“It’s like magic!” kata Season saat melihat proses pewarnaan batik.
Minggu pagi itu mungkin terasa seperti Minggu pagi biasanya, tetapi tidak bagi saya. Meskipun badan sedang kurang fit sejak sehari sebelumnya, pagi itu, 27 Maret 2016, saya bersemangat untuk memulai Batik Tour bersama Eksplorasik. Area Parkir Bank Indonesia yang tak jauh dari area Malioboro menjadi titik kumpul kami pagi itu.
Ada lima peserta yang bergabung, yang terdiri dari tiga orang Indonesia dan dua orang asing yang berasal dari Amerika Serikat dan Prancis. Kami memang menargetkan pesertanya berjumlah antara 5 – 10 orang saja agar proses belajar membatik lebih efektif. Selain itu, dengan grup yang kecil, setiap orang diharapkan bisa saling mengenal dan berbaur satu sama lain.
Saya dan seorang rekan saya, Pandu, mempersiapkan tour ini karena kami memiliki pandangan yang sama bahwa berwisata tak hanya tentang datang ke suatu tempat, berfoto, lalu pulang. Kegiatan wisata akan lebih berarti ketika ada pengalaman tertentu yang meninggalkan kesan sekaligus memberi nilai dan sudut pandang baru bagi setiap individu. Dan kami memulainya dari batik.
Batik adalah sesuatu yang sudah tidak asing bagi orang Indonesia. Anak sekolah biasanya memiliki seragam batik, begitu pula yang bekerja, biasanya ada hari tertentu saat pegawai diwajibkan mengenakan batik. Selain sebagai seragam, batik juga saat ini lebih akrab dengan masyarakat Indonesia dengan adanya baju-baju batik yang kasual serta berbagai pernak-pernik batik dari mulai tas, dompet, sepatu, jilbab, syal, dan lainnya. Tetapi apakah semua orang mengetahui cerita di balik selembar kain batik yang dikenakannya?
Pada kesempatan ini, Eksplorasik mengajak para pesertanya mengenal dan belajar membatik pada dua media, yaitu kain dan kayu. Workshop batik kain diadakan di salah satu rumah produksi baik tertua di Yogyakarta, sedangkan workshop batik kayu dilaksanakan di salah satu sanggar batik di Krebet, Bantul. Melalui dua sesi workshop yang diselingi dengan makan siang, peserta bisa beraktivitas di ‘dapur’ para pengrajin. Batik pada kain pastinya lebih akrab bagi kita. Lalu bagaimana dengan batik kayu? Kebanyakan dari peserta ternyata baru mengetahui bahwa batik juga bisa diaplikasikan pada media kayu.

Secara umum, proses untuk membatik di kedua media itu sama, termasuk mengaplikasikan malam/lilin di atas media. Hanya saja pada batik kayu, karena bidangnya tidak rata, biasanya pembuatan dengan metode tulis saja, tidak ada cap. Setelah aplikasi malam, proses selanjutnya adalah pewarnaan. Proses aplikasi malam dan pewarnaan bisa berkali-kali jika warna yang diinginkan lebih dari satu. Namun dalam workshop ini proses yang dilakukan hanya satu kali.
Pada workshop batik kain, peserta mendapat kesempatan membatik dengan metode cap maupun tulis. Untuk metode cap, peserta memilih canting tembaga dengan motif yang mereka sukai (sudah tersedia di rumah produksi) dan mengaplikasikan malam dengan canting tersebut. Setelah mencap motif batik pada empat bagian sisi kain, peserta membuat batik tulis di bagian tengah kain. Untuk membuat batik tulis, peserta membuat outline motifnya terlebih dahulu barulah setelah itu mengaplikasikan malam sesuai outline yang sudah dibuat.



“Oh My God, the pattern that I made is too complicated,” ujar Isabelle, peserta asal Prancis. Pada proses membuat outline motif dengan pensil, ia memang terbilang perfeksionis dengan membuat motif yang cukup rumit. Ia kemudian baru menyadari bahwa akan cukup menantang saat membatik motif tersebut dengan malam.
Pada proses pewarnaan, peserta dibuat kagum oleh perubahan warna dari proses pencelupan pertama ke proses pengikatan warna sehingga muncul warna yang diinginkan.

“It’s like magic!” kata Season, peserta asal Amerika Serikat, saat melihat proses pewarnaan batik.
Dengan mencoba sendiri membuat batik, kita akan lebih menghargai selembar kain yang dibuat dengan penuh kesabaran, ketelitian, dan juga cita rasa seni. Kita pun menjadi paham mengapa kain yang dibuat dengan proses batik lebih mahal dibandingkan sekadar kain tekstil/printing bermotif batik.
Cerita lengkap mengenai prosesnya akan ditulis di artikel selanjutnya ya. 🙂
Penasaran sama membatik di kayunya Mbak. Kirain yang di kayu itu bukan dibuat dengan proses membatik ini. Makasih ilmunya ya Mbak 🙂
LikeLike
Aku pun baru tahu saat dua tahun lalu mampir ke daerah ini. Orang di sanggarnya cerita kalau Krebet memang pionir batik kayu. Awalnya mereka membuat kerajinan kayu seperti wayang dan topeng namun pewarnaannya dicat. Kemudian coba2 dibatik dan hasilnya bagus. 🙂
LikeLike
Keren bangettt! Aku juga mau coba doonk
LikeLike
Hehe.. Boleh mbaaak kapan2 kalau liburan ke Jogja ya, Mbak. 🙂
LikeLike
seru bangeeeet, aku mauuuu
eh kmren aku ke Jogja tp bentar banget….cuma nginep semalem hiks
LikeLike
Kabarin yaa kalau ke Jogja lagi. 🙂
LikeLike
meski berkali2 ke yogya, tapi aku belum pernah ngebatiiikkk sendirii…
ok, noted. dimasukin ke list to do. XD.
makasih sharingnya mbak.
LikeLike
Sama2. Kalau ke Jogja banyak yg bisa dikunjungi dan dilakukan. Rasanya nggak habis2. 😀
LikeLike
asyik banget membatik pakai kayu gitu. aku sukaa banget pakai batik, baru juga belajar jahitnya, eh masa mesti belajar membatiknya juga? hahay
LikeLike
Waaah aku jg pengen belajar jahit, mbak. Hehe..
Belajar batik seru kok, setidaknya jd kebayang prosesnya kalau pas pakai kain batik. 😉
LikeLike
Keren nih. Suka dengan dibatasi pesertanya, sehingga mendapatkan rasa puas puool. Ini juga karena pengajar yang mumpuni.
LikeLike