Other Stories

Ramadhan di Rantau: Hijrah ke Negeri Kiwi

Alhamdulillaah.. hari ketiga puasa Ramadhan 1439 H.

Dua tahun lalu, saya pernah menceritakan pengalaman saya berpuasa di Belanda lewat tulisan ‘Berpuasa pada Musim Panas’. Waktu itu Ramadhan dimulai pada awal Juli, sewaktu Eropa sedang musim panas dan udara memang sedang panas-panasnya. Itu adalah kali pertama saya berpuasa selama sekitar dua puluh jam dan alhamdulillaah tidak seberat yang saya pikirkan sebelumnya.

Ternyata, cukup banyak respons positif untuk tulisan tersebut, baik langsung melalui blog maupun melalui media sosial seperti Facebook dan Twitter. Tentu cerita berpuasa di belahan bumi yang berbeda bukan untuk membanding-bandingkan, tetapi justru harapannya sebagai sesama muslim kita bisa saling menguatkan. Beda tempat, pasti beda tantangannya. Dengan mengetahui berbagai kisah orang lain, kita bisa semakin bersyukur dengan apa pun kondisi kita.

Atas dasar itu, insya Allah selama Ramadhan ini saya akan menghadirkan seri tulisan ‘Ramadhan di Rantau’ melalui blog ini. Bukan… bukan cerita tentang saya kok, nanti netijen bosen. Hehe…  *ngumpet di balik gerobak es buah* Ceritanya tentang teman-teman saya yang saat ini sedang merantau di luar negeri. Bocoran sedikit ya, untuk dua cerita pertama adalah dari New Zealand (NZ) dan Malta. Eh, Malta itu di mana ya? Udah sana, cek di Google Maps aja dulu ya. Cerita selengkapnya segera menyusul. Sekarang kita ke cerita pertama dulu.

New Zealand

Apa yang pertama kali terpikirkan waktu mendengar New Zealand? Mungkin kiwi. Atau.. Lokasi syuting film Lord of The Rings? 😀 Negara yang beribukota di Wellington ini terkenal dengan bentang alamnya yang mempesona. Dengan jumlah populasi yang kurang dari setengah populasi Jakarta, kepadatan penduduk di NZ adalah 17,9/km persegi. Dari keseluruhan populasi NZ, jumlah muslim tidak terlalu banyak. Menurut Wikipedia, gelombang pertama muslim hadir di NZ sekitar tahun 1900-an, yaitu imigran muslim dari Asia Selatan (khususnya India) dan Eropa Timur.

***

WhatsApp Image 2018-05-19 at 06.00.45
Achie dan putrinya, Jenna (foto: dok. pribadi)

Sejak beberapa tahun lalu, salah seorang teman saya bermukim di NZ. Marchie (30), atau lebih akrab disapa Achie, tinggal dengan suami dan putri kecilnya di kota Auckland. Sewaktu tahu Achie pindah ke NZ, awalnya saya pikir mungkin suaminya dipindahtugaskan ke sana. Ternyata, kepindahan Achie dan suami bukan karena tuntutan pekerjaan, melainkan murni pilihan mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih nyaman untuk keluarga. Wah, ini ibarat menekan tombol restart ya, karena semuanya harus merintis dari awal. Dari mulai mencari info administratif, mengurus proses kepindahan, akomodasi, dan tentunya mencari peluang untuk pekerjaan baru. Salut untuk keputusan berani dan matang ini. Saat ini, suami Achie bekerja di bidang IT dan Achie sendiri bekerja sebagai Key Account Manager di Diplomat, sebuah perusahaan global di bidang supply chain.

Yuk, simak ngobrol-ngobrol dengan Achie.

 

Assalamualaikum Chie.. Ceritain dong awal mula hijrah ke NZ.

Waalaikumsalam Cha. Awalnya hijrah ke NZ krn memang sama suami merasa kurang cocok hidup di Jakarta, terutama karena kita mau ‘bangun’ keluarga, jadi kita coba cari negara yang lebih family friendly.

I see. Nah, kenapa NZ dari sekian banyak negara yang mungkin lebih family friendly dari Indonesia?

Milihnya dari livable list countries/cities terus kita cari mana yang english speaking country (karena udah agak sulit belajar bahasa baru di umur-umur begini). Beberapa pilihan itu Canada, Australia, dan NZ. Dan kita cek gimana typical culture, keamanan, plus kesehatan secara umum. Pilihan pertama jatuh ke NZ.

Dari situ kita coba cari-cari gimana cara bisa ke sana. Kebetulan ada agen imigrasi NZ yang lagi ke Jakarta, jadi kita konsultasi untuk melihat opportunity-nya

Sekarang berarti udah berapa tahun ya di sana?

Kita pindah officially September 2014, jadi tahun ini udah empat tahun in NZ.

Sekarang aktivitas sehari-hari apa?

Sekarang aktivitasnya jadi working mom. Enaknya di NZ, employer dan coworker sangat respect dengan family time. Jadi penting banget untuk bisa pulang tepat waktu, dan biasanya orang tua (ibu ataupun bapak) akan masak dinner dan makan malam bersama keluarga tiap hari.

Kalaupun perlu working late/weekend, pasti udah dikasih tau dari sekian lama jadi semuanya prepare dan kalau bisa work from home nggak akan dipaksa untuk datang ke kantor.

Waah.. jadi bener ya kata Achie kalau negara ini emang familiy friendly. Oh ya.. berarti ini puasa keempat ya di NZ. Ada nggak tantangan yang terasa banget di sana?

Yup, ini Ramadhan keempat. Tantangannya nggak terlalu major sih, karena semua orang respect dan bahkan malah penasaran jadi suka tanya-tanya. Dari sehari-hari kayaknya nggak terlalu challenging, cuma mungkin ‘kehilangan’ suasana Ramadhan seperti di Indonesia itu yang bikin sedih. Misal, sahur dan buka Bersama. Walaupun ada, di sini pastinya lebih jarang. Dan atmosfer celebration-nya nggak seheboh kalau di Indonesia lah, makanya suka kangen rumah kalau lagi Ramadhan begini.

Berarti di kantor pada tahu ya kalau Achie puasa. Gimana respons mereka?

Mayoritas tahu sih. Mereka aware sama agama dan pilihan hidup (seperti vegetarian) orang-orang, karena berusaha untuk tidak mengganggu dan meng-insult orang lain. So far, kalau cukup dekat, mereka akan tanya-tanya, kenapa dan gimana sih puasa itu. Lucunya beberapa orang yang health concious malah menganjurkan puasa, jadi mereka lebih tahu dari segi sainsnya. Kalau nggak terlalu dekat sih biasanya mereka cuma compliment aja, ‘wah hebat ya’ atau yang lainnya. Mereka bakal menghindari komentar atau bikin joke karena agama itu pilihan personal dan topik sensitif yang nggak kita diskusiin secara umum di sini.

Nah, patut dicontoh banget ya itu, Chie. Semoga kita juga bisa respek begitu sama pilihan hidup orang lain.

Banget…

Oh ya, sekarang lagi musim gugur ya di sana. Puasanya berapa jam, Chie?

Puasanya cepet kok di sini. Malah kayaknya lebih cepet daripada di Indonesia. Imsak 5.40-an, Maghrib jam 5.20-an, dan semakin cepet lagi ke depannya.

Apakah ada komunitas muslim di kota tempat Achie tinggal (Auckland)? Baik itu sesama orang Indonesia atau mungkin muslim dari berbagai negara.

Ada, di sini ada HUMIA, Himpunan Umat Muslim Indonesia di Auckland, dan IIC, Islamic Indonesia Community. Biasanya mereka mengadakan pengajian bareng, buka Bersama, dan Solat Ied plus makan-makannya, hehe..

WhatsApp Image 2018-05-19 at 05.52.04
Kegiatan Auckland Mengaji bersama AA Gym, April 2018 (foto: dok. pribadi)

Selain saat Ramadhan, di sana ada pengajian rutin juga ya?

Ada dong, tiap minggu ada pengajian. Ada yang buat muslimah, ada juga yang buat keluarga. Tiap bulan juga ada tamu biasanya. Buat anak-anak pun ada. Seminggu ada beberapa kali pengajian after school, ada yang weekend juga. Gurunya warga muslim Indonesia, beberapa guru tetap, dan ada beberapa lainnya volunteer.

Kalau dengan warga muslim selain orang Indonesia, apakah pernah/sering berinteraksi?

Ada beberapa temen muslim non-Indonesia sih. Ada yang dari India, South Africa, France, sama Palestine di kantor. Pada puasa juga, cuma mereka punya masjid tujuan masing-masing. Mungkin karena tempat tinggal dan komunitas sehari-harinya beda juga.

Ada menu sahur atau buka puasa favorit nggak selama di sana? Nggak ada yang jual takjil ya tapi. Hehe

Nggak ada menu favorit sih untuk sahur dan buka. Biasanya kita makan ke luar aja beberapa kali seminggu untuk buka, supaya lebih excited dan weekend bukber bareng temen-teman di sini. Atau beli cemilan sore-sore buat buka.

Apa yang paling Achie syukuri selama empat tahun menjalankan Ramadhan di NZ?

Yang disukuri adalah belajar untuk nggak take it for granted segala kemudahan dan suasana Ramadhan di Indonesia. Juga belajar menjadi kaum minoritas, betapa pentingnya toleransi dan menghormati antara sesama manusia. Mudah-mudahan jadi pelajaran untuk Jenna juga untuk selalu aware dengan pilihan hidup orang lain dan selalu berusaha untuk menghormati pilihan hidup orang lain.

Harapan Achie di bulan Ramadhan ini apa? Ada target tertentu?

Nggak ada target tertentu. Penginnya Ramadhan kali ini bisa push the pause button, bisa step back dan self reflect apa yang sudah dilakukan dan apa yang perlu diperbaiki lagi supaya bisa jadi manusia yang lebih baik.

Aamiin… Semoga lancar yaa ibadahnya dan semoga lancar persiapan mudiknya, Chie.

Sampai jumpa di Ramadhan di Rantau edisi selanjutnya!

signature

12 thoughts on “Ramadhan di Rantau: Hijrah ke Negeri Kiwi”

  1. Ide cerita yang bagus. Jadi ingat saat puasa dahulu di rantau, bangun pagi itu beratnyaa hahaha…dan masaknya tidak seheboh di Indonesia. Pokoknya makan aja…Di kehidupan sehari-hari orang sekitar nggak ada yang puasa…makan di hadapan. Kruyuk…

    Like

  2. salut sama mba Achie yang berani pindah dan memulai membangun semuanya dari awal di NZ….kita di sini pasti ngeliatnya enak banget hidupnya, padahal perjuangannya di sana aku yakin gak gampang huhuhu

    Liked by 1 person

  3. Salam kenal mbak, boleh di share agen imigrasi NZ nya kah?
    Saya ada plan tuj migrasi tuk balance life and work saya, krn bbrp tahun ini agak berantakan.
    Terima kasih

    Like

  4. Salam kenal mbak, apakah boleh di share agen imigrasi NZ nya kah?
    Saya ada plan tuk migrasi tuk balance life and work saya, krn bbrp tahun ini agak berantakan.
    Terima kasih

    Like

Leave a comment