Indonesia, Traveling

Menyambangi Gili-gili di Lombok

Bercerita tentang Lombok rasanya kurang lengkap tanpa membicarakan gili (pulau kecil), pantai, dan keindahan bawah lautnya. Sebelumnya, saya sudah sering mendengar tentang Gili Trawangan, salah satu gili yang paling banyak dikunjungi turis serta paling banyak dinikmati pantainya. Namun pada kunjungan pertama ke saya ke Lombok, ternyata saya belum berkesempatan berjumpa dengan Gili Trawangan. Meskipun demikian, saya tak terlalu menyesal karena saya dan rombongan Travel Writers Gathering 2015 justru diajak menjelajahi gili-gili yang terbilang lebih sepi, bahkan serasa milik pribadi karena tidak ada turis lainnya di sana. 😀

Dari Mataram, kami bertolak menuju pelabuhan Tanjung Luar. Kalau dilihat di peta Pulau Lombok, maka kita akan menemukan pelabuhan ini terletak di bagian tenggara pulau. Kawasan Tanjung Luar juga merupakan pusat kesibukan untuk aktivitas jual beli ikan. Beragam hasil tangkapan laut ada di sana. Karena ikan-ikan yang dijual adalah hasil tangkapan laut langsung (belum melewati jalur distribusi yang panjang), maka harga jualnya pun cukup miring.

DSC00676
Pelabuhan Tanjung Luar
DSC00688
Keramba
DSC00691
“Hiduplah Indonesia Raya…”

Ditemani seorang pemandu lokal dan dua pemandu dari panitia, yaitu Pak Man dan Pak Hadi, kami memulai perjalanan dari Tanjung Luar. Di tengah laut, kami melintasi beberapa bangunan bambu yang ternyata merupakan keramba lobster. Terlihat sekelompok burung camar yang sedang bersantai di sana. Sebagian terlihat hendak terbang bertualang menikmati keindahan birunya laut Lombok. Selain keramba lobster, kami menemukan pemandangan unik di tengah laut. Bendera merah putih terlihat berkibar dengan gagahnya. Ternyata di sekeliling tiang bendera tersebut terhampar pasir putih yang menghubungkan dua pulau, yaitu Gili Maringkik dan Gili Kambing.  Hamparan pasir itu akan terlihat saat air sedang surut. Di sepanjang pasir itu terdapat pula jejeran tiang listrik sebagai sumber penerangan Gili Maringkik. Saat air tinggi, bagian bawah tiang listrik itu pun ikut terendam air laut.

Hari itu kami habiskan dengan island hopping dan snorkeling di beberapa spot menarik. Berikut cerita keseruannya.

Gili Sunut

Setelah beberapa lama di laut, kapal kami merapat di sebuah pulau tak berpenghuni. Kami begitu tak sabarnya ingin segera turun dari kapal dan bermain-main di pantai dan pasirnya yang putih. Dari kejauhan, saya melihat sisa-sisa bangunan yang menandakan dulunya area ini adalah area pemukiman. Saya dan beberapa teman berjalan ke sana, menyusuri pasir, bebatuan, dan ranting-ranting pohon yang mengering. Saya membayangkan bagaimanakah dulunya kehidupan di pulau ini? Begitu memasuki salah satu reruntuhan rumah, terbayang bahwa dulunya ada sebuah keluarga yang hidup dengan suka cita di sana. Temboknya masih kokoh di beberapa bagian, namun sudah tak berpintu dan berjendela.

Saya tidak memeroleh cerita yang pasti mengapa pulai ini kini tak lagi berpenghuni. Namun kebanyakan cerita menyebutkan bahwa penduduknya direlokasi dengan alasan sulitnya akses serta minimnya fasilitas umum di pulau ini. Entahlah.

Sisa waktu di Gili Sunut kami habiskan dengan menikmati keindahan pemandangan di sekelilingnya serta berfoto ria. Gradasi warna laut yang bertemu dengan biru langit rasanya takkan membuat saya bosan.

Pink Beach

Nama Pink Beach atau Pantai Pink tentu sudah familier di telinga kita. Ternyata Lombok memiliki banyak pantai dengan pasir berwarna merah muda, namun jika disebut Pantai Pink biasanya nama itu merujuk ke Pantai Tangsi. Warna pink pada pasirnya terbentuk karena butir-butir pasir aslinya yang berwarna putih bercampur dengan serpihan karang merah muda. Jadilah perpaduan itu memberikan warna pasir baru yang indah.

Siang itu kawasan Pantai Tangsi terlihat sepi. Warung-warung pun kebanyakan kosong tanpa penjual maupun pembeli. Sepinya aktivitas wisata di pantai ini tidak mengherankan karena Bandara Internasional Lombok baru saja dibuka kembali setelah ditutup selama seminggu lebih akibat aktivitas vulkanik Rinjani.  Mungkin dalam beberapa hari ke depan aktivitas di pantai ini baru akan kembali seperti semula.

Pak Man dan tim pemandu kami ternyata sudah menyiapkan bekal makan siang. Bekal itu diangkut dari kapal dan dibawa ke sebuah (mungkin satu-satunya) warung yang buka. Begitu perbekalan dibuka, rasanya lidah ini langsung menari-nari. Di atas meja sudah tersaji aneka menu boga bahari: ada sotong, ikan bakar, dan ikan kuah kuning. Kelezatan menu itu bertambah nikmat dengan kehadiran plecing kangkung khas Lombok yang rasanya menyegarkan.

Usai makan siang, kami berjalan-jalan ke bukit yang terletak tak jauh dari pantai. Ada beberapa rumah penduduk yang hidup sebagai nelayan dan juga beternak ayam dan kambing. Menikmati pantai pink dari ketinggian memberi kesan yang berbeda. Meresapi alam dalam diam selalu membuat saya begitu kecil dan mengagumi kebesaran Sang Pencipta.

Hujan sempat mampir di Pantai Tangsi siang itu. Kami yang sedang menikmati pemandangan dari bukit pun buru-buru mencari tempat berteduh. Syukurlah ada semacam saung kecil milik sepasang kakek dan nenek yang tinggal di sana. Sejenak kami duduk menanti hujan reda sementara sang kakek dan nenek menyantap makan siang dengan nikmat.  Keduanya pun menawari kami, namun kami hanya mengucapkan terima kasih karena kami sudah makan. Sepiring nasi dan lauk ikan laut nampak dinikmati dengan penuh syukur oleh keduanya.

Sebelum meninggalkan Pantai Tangsi, Pak Hadi mengajak kami menengok sebuah goa. Konon ini adalah goa yang dibangun oleh Jepang. Saat melihat goanya, sebenarnya saya enggan masuk. Dari luar sudah terlihat sampah plastik berserakan. Sayang sekali ya. Namun karena penasaran akhirnya saya masuk. Gelap dan pengap seketika menyeruak. Menurut Pak Hadi, warna pasir di dalam goa lebih bagus daripada pasir di luar sana. Saya sendiri tidak terlalu menyadari perbedaannya. Hehe.

 

Snorkeling

Ada dua lokasi snorkeling yang kami singgahi hari itu, yang pertama adalah Teluk Semangkok. Saat hendak menceburkan diri ke laut, saya baru tahu bahwa tidak ada fin atau kaki katak. Yah semoga saja arusnya tidak deras, pikir saya. Namun ternyata arus di Teluk Semangkok ini cukup kuat. Rasanya kok saya berenangnya nggak maju-maju ya. Huaaa… Tetapi lucunya ternyata tim pemandu membawa semacam rakit kecil. Satu orang duduk di atasnya sambil mendayung kemudian beberapa orang bergantian berpegangan ke bagian belakang rakit. Haha.. Singkat kata, kami mengambang sambil ditarik oleh rakit tersebut. Untuk sementara, kami pun tinggal berleha-leha menikmati kekayaan bawah laut Teluk Semangkok tanpa terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

Sebelum hari beranjak terlalu sore, kami menuju lokasi snorkeling selanjutnya yang bernama Gili Petelu. Di sini, kami bisa snorkeling dengan lebih santai karena arusnya terbilang tenang. Lautnya juga tidak terlalu dalam dan di beberapa titik bahkan sebenarnya kaki kami bisa menyentuh dasarnya. Pada kondisi seperti ini justru kita harus lebih berhati-hati agar kaki kita tidak mengenai dan merusak terumbu karang.

 

Menikmati Sunset

Masih ingat bendera merah putih yang terlihat saat kami baru berangkat dari Tanjung Luar? Pada sore hari menjelang matahari terbenam, kapal kami singgah ke sana dan kini kami seolah menemukan daratan yang hilang. Sore itu laut sudah kembali surut dan kami dapat berjalan-jalan di pasirnya yang putih. Di barat sana, matahari tenggelam untuk menyapa kembali keesokan harinya.

Terima kasih untuk hari yang menyenangkan, Lombok. 🙂

1865143963390123180513

7 thoughts on “Menyambangi Gili-gili di Lombok”

  1. Waah, ada yang punya foto underwaternya. Gak dibagi ih. Hehehe.

    Btw, Gili Kambing itu seringnya disebut Gili Bembek lho. Mungkin karena mengikuti suara kambing. Aku sih tetep Gili Kambing. Rasanya kok gak asik kalo Bembek gitu. Gak artikelable banget 🙂

    Like

Leave a comment