Other Stories

Baik-baik saja

heart-700141_1920
Foto: Pixabay

Suatu waktu saya pernah mengobrol dengan seorang teman via DM Instagram. Kalau tidak salah, ia kala itu menanggapi tulisan di blog saya yang membahas pertanyaan ‘Udah Isi?.

“Kalau gue biasanya jawab, ‘rezekinya masih yang lain’,” katanya.

Saya sepakat dengan pernyataan tersebut.

Iya, rezeki setiap orang berbeda-beda. Ada yang diberikan rezeki (dan amanah) anak tak lama setelah menikah, ada yang punya karir bagus, ada yang melanjutkan sekolah, ada yang memulai bisnis sendiri, dan mungkin ada yang (kelihatannya) punya semuanya. 🙂

Pernyataan itu secara tidak langsung juga menegaskan kepada yang bertanya, “Jangan khawatir.. jika Allah belum memberikan satu rezeki kepada kami, bukan berarti kami menjadi alpa terhadap rezeki-rezeki yang lain. Kami mensyukurinya dan hidup kami baik-baik saja.”

Ya, KAMI BAIK-BAIK SAJA. Sebetulnya perasaan itu ada di hati dan tak perlu diumumkan kepada orang lain kan? TAPI, terkadang ada situasi yang seakan butuh penjelasan bahwa kami baik-baik saja.

Suatu hari saya pernah curhat kepada suami.

“Mas, aku nggak sedih atas kondisi kita yang belum dikaruniai anak. Yang penting kita tetap berdoa dan ikhtiar. Aku bahagia dan bersyukur sama semua yang udah Allah kasih. Tapi, aku sedih kalau dikasihani orang.”

Mungkin teman-teman yang sama-sama sedang berjuang seperti kami, pernah dapat komentar seperti ini:

“Wah, rumahnya sepi yaa.. sayang cuma berdua aja.”

“Oh, belum punya anak? Udah berapa lama nikahnya?” Saat saya sebutkan berapa tahun, wajahnya langsung iba seolah saya orang paling menderita di dunia (tentu saya bisa merasakan bedanya empati dan dikasihani).

Berada di posisi itu jujur saja benar-benar tidak nyaman. Saya rasa, hal ini berlaku untuk banyak kondisi lainnya. Misalnya, ada teman yang belum menikah. Kalau mau mendoakan yang baik-baik untuknya silakan saja. Tetapi, tak usah lah berkomentar yang tidak perlu, apalagi menyarankan ia supaya cepat menikah karena kita merasa ‘begitu peduli’ (kasihan) ia ke mana-mana masih sendiri. Percayalah, mungkin sebenarnya ia bahagia dan berusaha mensyukuri apa yang dijalani. Komentar atau gestur kitalah yang mungkin malah mengganggu kebahagiannya.

Hal ini juga yang membuat saya suka malas menjawab pertanyaan kepo orang-orang yang tidak terlalu dekat, karena biasanya alur percakapannya begini:

(Berbasa-basi)

A: Mbak Icha sudah berkeluarga?

B: Iya, sudah.

A: Putranya sudah berapa?

B: Belum punya.

A: Oh, memangnya nikahnya sudah berapa tahun?

B: Hmm.. mau tahu aja atau mau tahu banget nih? (Tentu ini adalah jawaban khayalan saya.. hahaa..)

Terkadang, jawaban saya yang ternyata ‘belum punya anak’ ini juga membuat si penanya sungkan. Mungkin merasa tidak enak (bercampur menyesal, bercampur kasihan). Makanya, daripada sama-sama tidak enak, cari ide saja untuk membahas topik-topik lain, misalnya kuliner, film, hobi, atau berat badan (eh, ini mah emak-emak makin sensi kali! Haha..).

***

Teman-teman dan pembaca yang baik, lewat curhatan virtual ini saya mau menyampaikan bahwa kami baik-baik saja. Alhamdulillaah. Terima kasih ya teman-teman dan keluarga yang senantiasa mendoakan kebaikan untuk kami, mendoakan keluarga kami supaya makin ramai dan makin seru dengan kehadiran putra dan putri yang salih salihah.

Mungkin setiap pasangan berbeda dalam menjalani hal ini serta dalam merespons segala ucapan dan tindakan dari orang lain. Walau senantiasa berusaha husnuzan dan bersikap positif dalam menanggapi apapun, tentu kami juga banyak khilafnya. Untuk itu, kami memohon maaf jika ada salah.

Sebagaimana rezeki yang berbeda, cobaan setiap orang dan pasangan juga berbeda. Mungkin memang inilah yang menurut Allah bisa kami jalani dengan jiwa besar sekaligus menjadi ladang pahala kami lewat sabar, doa, dan berbagai iktiar. Semoga ini juga yang mendekatkan hati kami satu sama lain, dan tentunya mendekatkan hati kami kepada Sang Maha Pengasih.

Daaan.. tidak usah ragu ya kalau mau berbagi kabar gembira (terkait dengan anak) kepada kami. Kabar kehamilan, kabar kelahiran, kabar anak yang baru bisa merangkak, kabar anak-anaknya yang baru masuk PAUD, dan sebagainya.. tentu kami ikut senang, ikut merasakan keseruannya, dan turut bersyukur.

Kami baik-baik saja. Sungguh, tidak terselip rasa berkecil hati, apalagi iri atau semacamnya dalam hati kami. Sejatinya kebahagiaan tumbuh dari rasa cukup dan syukur. Alhamdulillaah ‘ala kulli hal.

signature

18 thoughts on “Baik-baik saja”

  1. Icha, baca tulisanmu seperti melihat diriku sendiri beberapa tahun lalu. Ada beberapa kenalan dan teman sampai merasa ga enak hati mau ngundang aku ke acara ulangtahun anaknya. Mereka katanya ga tega melihat aku yang beberapa tahun nikah tapi belum punya anak. Padahal aku sangat baik2 saja pada saat itu. Mereka pun sebenarnya ga tahu alasan kenapa kami belum memiliki anak pada saat itu. Jadi kenapa musti merasa kasihan jika aku benar2 baik2 saja, ga masalah dikelilingi oleh mereka yang sudah punya anak. Tidak ada perasaan iri sekalipun.

    Liked by 2 people

    1. Makasih sharingnya, Mbak Deni. :*
      Iya, Mbak. Aku berusaha berbaik sangka bahwa mungkin orang-orang nggak ada maksud yang nggak baik. Tapi aku menulis gini supaya nggak ada salah paham satu sama lain.Orang mungkin bermaksud baik/jaga perasaan, padahal yang sampai di kita malah menyakitkan. Hehe..
      Salam dari Jogja, Mbak.

      Like

  2. Ichaa MashaAllah.. setuju.. InsyAllah semua yang tau terbaik cuma Allah.. Kan orang gatau perjuangan apa aja yg udh dilewatin. Ga cuma program untuk kehamilan. Bisa aja dikasih nikmat sakit yang ternyata ga ada obatnya. Nikmat kelainan hormon tubuh yang bisa jadi ladang pahala minta kesabaran untuk sembuh. Prioritasnya jd beda kan. Bukan anak, tapi dikuatkan hatinya untuk tetep sehat aja udah bersyukuuuur bgt. Dikasih kecukupan.. hehe.. manusia emang nih. Merasa paling tau semuanya pdhal gatau apa2 :p

    Liked by 1 person

    1. Iya, Han. Kita nggak selalu bisa sepenuhnya bisa ikut merasakan dan paham yang dirasakan orang lain, tapi kita bisa berusaha empati insya Allah. Semoga sehat-sehat ya, Hanna, Kiky, dan bayinya. :*

      Like

  3. Hai Icha.. This is sooo relate to me hehehee.. Aku juga merasa hal yang sama persiss.. Kalau yang bertanya bukan teman/kerabat yang dekat, pasti ujungnya cuma 2, antara merasa kasihan sama kita, atau kepo, masing2 dengan pertanyaan/pernyataan lanjutannya. Sungguh, kita cuma ingin didoakan saja yang baik2 setelah kita menyampaikan kalau kita belum dikaruniai anak, tidak perlu ada rentetan lanjutannya yang bikin salah tingkah. Belum lama yang lalu, pernah ada yang bilang gini padaku “untung suaminya setia ya, udah 6 tahun belum ada anaknya”. Entah ku harus bereaksi apa hahaha… Makasih Icha, keep up the good writing ya, and welcome kalau mau sharing2 lagi perihal ikhtiar kita 😊🤗

    Liked by 2 people

    1. Makasih sharingnya, Mbak Muthia. Kangen cerita-cerita lagii.. kapa-kapan aku kontak ya!
      Duuh.. sedih dengernya ada yang komentar gitu. 😥 Kasian juga sih sama orang yang ngomong, Mbak, berarti selama ini pandangan dia tentang pernikahan cuma ‘segitu’ aja.
      Semoga jadi pengingat buat kita untuk berkata yang baik atau lebih baik diam. Love love.

      Like

Leave a comment