Sekitar sebelas tahun lalu, saya terkesima saat seorang teman membayar ongkos bus dengan menggunakan uang elektronik. Cukup pindai kartu di mesin dekat pintu masuk bus, mesin akan berbunyi pertanda transaksi pembayaran berhasil. Teman saya pun langsung duduk di bus dengan tenang. Sementara saya, setelah grasak-grusuk, barulah menemukan uang pecahan seribu won di dompet untuk membayar ongkos.
Pengalaman tersebut terjadi di sebuah bus di kota Daejeon, saat kali pertama saya menggunakan bus kota di Korea. Karena pengalaman itulah, saya kemudian membeli uang elektronik di salah satu convenient store untuk mempermudah berbagai transaksi. Kartu tersebut bisa digunakan baik untuk bus maupun kereta bawah tanah. Selain alasan kepraktisan, jika membayar menggunakan uang elektronik, tarifnya 10% lebih murah dibandingkan membayar tunai. Tentu ini menjadi insentif tersendiri bagi masyarakat sebagai konsumen.
Sementara itu, ketika saya berkesempatan studi di Belanda beberapa tahun silam, saya menemukan bahwa pembayaran menggunakan kartu debit di swalayan atau pusat perbelanjaan hanya membutuhkan satu mesin EDC (Electronic Data Capture) untuk berbagai kartu dari bank berbeda. Selain praktis, tidak ada biaya yang dibebankan kepada pengguna. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana satu mesin hanya dapat digunakan untuk satu jenis kartu. Kalaupun bisa digunakan oleh kartu dari bank berbeda, biasanya dikenai biaya.
Saya kagum pada berbagai fasilitas jasa keuangan di negara-negara maju. Saya pun bertanya-tanya, “Kapan ya Indonesia bisa seperti ini?”
***
Peluncuran Gerbang Pembayaran Nasional
Pada 4 Desember 2017 lalu, Bank Indonesia meluncurkan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) atau mungkin kita lebih familier dengan istilah national payment gateway. Sebelum membahas lebih jauh mengenai GPN, sebagaimana kita ketahui, sektor jasa keuangan memang sedang berkembang di Indonesia seiring dengan semakin majunya teknologi finansial. Beberapa tahun belakangan, penggunaan uang elektronik, misalnya, semakin populer di masyarakat. Beberapa di antaranya yaitu untuk pembayaran angkutan umum di kota-kota besar serta pembayaran tol. Selain itu, transaksi pembayaran secara online juga semakin tinggi seiring dengan terus tumbuhnya e-commerce. Sebagaimana dilansir Kompas[1], data BPS menunjukkan bahwa sektor jasa keuangan dan asuransi di Indonesia tumbuh sebesar 8,9 persen per Februari 2017. Persentase ini terbilang cukup tinggi jika dibandingkan sektor lainnya.

Berkaitan dengan hal tersebut, GPN memberikan angin segar bagi sektor jasa keuangan Indonesia. Ada tiga sasaran utama implementasi GPN menurut siaran pers Bank Indonesia[2]. Secara singkat, tiga sasaran tersebut meliputi: (1) sistem pembayaran yang saling terkoneksi dan pemrosesan transaksi secara domestik; (2) perlindungan konsumen; dan (3) ketersediaan dan integritas data transaksi sistem pembayaran nasional.
Sektor Jasa Keuangan sebagai Penyokong Sektor Lainnya
Sebelum ada GPN, penyelesaian transaksi keuangan dilakukan di luar negeri dan kemudian kembali ke Indonesia. Tentu proses ini tidak efisien dari segi biaya. Dengan pemrosesan keseluruhan di dalam negeri, biaya transaksi keuangan dapat direduksi. Manfaat lainnya dari GPN, dengan sistem pembayaran yang interkoneksi, kita tidak lagi perlu memiliki berbagai kartu untuk pembayaran karena EDC dapat digunakan untuk kartu apapun. Berbagai manfaat ini akan berdampak positif pada sektor lainnya, misalnya saja sektor ritel yang banyak memanfaatkan fasilitas transaksi keuangan.
Berdasarkan survei cepat yang saya lakukan dengan total 96 responden (rentang usia 20 – 40 tahun), 64% lebih memilih menggunakan kartu debit atau kredit, sedangkan sisanya, 36%, lebih memilih membayar tunai untuk transaksi ritel. Meskipun sangat kasar, setidaknya hasil ini menunjukkan bahwa animo masyarakat (khususnya usia muda) dalam memanfaatkan jasa keuangan perbankan terbilang cukup tinggi. Bahkan survei di atas belum mencakup preferensi masyarakat untuk transaksi online seperti melalui internet banking, SMS banking, dan berbagai aplikasi. Dengan transaksi yang lebih mudah, murah, dan aman setelah adanya GPN, penggunaan jasa keuangan masih berpeluang untuk terus menanjak.
Keterkaitan Antarsektor
Mengapa sektor jasa keuangan penting bagi perekonomian?
Dalam ekonomi, dikenal istilah linkage atau keterkaitan antar sektor. Banyak hasil studi yang menunjukkan keterkaitan yang positif antara sektor jasa keuangan dengan sektor lainnya. Studi Freytag dan Fricke (2017)[3] misalnya, menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antarsektor yang tinggi pada sektor jasa keuangan di Nigeria. Keterkaitan ini mencakup keterkaitan ke depan (forward linkages) dan keterkaitan ke belakang (backward linkages), yang berarti bahwa sektor jasa keuangan menjadi luaran sektor lainnya (misalnya sektor teknologi informasi dan telekomunikasi) sekaligus menjadi input sektor lainnya (misalnya sektor ritel, transportasi, dsb). Studi ini bisa menjadi representasi atau pembanding bagi kondisi di negara-negara berkembang, mengingat kebanyakan referensi menjadikan negara maju sebagai objek studi terkait sektor jasa.
Di banyak negara maju, sektor jasa merupakan penggerak utama perekonomian. Di Indonesia sendiri, peran sektor jasa semakin meningkat dalam beberapa dekade belakangan. Berdasarkan data BPS yang dirangkum Indonesia Services Dialogue[4], kontribusi sektor jasa terhadap Pendapatan Domestik Bruto Indonesia meningkat dari 38% pada tahun 1970 menjadi 51% pada 2014. Dengan adanya GPN, sektor jasa di Indonesia, khususnya jasa keuangan, dapat semakin berkontribusi bagi perekonomian sekaligus mempermudah berbagai aktivitas ekonomi masyarakat. Kenyamanan dan kemudahan bertransaksi yang pernah saya rasakan di dua negara yang lebih maju, harapannya dapat juga dirasakan di Indonesia.
Referensi:
[1] http://ekonomi.kompas.com/read/2017/02/22/200000426/kontribusi.sektor.jasa.keuangan.pada.perekonomian.terus.meningkat
[2] http://www.bi.go.id/id/ruang-media/siaran-pers/Pages/sp_199071.aspx
[3] Freytag, and Fricke. (2017). Sectoral linkages of financial services as channels of economic development – An input-output analysis of Nigerian and Kenyan economies. Review of Development Finance 7 (2017), 36 -44.
[4] http://isd-indonesia.org/assets/resources/Indonesia-Services-Dialogue-Fact-Figure-1.pdf
Di folback yaa
LikeLike