Movies, Review

Potret Perempuan dalam ‘Siti’

Setelah beberapa kali ketinggalan screening film Siti di Jogja, akhirnya saya sempat menonton di bioskop Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada akhir pekan lalu. Buat saya, Siti bukanlah film yang akan dilupakan begitu saja. Penokohannya kuat, konfliknya intens dan menguras emosi. Mungkin terlebih karena saya perempuan, selama menonton film ini saya jadi membayangkan kalau saya ada di posisi Siti. That’s tough.

Siti menceritakan kehidupan seorang perempuan bernama Siti (Sekar Sari) di pesisir Parangtritis, Yogyakarta. Ia tinggal dengan seorang suami, anak, dan mertua. Dalam kehidupan sehari-harinya, begitu banyak peran yang dijalani seorang Siti. Selain harus mengurus suami dan anaknya dan melakukan pekerjaan rumah, Siti juga berjualan peyek di Pantai Parangtritis. Itu saja belum cukup, untuk menambah penghasilan, ia bekerja di sebuah tempat karaoke pada malam hari. Semua dilakoni Siti terutama demi membayar utang suaminya, Bagus (Ibnu Widodo), yang kini terbaring lumpuh karena kecelakaan saat melaut.

Siti dengan sabar menyuapi suaminya, Bagus. (sumber: entertainment.kompas.com)
Siti dengan sabar menyuapi suaminya, Bagus. (sumber: entertainment.kompas.com)
Siti bersama anaknya, Bagas, di Pantai Parangtritis. (sumber: harnas.co)
Siti bersama anaknya, Bagas, di Pantai Parangtritis. (sumber: harnas.co)

Hidup Siti penuh dilema. Bermaksud bekerja untuk membantu meringankan beban suaminya, suami Siti kemudian mogok bicara karena tak setuju Siti bekerja di tempat karaoke. Namun memang tak banyak pilihan pekerjaan untuk Siti. Ia pun pastinya tak tahan dikejar-kejar penagih utang. Hal yang menyentuh adalah meskipun suami Siti mogok bicara, Siti tetap ikhlas merawat suaminya dan masih rajin bercerita ini-itu tentang hal-hal yang terjadi sehari-hari, seperti tentang anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo), yang baru dibelikan seragam baru, yang sulit disuruh mandi sebelum pergi ke sekolah, dan lainnya. Siti sesekali bercerita sambil tersenyum membayangkan tingkah polah Bagas yang terkadang menjengkelkan namun juga lucu. Semua cerita Siti itu tentunya hanya berbalas keheningan. Suaminya tetap bergeming.

Sebagai seorang perempuan, karakter Siti begitu kuat namun pada saat yang sama karakternya juga berubah-ubah. Banyaknya peran yang ia lakoni dalam kehidupan sehari-hari menuntut rasa keibuan di rumah namun juga pekerja tangguh di luar rumah. Ekspresi Siti pun bisa berubah dengan cepat. Di depan suaminya ia berusaha tetap mengabdi dan tegar, namun ia juga sebenarnya lelah dan rapuh. Dalam hal ini, Sekar Sari sebagai pemeran utama menurut saya mampu memerankan Siti dengan sangat baik. Tak heran jika Sekar meraih Best Performance for Silver Screen Award dalam Singapore International Film Festival 2014.

Film Siti tidak berusaha menunjukkan mana yang benar dan salah. Apakah Siti salah telah bekerja sebagai penghibur di tempat karaoke? Atau suaminya salah telah melakukan aksi mogok bicara kepada Siti dan keluarganya? Film ini memberikan ruang kepada kita untuk berpikir serta berefleksi mengenai berbagai pilihan dan konsekuensinya. Yang tak ketinggalan, Siti menjadi sebuah potret kehidupan masyakarat ekonomi kelas bawah dengan segala problemanya. Dan sebagai seorang perempuan dengan pendidikan yang tak terlalu tinggi, Siti tidak memiliki banyak ruang, pengetahuan, dan kesempatan untuk mengekspresikan diri dan memeroleh pekerjaan yang layak.

Bagi sebagian orang mungkin teknik pengambilan gambar selama film Siti dirasa tidak terlalu mulus. Akan tetapi kekuatan film ini membuat saya lebih fokus pada jalan cerita dan konfliknya. Ternyata teknik one shot one take yang selalu mengikuti subyek utama dalam satu adegan dimaksudkan untuk memberikan fokus pada tokoh Siti dengan segala kesibukannya sebagai istri, ibu, sekaligus pencari nafkah di keluarganya. Gambar hitam-putih kemudian juga dipilih untuk merepresentasikan hidup Siti yang tak berwarna.

Sebenarnya saya termasuk orang yang anti spoiler film. Tetapi bocoran sedikit, if you like happy-ending movies, Siti might not be for you. But really… this movie is worth watching. Akhir film yang mengambang meskipun terkadang membuat penonton berkomentar, “Udah.. gini doang?”, sebenarnya mewakili hidup yang tak selalu berakhir indah karena rintangan akan selalu hadir di depan sana.

siti 3

Mungkin merupakan sebuah sejarah baru ketika Siti bisa memenangkan gelar Film Terbaik pada Festival Film Indonesia 2015. Pasalnya film ini sebelumnya tidak tayang di bioskop Indonesia, tidak menampilkan aktris dan aktor yang sudah terkenal, dan ber-budget rendah. Barulah sejak 28 Januari 2016 lalu Siti tayang di beberapa bioskop di kota-kota besar di Indonesia.

Mari tonton dan apresiasi film karya anak bangsa. 🙂

1865143963390123180513

 

9 thoughts on “Potret Perempuan dalam ‘Siti’”

  1. Keren banget pastinya film ini. Membaca beberapa reviewnya jadi makin penasaran pengen nonton. Jadi penasaran juga, pemeran Siti apakah dari Jogja ya? Anak teater mungkin ya *haha nebak2 sendiri. Thanks reviewnya Icha.

    Like

    1. Iya, Mbak. Sekar itu Diajeng Jogja (semacam None kalau di Jakarta). Kebetulan aku kenal, dulu dia S1-nya kuliah di UGM juga. Hehe..
      Siapa tahu yaa ada screening filmnya di Den Haag. 😉

      Like

Leave a comment