Movies, Review

Married at First Sight?

Rasanya kita sudah tak asing ya dengan ungkapan love at the first sight atau cinta pada pandangan pertama. Tetapi bagaimana kalau menikah pada pandangan pertama?

Married at First Sight adalah nama program televisi yang saat ini sedang tayang di Lifetime Asia. Tayangan musim pertama yang ditayangkan adalah Married at First Sight Australia dan Married at First Sight US. Setelah pada awalnya saya tak sengaja menonton, saya jadi dibuat penasaran untuk menonton kelanjutannya. Acara ini sebenarnya bukan sekadar acara perjodohan melainkan merupakan eksperimen sosial (bahkan beberapa pihak menyebutnya extreme social experiment) dimana beberapa ahli di bidang Psikologi dan Hubungan menjodohkan beberapa pasangan untuk menikah berdasarkan kriteria yang telah mereka pelajari sebelumnya. Will it work?

24AB253A00000578-0-image-m-53_1421164714953
Jamie & Doug (kiri), Jason & Courtney (kanan), dua dari tiga pasangan Married at First Sight US S1 (foto: Daily Mail)
3924c748_main123.xxxlarge
Empat pasangan Married First Sight Australia S1 (foto: Popsugar)

Eksperimen dimulai dengan sebuah pernikahan. Ya PERNIKAHAN dimana kedua pasangan dipertemukan untuk kali pertama. Bisa dibayangkan dong bagaimana reaksi saat melihat calon suami atau istrinya? Ada yang gugup luar biasa, ada juga yang santai. Ada yang langsung terlihat akrab, ada juga yang bahkan tidak sanggup melihat wajah calon suaminya. Setelah menikah (fyi pernikahan ini ternyata hanya seremonial, bukan pernikahan di bawah hukum dan agama), proses selanjutnya adalah bulan madu dan tinggal bersama. Eksperimen ini berlangsung selama satu bulan dan setelah itu masing-masing pasangan akan memutuskan apakah mereka akan tetap bersama atau berpisah.

Saya tidak akan berdebat tentang menjadikan sebuah pernikahan sebagai ajang uji coba. Tentu saya meyakini bahwa pernikahan adalah sebuah janji yang suci yang dalam islam merupakan suatu bentuk ibadah. Jadi untuk saya pribadi, pernikahan bukan sesuatu percobaan yang bisa ditinggalkan begitu saja jika tidak suka. Namun yang menarik dalam Married at First Sight adalah melihat bagaimana setiap pasangan menghadapi fase baru dengan respon dan tindakan yang beragam. Melihat kasus-kasusnya, saya pikir ini sangat berhubungan dengan apa yang dihadapi pasangan saat baru menikah.

Tinggal di mana?

Setelah bulan madu, realita inilah yang dihadapi oleh para pasangan Married at First Sight: mereka akan tinggal di mana? Apakah tinggal di tempat suami, istri, atau pindah ke tempat tinggal yang benar-benar baru?

Bagi kita yang sebelumnya sudah mengenal calon suami atau istri, hal ini seharusnya sudah dibahas sebelum menikah ya. Betapa menantangnya jika hal sepenting ini harus diputuskan dalam waktu yang sebentar. Kompromi mengenai tempat tinggal mungkin akan lebih mudah jika orang yang kita nikahi sudah lama kita kenal. Namun ketika kita menikahi orang tak dikenal, bisa saja kan pikiran semacam ini muncul, “Gue baru kenal lo dan sekarang harus ikut pindah ke tempat lo?” Yah tahu sendiri kan pindahan rumah itu ribetnya seperti apa.

Masalah tinggal di mana ini memang cukup rumit karena biasanya berkaitan juga dengan pekerjaan. Ada pasangan yang istrinya yang harus pindah untuk ikut suami tinggal di suburb padahal ia bekerja di pusat kota Melbourne. Pada awalnya ia cukup frustasi karena ia kini harus menempuh perjalanan dengan kereta selama satu jam untuk pergi ke kantor. Terus saya jadi mikir, “Duh… itu mah udah biasa Neng buat orang Bekasi yang commuting ke Jakarta. Bahkan lebih dari satu jam lho biasanya kalau naik bis.” Hehe..

Saya sendiri mengalami harus pindah ke Jogja untuk ikut suami padahal sebelumnya saya bekerja di Jakarta *curhat*. Tetapi saya lebih suka menyebut ini sebagai suatu kompromi alih-alih pengorbanan. Jadi ya langkah selanjutnya dipikirkan dan dijalani bersama. Memang sih tidak mudah dan saya masih terus memantapkan diri sampai detik ini. Tetapi untuk LDR pun rasanya sudah cukup kenyang karena seminggu setelah menikah dulu saya langsung berpisah dengan suami demi melanjutkan studi. *nangis bombay*

Jadi, buat yang mau menikah, perihal mau tinggal di mana ini penting sekali untuk didiskusikan. Jangan sampai ada salah satu pihak yang kemudian merasa harus mengalah dengan terpaksa. Kalau karena beberapa hal akhirnya memutuskan untuk LDR dulu alias Long Distance Relationship, pastikan saja bahwa masing-masing siap dengan konsekuensinya. Yang penting tetap setia dan bisa saling percaya. *tsaaah* (baca juga: LDR Lintas Zaman)

Kompromi tentang pekerjaan dan waktu bersama

Setiap pekerjaan memiliki tuntutan yang berbeda-beda. Ada yang load-nya biasa saja, ada juga yang menuntut untuk sering lembur atau dinas ke luar kota. Dalam Married at First Sight US ada pasangan yang istrinya perawat sehingga ia memiliki waktu kerja yang tidak wajar. Saat ia mendapat shift malam, ia hampir tidak bisa bertemu dengan suaminya. Ia berangkat kerja saat suaminya belum pulang kantor dan di pagi hari saat ia baru pulang, suaminya sudah harus berangkat kerja.

Ada pula pasangan lainnya yang pekerjaannya berdasarkan shift mingguan. Oleh karenanya, ia dan istrinya kemudian menulis jadwal bekerja dan aktivitas masing-masing di time table dan melihat kapan saja mereka bisa bertemu dan mengalokasikan waktu untuk dihabiskan bersama. Quality time memang sangat berarti bagi setiap pasangan. Kalau diusahakan, ada jalan kok untuk bisa memanfaatkan waktu sesempit apapun. Dan yang terpenting: pengertian. 🙂

Bersosialisasi dengan teman

Meskipun kita sudah menikah, tidak berarti seluruh waktu kita harus dihabiskan dengan pasangan kan? Pada waktu tertentu, kita masih perlu lho pergi hangout dengan teman, sekadar makan siang bersama dan mengobrol, misalnya. It will be very refreshing. Selain itu, akan baik juga kalau pasangan bisa mengenal dan bergaul dengan teman-teman satu sama lain.

Meskipun kelihatannya bukan hal besar, namun pasangan yang memberikan usaha untuk mengenal dan akrab dengan teman kita menunjukkan dia peduli dan perhatian. Setidaknya itu yang saya rasakan selama ini. Suami saya bisa ikut mengobrol, makan, dan jalan bersama teman-teman saya. Kalau ada teman yang bertamu ke rumah pun ia tidak cuek dan bisa ikut mengobrol. Sebenarnya, bergaul dengan teman pasangan juga bisa kita lebih mengenal lingkungan pergaulan dan hal-hal apa yang disukai dan membuat pasangan kita nyaman.

Pentingnya ikut bergaul dengan teman pasangan ternyata cukup terbukti di salah satu episode Married at First Sight US. Sang suami menolak untuk ikut istrinya pergi bersama teman-temannya dan akhirnya mereka berdebat cukup panjang. Sebenarnya memang tidak harus selalu ikut ya, tetapi mungkin karena suaminya ini belum banyak kenal teman-temannya, sang istri ingin setidaknya suaminya tahu teman-teman dekatnya.

Mengerjakan pekerjaan rumah tangga

Berumah tangga tidak akan terpisah dari yang namanya mengerjakan perkerjaan domestik seperti membersihkan lantai, mencuci, dan sebagainya. Mungkin urusan selesai ya kalau punya asisten rumah tangga. Tetapi bagi yang mengerjakan sendiri, pembagian tugas ini harus jelas dan disepakati kedua belah pihak. Bagi saya dan suami, pekerjaan domestik adalah tanggung jawab bersama.

Michelle and James, salah satu pasangan favorit di Married at First Sight Australia S1 yang ternyata belum berjodoh.
Michelle and James, salah satu pasangan favorit di Married at First Sight Australia S1 yang ternyata belum berjodoh. 😦

Married at First Sight Australia Season 1 baru saja selesai tayang minggu lalu. Dan pada hari terakhir yang disebut Decision Day saya menebak-nebak kira-kira pasangan masa saja ya yang hubungannya terus berlanjut. Ditayangkan pula video mereka setelah tiga bulan kemudian. Kira-kira siapa ya yang masih bersama?

1865143963390123180513

12 thoughts on “Married at First Sight?”

  1. Aku nonton beberapa episode yang US. Kadang gregetan liat mereka :))
    Dan memang menarik, bagaimana mereka beradaptasi satu sama lain dan pada akhirnya harus memutuskan apakah akan tetap bersama atau membatalkan pernikahan 🙂

    Like

    1. Hehe.. Awalnya mikir gitu juga. Tapi aku mengamati kasus-kasusnya itu seru sih. 😀 Terus suka ada wejangan2 dari psikolog juga yg sangat relevan dgn kehidupan rumah tangga.
      Btw pernikahannya itu ternyata seremonial aja, bukan nikah secara hukum dan agama.

      Like

    1. Hehe.. Nggak tahu juga sih. Menurutku bakalan challenging kalau mau tayang di Indonesia dengan format acara seperti ini karena pasangan harus tinggal bareng. Akan banyak bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran dan agama di sini.

      Like

  2. aku ngikutin dan sedih waktu tau michelle dan james harus berpisah padahal dari awal mereka terlihat cocok sekali, ah tapi itulah kenyataan yang adem ayem aja belum tentu jodoh ya xixixi

    Like

Leave a comment