Movies, Review

Nostalgia Lewat Negeri Van Oranje

Dari beberapa film Indonesia yang sedang tayang di bioskop pada awal tahun ini, saya memilih untuk menonton Negeri Van Oranje. Sejauh ini saya belum mendengar review luar biasa tentang film ini, namun saya semata-mata ingin bernostalgia akan masa-masa studi dan tinggal di Belanda. Film karya Endri Pelita ini diadaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis oleh  Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, dan Rizki Pandu Permana.

Novelnya sendiri sudah pernah saya baca pada awal 2011. Novel yang ringan, menghibur, dan disisipi informasi mengenai serba-serbi studi di Belanda serta budaya sehari-hari masyarakat Belanda. Dari buku inilah kali pertama saya mengetahui bahwa orang Belanda kalau cipika-cipiki itu tiga kali alih-alih dua kali seperti di Indonesia. Hehe… Saat membacanya, sama sekali tak ada pikiran saya kelak akan berkuliah di Belanda.

Ada yang membandingkan film ini dengan film 5 cm karena kemiripan tema dan tokoh-tokohnya, yaitu persahabatan empat laki-laki dan satu perempuan. Dari sisi cerita, karena saya sudah membaca novelnya, tentu saya sudah punya ekspektasi mengenai jalan ceritanya. Lintang (Tatjana Saphira), Geri (Chicco Jerikho), Wicak (Abimana Aryasatya), Banjar (Arifin Putra), dan Daus (Ge Pamungkas) adalah lima mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di beberapa kota berbeda di Belanda. Lintang berkuliah di Leiden, Geri di Den Haag, Wicak di Wageningen, Banjar di Rotterdam, sedangkan Daus di Utrecht (kalau ada satu tokoh tambahan: Icha di Groningen :p). Kelima sahabat itu dipertemukan ketika pada suatu hari mereka terdampar di Stasiun Amersfoort (iya banget… selain Zwolle, ini adalah stasiun transit langganan untuk perjalanan kereta lintas kota) saat terjadi cuaca buruk.

foto: bintang.com
foto: bintang.com

Somehow buat saya persahabatan mereka itu seperti fairytale. Meskipun perkenalannya singkat, mereka bisa langsung akrab dan dekat. Menyenangkan sekali memiliki sahabat-sahabat yang asik, lucu, perhatian, dan saling menguatkan. Di Belanda, kelimanya mengambil bidang studi yang berbeda. Lima orang ini pun mempunyai latar belakang dan karakter yang bermacam-macam. Kalau di novel, penggambaran masing-masing tokohnya cukup detail. Wicak misalnya, ia adalah aktivis lingkungan dan diceritakan bagaimana sepak terjangnya melawan pembalakan liar di Indonesia. Banjar yang berasal dari Kalimantan, meninggalkan kehidupan dan pekerjaannya yang nyaman dan bersekolah ke Belanda tanpa beasiswa. Di Belanda, ia harus membagi waktu antara belajar dan bekerja paruh waktu. Tentu ini karena keleluasaan bercerita pada karya fiksi versi tulisan. Pada versi filmnya, penggambaran latar belakang dan karakternya tetap ada. Walaupun tidak bisa dibilang detail, setidaknya penonton bisa menangkap cerita tentang masing-masing tokohnya.

Baca juga: Kapan Kawin?

Satu perempuan bersahabat dengan empat laki-laki. Apakah tidak ada yang saling jatuh cinta?

Bisa ditebak bahwa persahabatan ini kemudian berujung pada drama percintaan. Lintang yang saat itu baru putus dari kekasihnya yang orang Belanda, Jeroen, mulai merasakan perhatian yang lebih dari salah satu sahabatnya: Geri. Di antara keempat sahabatnya, Geri memang yang terlihat paling menunjukkan rasa sayang dan pedulinya kepada Lintang. Ketiga sahabat lainnya pun jelas bisa merasakan hal tersebut. Saat Lintang bersedih, ia menerima bunga tanpa ada identitas pengirimnya. Pasti ini Geri, pikir Lintang ge-er. Benarkah itu dari Geri? Hmm…

Dari segi cerita, dialog, dan pengambilan gambar, saya rasa film ini cukup baik. Sepanjang film, mata saya juga terhibur dengan pemandangan ala Belanda. Siapa sih yang tidak terpesona dengan keindahannya? Ada Rotterdam dengan modernitas dan arsitektur uniknya, Amsterdam dengan keramaian yang walaupun touristy  tetapi tetap memesona dengan kanal-kanalnya, Keukenhof dengan kecantikan tulipnya, dan lain sebagainya. Ditambah lagi kisah perjalanan mereka ke Praha, Ceko, sebelum mereka kembali ke Indonesia (saya agak lupa apakah di novelnya juga mereka berlibur ke Praha).

Namun entah mengapa saya kurang merasakan ada chemistry antar pemainnya. Lintang dan Jeroen yang merupakan sepasang kekasih terlihat kaku dan canggung. Selain itu, pada beberapa adegan yang bagi saya cukup intens, ekspresi Lintang kurang kuat dan terkesan datar. Pada saat sebuah rahasia tentang Geri terkuak, seharusnya itu bisa menjadi klimaks dari emosinya. Tetapi sayangnya hal itu dilewatkan begitu saja. Salah satu tokoh yang bisa mencairkan suasana menurut saya adalah Daus yang diperankan oleh Ge Pamungkas. Daus yang kocak juga membawakan dialog-dialog yang usil dan mengundang tawa.

Hal lain yang cukup mengganggu bagi saya adalah set rumah atau apartemen Lintang yang kelihatannya bukan diambil di Belanda. Meskipun pengambilan gambar dilakukan di Indonesia, misalnya, seharusnya penataannya bisa lebih baik lagi, dari mulai pemilihan furniture, penataan interior, dan lainnya. Apalagi Lintang adalah mahasiswa yang menyewa tempat tinggal bersama temannya. Agak janggal juga melihat tempat tinggalnya begitu besar dan layoutnya seperti rumah ala Indonesia. Selain itu, saya merasa janggal saat dengan mudahnya geng ini berkumpul di salah satu kota meskipun dengan pemberitahuan yang cukup singkat. Saat Lintang dan Geri ada masalah di Den Haag, tiba-tiba saja pada hari yang sama ketiga sahabat lainnya menyusul ke Den Haag. Memangnya sedang tidak ada tugas kuliah atau pekerjaan? Memangnya tidak ada agenda sebelumnya yang harus mereka selesaikan? *kzl* *life looks so easy*

Beberapa hal lain yang bisa ditambahkan agar film ini dapat lebih ciamik misalnya penggambaran yang lebih proporsional mengenai perjuangan bersekolah di luar negeri. Selain itu, penggunaan bahasa Belanda dalam kehidupan sehari-hari pun bisa menjadi nilai tambah. Dari kelimanya, hanya Gerilah yang paling sering menggunakan bahasa Belanda walaupun sedikit-sedikit, sekadar bilang alstublieft saat mempersilakan atau doei saat akan berpisah. Namun ada beberapa adegan saat mereka berinteraksi dengan warga lokal, misalnya saat berbelanja, yang tidak dimanfaatkan untuk memberikan kesan ke-Belandaan-nya. Hehe.. Atau mungkin tokohnya macam saya yang kalau sudah mentok dengan bahasa Belanda akhirnya beralih ke bahasa Inggris. *mungkin dia lelah*

Setelah menonton film ini, rating yang saya berikan adalah 3 – 3,5 bintang. Lumayan untuk hiburan dan cuci mata. Alurnya juga mengalir dan tidak membosankan. 🙂 Di situs IMDB malah nilainya 7,8/10. Siapa yang sudah nonton juga?

32 thoughts on “Nostalgia Lewat Negeri Van Oranje”

  1. Negeri van oranje adalah novel yg entah udah berapa kali saya baca ulang. Dan ga pernah bosan haaha…krn pgn banget bs ke belanda someday *amiin*.

    Pas baca bbrp review filmnya malah jadi takut kecewa nontonnya, jd sampe detik ini belum kepengen bgt nontonnya. Makasiy udah di review mbak icha 🙂

    Liked by 1 person

    1. Iyaa aku juga suka novelnya. Tapi cuma sekali sih bacanya.. soalnya dulu jg modal minjem doang haha..
      Memang kalau nonton film yg diadaptasi dari buku itu tantangannya adalah kita cenderung mebandingkan. Tapi kita bisa berusaha mengapresiasi buku dan film sesuai porsinya. 🙂

      Like

      1. Eh tp mba, itu beneran ya apartemenny jkt? Yaaahh gk seru dunk, secara aku suka banget liat rumah2 org sana, lucu aja sepedaan sambil liatin isi rumah orang *kepo* hahahaha

        Like

      2. Oooh.. sering liat kereta jurusan Gouda tapi blm pernah ke sana sih hehe..
        Yang apartemen Lintang itu cuma dugaanku aja. Soalnya kl rumah Belanda itu kan tipikal bgt yaa..jadi harusnya kelihatan kl itu rumah Belanda. Tapi kalo rumah yg lain, misalnya rumah si Geri, itu di Belanda sih..soalnya viewnya Scheveningen. Mewaaah.. 😀 *kalo gak salah itu emang rumah ortunya*

        Like

    1. Makasih, Sekar. 🙂 Hehe.. gambar yg di samping ini mah bukan tema blognya.. cuma featured image dari postingan ini aja say.. Yah lumayan lah bisa liat pemandangan yg cakep sama keseharian di Belanda. 😉

      Like

  2. Hai Kak Icha salam kenal 🙂 Aku juga sudah nonton film ini. Film ini alurnya emang sama sekali nggak boring dan pemandangannya memanjakan mata banget. Aku nonton karena pengen liat Belandanya aja sebenernya, sama sekali nggak baca bukunya. Tapi kalau pendapat aku pribadi, nggak ada yang total dari segala segi yang mau disampaikan oleh film ini, baik dari segi cinta-cintaan, persahabatan dan perkuliahan haha. Bagian perkuliahannya apalagi, perasaan mereka cuman jalan2 doang kerjaanya, tau-tau lulus aja si Lintang. Namanya juga film ya 😀

    Like

    1. Halo! Salam kenal, Elisa. 🙂
      Tadi ternyata komennya belum diapprove hehe..
      Iya bener, aku setuju kalau porsi perjuangan kuliahnya ditambahin hehe.. Biar orang gak mikir kuliah di luar negeri itu isinya jalan2 aja. 😀

      Like

    1. Sepakat banget, kakaaak.. 😀 Abis nonton ini masih kepikiran kira2 yg cocok jadi Lintangnya siapa yaa.. Hehe.. Sebenernya tokoh Geri nya jg aku kebayangnya bukan Chicco. Akting dia bagus sih..tp aku bayangin Geri itu bukan kayak dia. *lah terus kayak siapa ya*

      Like

  3. Salam kenal mba maiysa. Perkenalkan saya imar. Suka mampir di blog mba hehe.
    Jatuh cinta sama belanda waktu pertama kali baca novel ini. Suka bingits mbaa (sampe skrg hihi). Seneng bisa baca review film ini (belum smpt nonton). Berharap film akan mirip bgt dengan novelnya, hehee. Kalaupn gak, versi novelnya ttp dihati 🙂

    Like

  4. Minggu kemarin niatnya aku mau maraton nonton 3 film Indonesia. NVO, Bulan Terbelah di Langit Amerika dan Ngenest. Sayang Ngenest nggak tayang di bioskop tempat aku nonton. Jadilah nonton 2 film pertama yang ternyata filmnya Abimana semua hehe.

    Oke tentang NVO, untuk orang yang nggak baca bukunya *uhuk* aku sangaaat menikmati film ini. Gak pernah aku se-gregetan ini pingin ke NL hahaha, kayaknya kece banget NL itu ya lol. Tapi apa yang Cha tulis di ulasan ini aku sepakat, kayak kamarnya Lintang, kok ya kayak kamar rumah biasa. Membuyarkan bayanganku atas kamar mahasiswa yang selama ini aku lihat 😀

    Dan ya, Ge Pamungkas itu keren banget hwhwhw. Suka sama aktingnya. Dan si cewek itu mirip banget sama dedek Chelsea Islan, apalagi kalo dari samping ya hwhwhw

    Like

    1. Toss dong..suka sama Ge Pamungkas di film ini. Keren…
      Emang nggak jelek kok filmnya, cuma butuh improvement di berbagai sisi *lahhh* haha… Dari segi cerita sih ya tetep menghibur. Apalagi kalau blm baca bukunya kan mungkin gak nyangka kalau si Geri itu… (isilah titik-titik ini di dalam hati) *gak mau spoiler*
      Pas pertama lihat Lintang juga aku mikirnya dia mirip banget sama Chelsea. ^^

      Like

Leave a comment