Movies, Review

Jelita Sejuba (2018)

Jelita

Beberapa waktu lalu, Putri Marino mengunggah poster film terbarunya di akun Instagram. Judul filmnya adalah ‘Jelita Sejuba: Mencintai Kesatria Negara’. Sewaktu melihat nama-nama pemainnya, banyak nama yang tidak saya kenal, termasuk pemeran utama prianya, Wafda Saifan. Meskipun begitu, saya penasaran ingin menonton Jelita Sejuba. Alasan sederhananya, karena saya suka akting Putri Marino dalam film Posesif. Berperan sebagai Lala, akting Putri terlihat alami, effortless, dan jujur. Kualitas aktingnya pun dibuktikan dengan raihan Piala Citra 2017 untuk kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik. Jadi, saya punya ekspektasi bahwa film ini pun akan bagus.

Pada saat yang sama, promo film Teman Tapi Menikah terasa gencar sekali. Saya duga, film ini banyak diminati ABG karena temanya yang seputar persahabatan dua insan remaja (yang kemudian sampai menikah). Lagi-lagi, saya tertarik menonton film ini karena aktornya: Adipati Dolken! Sempat berpikir, is he going to be the next Reza Rahadian? Suka sekali sama aktingnya di film Posesif. Dulu pertama kenal (sok kenal) Adipati di film Perahu Kertas dan yaa.. kesannya biasa saja.


Anyway, akhirnya saya memutuskan untuk menonton Jelita Sejuba setelah menonton trailernya. Film karya sutradara Ray Nayoan ini berkisah tentang hubungan gadis asli Natuna, Syarifah (Putri Marino) dengan seorang prajurit bernama Jaka (Wafda Saifan). Bentang alam Natuna yang indah, sentuhan budaya Melayu, dan tema kehidupan keluarga prajurit cukup menguatkan keputusan menonton film ini (macem memutuskan apa aja..).

 

Romantis yang Tidak Berlebihan

Perkenalan dan kedekatan Jaka dengan Syarifah terasa mulus, lucu-menggemaskan, dan indah. Meskipun sempat ada penolakan dari adik Syarifah, yaitu Farhan (Aldy Maldini), dua sejoli tersebut akhirnya menikah. Penonton bioskop yang ternyata kebanyakan mbak-mbak abege, begitu histeris setiap adegan Syarifah dan Jaka. Duh.. terutama histeris sama Bang Jaka yang kalem, tegas, tapi menghanyutkan.

jelita 2

Saya akui, adegan Jaka melamar Syarifah memang apik dialognya. Latar di atas bukit berbatu dengan pemandangan laut. Eh, tapi bukan hanya laut, melainkan ada pemandangan mess tentara lajang dan di sisi lain ada mess dan komplek perumahan tentara. Lalu, apa hubungannya dengan lamaran Jaka? Ada dong… Lengkapnya sila tonton filmnya. 😉

 

Sisi Humanis Kehidupan Prajurit

Nah, sudah cukup ya cerita indahnya karena sesungguhnya kehidupan dan perjuangan sebenarnya dimulai setelah menikah. Jangankan setelah menikah, proses administrasi saat menjelang pernikahan Syarifah dan Jaka pun ternyata cukup ribet. Saya baru tahu dari film ini bahwa kalau tentara mau menikah itu urusannya panjang. Izin ke sana, izin ke sini, melengkapi berbagai dokumen, sampai cek kesehatan. Syarifah pun stress, Pemirsa! Terus kata Jaka, “Inget aja sebelum ini kita niatnya mau apa?” NIKAH. :”) Ah, jadi inget masa-masa menjelang pernikahan dengan segala printilannya. Kadang sedih, pusing, capek, khawatir, tapi saat balik lagi inget niat baik untuk menikah, jadi sadar untuk berlapang dada dan menguatkan diri.

16jelita-sejuba

Tidak sampai di situ, rumah tangga Syarifah dan Jaka yang masih seumur jagung itu dihadapkan pada kenyataan bahwa Jaka ditugaskan ke luar negeri, dan setelah itu pun masih selalu berpindah ke berbagai daerah. Di hadapan Jaka, Syarifah selalu berusaha kuat. Namun pada kenyataannya, banyak sekali perjuangan yang harus ditanggung oleh seorang istri prajurit. Suami tak selalu bisa hadir dalam momen-momen penting, seperti kelahiran anak, menemani anak bermain dan belajar, dan sebagainya. Belum lagi berbagai persoalan ekonomi dan psikologis yang harus dihadapi sendiri. Hal ini menyadarkan saya bahwa sesungguhnya bukan hanya prajurit saja yang berjasa bagi negara, namun seluruh keluarganya yang mengikhlaskan sang prajurit bertugas.

 

Dari Tertawa sampai Menangis

Banyak sekali adegan yang membuat penonton tertawa lepas karena komedi jenakanya. Akan tetapi, banyak pula adegan yang membuat penonton tersentuh. Apalah artinya LDR dalam pernikahan saya yang tak sampai setahun. Jadi membayangkan bagaimana rasanya para istri prajurit yang harus rela ditinggal suami dalam jangka waktu lama. Film ini berhasil memainkan emosi penonton lewat drama keluarganya.

 

Natuna dan Budaya Melayu

Berbagai percakapan dan ekspresi dalam bahasa Melayu dituturkan para pemainnya dengan sangat alami dan tak dibuat-buat. Saya senang sekali setiap Syarifah berekspresi macam, “Mak oooy…” Ah, Melayu sekali. Konon di Natuna sendiri ada lebih dari tujuh dialek Melayu. Dialek yang dipakai dalam film ini adalah dialek Ranai yang merupakan Bahasa ‘nasional’ di sana. Selain itu, aspek-aspek lainnya seperti kostum dan musik pun turut memberi sentuhan Melayu dalam keseluruhan film.

 

Aktor dan Aktris Berkualitas

Setelah menonton akting Putri Marino untuk kedua kalinya, saya percaya ia sudah pantas disejajarkan dengan aktris papan atas Indonesia lainnya. Dalam film ini, ia kembali beradu akting dengan Yayu Unru yang lagi-lagi berperan menjadi ayahnya. Nampaknya, chemistry keduanya pun semakin terbangun. Tanpa saya duga, akting Wafda sebagai Jaka juga tak kalah baik. Penampilannya total sebagai seorang prajurit.

Selain para pemeran utama, para pemain pendukungnya pun menjadi elemen penting dalam film ini. Salah satu yang patut diacungi jempol adalah aktor cilik yang berperan sebagai Andhika (Yukio Nidal Ahmad), anak Syarifah dan Jaka. Awalnya, saya berharap tim casting bisa mencari aktor anak yang lebih mirip Syarifah ataupun Jaka. Saya teringat film Sabtu Bersama Bapak di mana anak-anaknya tidak ada yang mirip, aktingnya kurang luwes, dan tidak ada chemistry dengan orang tuanya. Tapi, ternyata pemeran Andika ini mematahkan rasa sangsi saya. Aktingnya luwes sekali… Tebakan saya dia memang anak Melayu asli karena begitu lancar dan mengalir dalam setiap percakapan.

Salah satu potongan adegan favorit dalam film ini

Film ini tentunya tak luput dari beberapa kekurangan. Bagi saya, ada beberapa komedi yang agak berlebihan, meskipun tidak banyak. Selain itu, saya berharap porsi peran Jaka sebagai ayah diperlihatkan lebih banyak. Karena mungkin berkonflik dengan keterbatasan durasi, ada beberapa plot hole terutama sejak sang anak pertama masih bayi sampai dia SD. Kehadiran Jaka menurut saya bisa diperlihatkan dalam cuplikan-cuplikan singkat saja sehingga tidak terasa ada alur yang terlalu cepat. Oh ya, satu lagi, posternya kurang menarik (tidak saya unggah dalam tulisan ini). Hehe.

Namun demikian, secara keseluruhan, bagi saya film ini sangat layak tonton. Tema yang diusung pun terbilang baru dan belum banyak diambil pada film-film Indonesia lainnya.

 

Tambahan:

Beberapa teman bilang film ini diputarnya di bioskop tertentu saja. Saya juga baca sih komentar-komentar di media sosial yang bilang film ini belum ada di kota mereka atau jam mainnya hanya sedikit. Yuk, yang di kotanya ada film ini, tonton ya.. biar nggak cepat turun layar. Pengalaman nonton di Jogja (hanya ada di Empire XXI) beberapa hari lalu, hampir full house. Kebanyakan yang nonton adalah anak muda (perempuan) usia SMA – kuliah.  Sepertinya Wafda cukup populer di kalangan anak muda. Saya nggak kenal sebelumnya, nggak update artis-artis masa kini. Tahunya Paramitha Rusady sama Onky Alexander sih.. Haha.

Oh ya, di akun Instagram resmi film ini, saya juga lihat banyak rombongan tentara dan istri tentara yang pada nobar film ini. Lumayan heboh, sampai bawa spanduk. Hehe.. Duh, kalau saya jadi istri tentara, bisa nangis kejer nonton Jelita Sejuba. :”)

 

signature

12 thoughts on “Jelita Sejuba (2018)”

    1. Iya, promonya nggak seheboh film lain yang lagi tayang juga. Hehe. Mungkin kendala budget *entahlah*. Oh ya, kenapa nggak tayang di banyak bioskop, biasanya juga itu hasil kesepakatan sama bioskopnya ya. Mungkin film ini dianggap nggak terlalu menjual. Pada akhirnya semua mengikuti mekanisme supply dan demand. Kalau nggak banyak yang nonton, bakalan cepet turun layar ini filmnya.

      Like

Leave a reply to Maisya Cancel reply