Books, Review

I am Sarahza

whatsapp-image-2018-05-03-at-17-16-08-e1525343579403.jpegDi mana ada harapan, di situ ada kehidupan.

 

Sekitar tahun lalu, saya pernah membaca salah satu post Hanum Salsabiela di akun instagramnya. Ia bercerita singkat tentang bagaimana ikhtiarnya dan suaminya, Rangga Almahendra, menanti keturunan selama lebih dari sepuluh tahun. Di akun instagramnya, pernah juga saya membaca cerita tentang sepasang nenek dan kakek yang tidak sengaja mereka temui di Kaliurang. Waktu itu, Hanum baru saja menjalani program kehamilan, namun belum berhasil. Kepada kakek dan nenek tersebut, Rangga, suami Hanum, memberikan sedekah beberapa lembar rupiah, yang ternyata sebagian dari uang tersebut disedekahkan lagi oleh nenek dan kakek ke kotak amal masjid. Allah Mahatahu dari mana jalan kita mendapatkan rezeki. Bisa jadi dari sedikit harta yang kita sedekahkan, mungkin juga dari doa tulus orang-orang tak dikenal yang kita bantu.

Beberapa cerita singkat tersebut membuat saya menitikkan air mata haru. Ketika kemudian saya tahu bahwa kisahnya dibukukan, saya tak sabar ingin membacanya. Buku ‘I am Sarahza’, ditulis oleh Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra, menceritakan lika-liku perjalanan keduanya untuk mendapatkan keturunan. Bermula dari sebuah perkenalan yang menjengkelkan, kemudian berubah menjadi interaksi yang manis. Semua terasa mulus pada awalnya. Tak lama setelah saling mengenal, keduanya menikah.

 

Menjadi Istri

Konflik dimulai saat Hanum berada dalam kegalauan pilihan untuk tetap bekerja sebagai reporter di sebuah stasiun TV swasta atau meninggalkan karier yang sudah ia impi-impikan tersebut untuk ikut suami melanjutkan studi di Austria.

Sampai sini, DEG!

Saya jadi berkaca pada diri sendiri. Sejak sebelum menikah, saya dan suami (waktu itu masih calon suami) memang sepakat untuk hijrah ke Jogja karena suami menjalankan usaha di kota ini. Bagi saya, rasanya itu bukan hal yang sulit karena Jogja sudah bagaikan rumah kedua, empat tahun saya habiskan di kota ini untuk studi S1 dulu. Tetapi kemudian, setelah pindah, barulah merasakan beratnya meninggalkan pekerjaan dan karier yang sejak dulu saya impikan. Rasa insecured dan rasa tidak berguna yang dirasakan Hanum juga pernah saya rasakan. Tapi, seperti pesan sang ayah, Amien Rais,

“Bumi Allah itu luas, berkarya bisa di mana saja. Jadi perempuan pembahagia suami itu lebih konkret daripada apa pun yang kamu kejar selama ini.”

Lalu sang ibu menambahkan,

“Mungkin kamu nggak akan percaya, tapi kalau kamu ikhlas menjalaninya, Tuhan akan mengganjar kamu dengan karunia yang jauh lebih besar dari yang kamu genggam sekarang.”

Sampai sini, sudah boleh nangis kan ya? :”)

 

Faktor X

Sampai dengan lima tahun pertama pernikahannya, Hanum sudah tiga kali menjalani inseminasi, bahkan yang ketiga ini dilakukan di sebuah klinik fertilitas terbaik di Eropa, sekaligus ditangani oleh salah satu dokter terbaik di sana. Berdasarkan berbagai teori dan kalkukasi, inseminasi seharusnya berhasil. Ya, seharusnya. Karena nyatanya, usaha itu belum membuahkan hasil. Menurut dokter, selain berbagai penjelasan medis, tentu ada faktor X yang menentukan. Dokter sekaliber itu pun dengan rendah hati mengakui bahwa ada faktor lain yang berperan di luar kecanggihan teknologi dan pengetahuan kedokteran.

 

Ikhtiar dan Doa

Meskipun terdengar seperti nasihat yang sudah umum, tetapi lewat buku ini saya kembali diingatkan kekuatan ikhtiar dan doa. Tugas hamba-Nya adalah terus berikhtiar sesuai kemampuan serta berdoa dan berpasrah. Dua hal ini saling melengkapi dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Saya ingat pernah membaca sebuah tulisan, bahwa ibarat filosofi sa’i, kita tidak pernah tahu rezeki itu Allah datangkan dari ikhtiar kita yang mana dan yang keberapa.

Sa’i adalah salah satu rukun haji dan umrah yang dilakukan dengan berjalan kaki atau berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali bolak-balik dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Atas perintah Allah, kala itu Siti Hajar dan Ismail AS ditinggalkan Ibrahim AS di tengah gurun pasir. Sewaktu kehabisan air, Siti Hajar bolak-balik mencari air dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah. Barulah pada kali ketujuh, Siti Hajar menemukan pancaran mata air yang kini kita kenal dengan air zamzam (cerita yang sama juga ternyata pernah juga ditulis di Republika). Begitu pula dalam hidup, kita tak pernah tahu Allah mengabulkan doa kita lewat ikhtiar yang mana. Selama kita tidak mudah menyerah dan berprasangka baik terhadap segala ketentuan-Nya, insya Allah akan selalu ada hikmah di balik setiap ikhtiar. Dalam kisah Hanum, andaikan ia keburu menyerah, mungkin cerita Sarahza tak akan sampai ke tangan pembaca seperti saat ini.

“… believe me, Allah lagi nulis suratan takdir yang baik untuk kita. Jangan diburu-buru. Jangan digesa-gesa, nanti suratnya kurang indah. Yang jelas kita akan tetap bersatu, Say. Tetap bersatu.” (Rangga)

Saat mulai membaca I am Sarahza, saya mengantisipasi adanya cerita detail tentang proses program kehamilan. Sebagian pernah saya jalani, seperti tes HSG, hidrotubasi, sampai inseminasi. Seolah ada layar yang kembali menayangkan siaran ulang episode perjalanan saya sendiri. Rasa sakitnya, rasa ngeri, nyeri, ditambah perasaan sensitif dan emosi yang biasanya naik-turun pasca tindakan. Tapi, saya sadar, itu bukan hal yang patut dikeluhkan. Alhamdulillaah… hal yang saya syukuri adalah selama perjalanan itu suami setia mendampingi. Dalam kasus kami, suami pun turut ambil bagian penting lewat sebuah operasi dan rangkaian terapi hormon. Semua adalah bagian dari ikhtiar kami. Sebetulnya saya sebelumnya belum pernah menceritakan hal ini di ruang publik seperti media sosial dan blog. Insya Allah suatu saat saya ceritakan lebih banyak (berhubung ini sebenarnya mau review buku tapi kok jadi curcol :D).

Kembali lagi ke buku, ternyata perjalanan Hanum dan Rangga bukanlah tentang mereka berdua saja. Peran orang-orang terdekat, terutama orang tua, sangatlah berarti dan menjadi support system yang sangat penting. Inilah yang tidak saya antisipasi sebelumnya. Banyak air mata jatuh pada bagian ini. Nasihat, doa yang tak pernah putus, juga berbagai dukungan nyata dari orang tua, rasanya begitu menghangatkan sekaligus menampar. Terbayang kedua orang tua dan bapak ibu mertua yang menghadirkan kami dalam setiap doanya. Dalam buku ini, Hanum menceritakan bagaimana Pak Amien Rais membayar nazar dengan berjalan kaki pada siang hari sejauh belasan kilometer ketika mendengar kabar bahwa putrinya hamil. Belum sampai di situ, ternyata pada hari itu Pak Amien sedang puasa Daud. Masya Allah. Begitulah cinta orang tua kepada anaknya yang dibalut ketaatan kepada Sang Pencipta.

***

Salah satu hal yang menarik dari buku ini, cerita dituturkan oleh tiga tokoh berbeda, yaitu Hanum, Rangga, dan Sarahza (Sarahza adalah nama putrinya). Ketiganya menuturkan cerita secara bergantian dari sudut pandang masing-masing. Bagi saya yang seorang perempuan, apa yang disampaikan Hanum seolah lebih bisa diprediksi: pandangannya, perasaannya, rasa kecewanya, rasa sedihnya, dan hal lain yang menyuarakan lubuk hati perempuan. Di sisi lain, sudut pandang Rangga menjadi suatu hal yang saya renungkan. Begitulah seorang pria, seorang suami, yang ingin selalu menjaga istrinya, ingin menguatkan istrinya, meskipun tak jarang harus mengesampingkan rasa kecewa, sedih, dan rapuh yang juga ia rasakan.

Serasa cita-cita terbesarku sekarang bukanlah jadi dokter gigi, presenter TV, penulis, pembuat film, bahkan untuk menjadi ibu pun aku serahkan semua pada Tuhan. Kalau boleh, aku hanya meminta satu hal saja, tak lebih. Aku ingin jadi istri yang husnul khatimah. (Hanum)

Aku ikhlas dengan seluruh ujian yang Engkau berikan kepada kami. Pintaku satu tak pernah berubah, jadikan kesetiaanku sebagai teman sejati kami sampai ajal memisahkan kami. (Rangga)

Bisa jadi, saya menjadi sangat emosional saat membaca buku ini karena saya sedikit banyak memiliki pengalaman yang sama. Namun, buku ini sebetulnya bisa dibaca siapa saja. Terus berikhtiar, tidak mudah menyerah, berpasrah kepada Allah, dan banyak bersyukur adalah pesan universal yang bisa kita petik dan amalkan dalam situasi apa pun. Memiliki keturunan adalah sebuah karunia Allah yang bisa membuka jalan ke surga-Nya, tapi itu bukan satu-satunya. Jangan sampai kita menutup mata dan lupa mensyukuri banyaknya nikmat dan rezeki lain yang Allah berikan.

Kisah Hanum dan Rangga setidaknya mewakili sekian banyak cerita pasangan dengan kesabaran yang luar biasa menantikan buah hati (tentulah pengalaman saya tidak ada apa-apanya). Mungkin, cerita ini bisa menerbitkan lebih banyak empati dari kita untuk siapa pun yang sedang melewati perjuangan yang sama. Mungkin juga, empati itu menghadirkan lisan yang semakin terjaga dan tidak menyakiti. Semoga.

 

Ps.

Untuk suamiku, terima kasih. Terima kasih untuk kesabaran dalam menjalani semuanya bersama.

Terima kasih sudah ada di sampingku, menggenggam tanganku sewaktu aku menahan sakit menghadapi berbagai alat medis yang masuk ke tubuhku. Terima kasih sudah sabar sewaktu nadaku meninggi karena emosi yang begitu labil.  Terima kasih untuk keikhlasanmu tidur di meja operasi yang dingin tanpa aku di sisimu. Terima kasih sudah merelakan tanganmu berkali-kali disuntik dan menyisakan rasa sakit berhari-hari setelahnya.

Terima kasih untuk selalu berjalan bersama, kemarin, hari ini, dan esok hari. Insya Allah. Semoga semakin banyak sujud dan doa yang yang kita panjatkan, dan diamini malaikat-malaikat-Nya.

 

signature

12 thoughts on “I am Sarahza”

  1. Heheee I’m definitely burst into tears reading this..until now when I’m typing this comment, apalagi kalau bukan karena sebagai sesama yang menjalani dan merasakan. Tetap semangat, tetap berusaha, tetap berdoa yaa Icha dan suami.. 😇😇

    Like

    1. Huhu.. aku pas nulis juga menitikkan air mata, Mbak. :”) Semoga Mbak Muthia dan suami juga diberikan kekuatan dan kesabaran ya. ❤

      Like

  2. baru baca review nya aja kok sudah mbrebes mili giniiii T.T, terutama bagian pas pak Amien jalann kaki (langsung inget ayahku) dan catatan kakimu….Mba Icha dan Mas Chendra semoga selalu dikuatkan dan didekatkan sama Allah. Aamiin ya Rabb…mba aku share reviewnya yaa

    Like

    1. Duh, iya sin. Bagian cerita tentang orang tua tuh bikin sesenggukan ingat ortu sendiri. Makasih doanya ya, sinta. :* Doa yg terbaik juga untuk sinta (dan #temansinta #eh). :p

      Like

  3. Icha, baca tulisanmu dari awal sampai akhir, rasanya haru. Sampai pada ps, air mataku menetes. Kata2 yang kamu tulis di situ sangat menyentuh. Jika kamu ada disampingku, ingin rasanya kupeluk. Sabar ya Cha, kalian jangan menyerah. Klise kalau aku mengatakan seperti ini : Insya Allah buah hati yang kalian senantiasa doakan untuk hadir, akan datang pada saat yang tepat. Jangan menyerah, tetap ikhtiar dan percaya bahwa Allah beserta kalian. Insya Allah usaha yang kalian lakukan tak pernah sia sia.

    Liked by 1 person

Leave a comment