandangan di sajadah saja, kini ada di depan mata. Sedangkan di Madinah, kota yang menjadi tujuan Rasul berhijrah dan mensyiarkan islam selama sepuluh tahun, rasanya dekat sekali dengan Rasulullah SAW. Bisa shalat dan berdoa di raudhah atau taman surga (tempat di antara rumah dan mimbar Rasul) juga merupakah sebuah kesempatan yang berharga meskipun penuh perjuangan (karena sangat padat).

Masya Allah… Dalam sujud dan doa, saya terus menerus bersyukur bisa sampai di dua tanah haram Makkah dan Madinah. Allah Mahabaik.

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin.

 

Medan Juang yang Sebenarnya

Pada suatu obrolan dengan suami, saya bilang bahwa saya bahagia sekali selama umrah, tetapi juga sering merasa sedih ketika tersadar bahwa tak lama lagi kami akan pulang. Memang, seperti saya sampaikan sebelumnya, fokus dan khusyuk beribadah saat umrah bukan sesuatu yang sulit. Kami sepakat bahwa medan juang yang sebenarnya adalah ketika kami kembali dari tanah suci dan menjalankan peran masing-masing, baik sebagai individu, peran dalam keluarga (sebagai suami, istri, anak, dll), peran di tempat kerja masing-masing, juga di masyarakat.

Tentulah rasanya ingin lebih lama lagi berada di Makkah dan Madinah. Namun, memang harus kami cukupkan bahwa keduanya adalah tempat singgah yang insya Allah memperkaya hati dan memberikan kekuatan untuk senantiasa memperbaiki diri.

Dalam buku ‘Islam yang Saya Anut’, Quraish Shihab mempertegas tujuan penciptaan manusia yang termaktub dalam Alquran. Pertama, sebagai khalifah untuk memakmurkan bumi (QS. Hud: 61). Kedua, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT (QS. Adz-Dzariyat: 56-57). Kedua tujuan penciptaan tersebut amat berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Ibadah dalam islam terdiri dari ibadah mahdhah (murni) dan ibadah ghair mahdhah (tidak murni). Ibadah murni ialah ibadah yang sudah ada ketentuan dan tata cara tertentu (termasuk juga waktu dan bilangannya), seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan ibadah tidak murni tidak menuntut cara, waktu, dan bilangan yang pasti. Ibadah ini amat luas cakupannya. Bagi pelajar dan mahasiswa, belajar termasuk ibadah. Bagi dosen dan guru, misalnya, mengajar adalah bagian dari ibadah. Apapun profesinya, peran apapun yang kita jalani, dan di manapun kita berkarya, insya Allah selalu ada ruang untuk beribadah. Demikian pula dalam hidup bermasyarakat dan bertetangga. Kebaikan sekecil apapun yang kita kerjakan, jika diniatkan ibadah kepada Allah SWT, insya Allah berbuah pahala.

Mungkin ini adalah pekerjaan rumah bagi saya dan suami, bagaimana agar sepulang umrah, semangat beribadah, baik mahdhah maupun ghair mahdhah, terus bisa terjaga. Ibadah mahdhah amat penting dan sangat diperlukan untuk menyeimbangkan hidup. Meminjam istilah Quraish Shihab (masih dari buku yang sama), ibadah mahdhah penting untuk “memberi gizi rohani” agar manusia dapat menjalankan tugas dan perannya dengan baik. Sejatinya, gizi rohani itulah yang kita peroleh dari ibadah-ibadah mahdhah kita sehari-hari, seperti shalat, puasa, dan lainnya. Itu pula yang saya rasakan selama berumrah kemarin. Ibarat ponsel, jiwa ini terasa di-recharge selama di sana. Tak salah bila umat muslim begitu menginginkan bisa ke tanah suci, dan yang sudah pernah ke tanah suci pun, tentu rindu untuk berkunjung kembali. Semoga Allah mudahkan ikhtiar kita.

“Ibadah mahdhah penting untuk “memberi gizi rohani” agar manusia dapat menjalankan tugas dan perannya dengan baik.”

(Quraish Shihab dalam ‘Islam yang Saya Anut’)

Juga merupakan pekerjaan rumah bagi kami, untuk senantiasa menanamkan dalam hati, bahwa semua yang kami lakukan, kerjakan, dan usahakan merupakan ibadah kepada Allah SWT sekaligus sebagai ikhtiar kami untuk menjadi khalifah yang membawa kebaikan di muka bumi.

“Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam,” (QS. Al-An’am 6: Ayat 162)

Oleh karenanya, kami juga tidak boleh merasa cukup dengan sedikit ilmu agama yang kami miliki, karena amal tanpa ilmu tidaklah sempurna. Ilmu pun harus dimulai dengan belajar adab. Adab dulu, kemudian ilmu, kemudian amal. Semoga Allah tetapkan kami untuk istiqamah di jalan-Nya.

Aamiin.

Ps. Semoga ada niat dan semangat untuk menuliskan cerita lainnya dari pengalaman umrah kemarin. 🙂

signature

 

11 thoughts on “Makkah dan Madinah: Dua Persinggahan”

  1. Semoga dimudahkan, dilancarkan, diberikan umur barakah dan kesehatan yang baik sampai saatnya nanti naik haji. Aku jadi pengen beli buku yg kamu sebutkan *tapi seperti biasa, nunggu ada yg bisa dititipin.

    Liked by 1 person

    1. Aamiin.. Saling mendoakan, Mbak. Insya Allah dimudahkan ya. 🙂
      Nunggu ada yang pulang ke Indonesia ya hehe.. Bukunya ttg dasar-dasar islam, yang mungkin pernah kita pelajari, tapi bagus untuk refresh ilmu agama lagi. Aku ngerasanya isi buku ini relevan bgt kalau kita sering interaksi dan ditanya2 sama yg bukan muslim. Bahkan kalau dibaca oleh nonmuslim yg ingin tahu ttg islam juga mudah dipahami insya Allah.

      Like

  2. Icha, Aku sedikit tahu bedanya beribadah haji dan umroh. Yang mau kutanya di sini apakah ibadah umroh itu mengunjungi tempat – tempat suci yang persis sama dengan ibadah haji? TFS.

    Like

    1. Umrah ini dikenal juga dengan istilah ‘haji kecil’, Mbak. Poin-poin rukun dan wajibnya tidak sebanyak haji. Umrah tidak ada rukun wukuf di Arafah (puncaknya ibadah haji), bermalam di Muzdalifah & Mina, dan melempar jumrah. Saat umrah, biasanya jamaah mengunjungi tempat-tempat itu dalam rangkaian tour saja, bukan dalam rangkaian ibadah umrahnya. 🙂

      Liked by 1 person

    1. Wah maafkan baru terbaca komentarnya saat scroll post lama. Alhamdulillaah.. 🙂 semoga Allah berikan kelancaran dalam ikhtiarnya yaa. Semoga covid-19 juga segera berlalu agar umat islam bisa kembali berumrah dan berhaji ke tanah suci. 🙂

      Like

Leave a comment