Indonesia, Traveling

Memeluk Kenangan dari Pergasingan

Sebelum berangkat ke Lombok untuk event Travel Writers Gathering 2015, jujur saja saya tidak sempat memelajari secara mendalam semua tujuan yang tertera di itinerary. Saya sempat berselancar di Google dan memasukkan beberapa kata kunci tujuan wisatanya, namun saya hanya melihat-lihat sekilas dalam pencarian foto, bukan artikel website. Salah satu tujuan yang menarik hati saya adalah Bukit Pergasingan. Foto yang muncul saat pencarian adalah foto-foto puncak bukit dengan pemandangan pedesaan, kebun, dan sawah yang ijo royo-royo. Ditambah lagi pemandangan pegunungan indah yang menjadi latarnya. Dalam itinerary tour disebutkan bahwa kami akan trekking ke bukit tersebut pada 14 November 2015.

Pada 13 November 2015, kami baru tiba di Sembalun sekitar pukul 11 malam. Sembalun adalah sebuah kecamatan di kabupaten Lombok Timur. Begitu keluar dari mobil, saya dapat merasakan udara dingin khas wilayah pegunungan. Wajar saja, desa-desa yang berada di Sembalun memiliki ketinggian antara 800 hingga 1.200 meter diatas permukaan laut. Malam itu Mas Teguh sebagai koordinator acara memberi arahan mengenai kegiatan trekking ke Pergasingan. Kami diminta berkumpul di ruang makan pada pukul 04.00. Saya melihat jam tangan dan tersadar bahwa kami hanya memiliki waktu beberapa jam untuk tidur dan mengumpulkan energi untuk mendaki.

***

Langkah-langkah kaki memecah keheningan pagi di gerbang kawasan Bukit Pergasingan. Tak lama setelah memulai perjalanan, kami berhadapan dengan tangga. Baiklah… tanjakan pertama. “Ini baru permulaan,” kata pemandu kami, Riyal. Tangga, tangga, dan tangga lagi. Cukup tinggi sepertinya. Beberapa saat kemudian barulah kami menapaki tanah berumput dan berbatu. Jalan pun semakin lama semakin menyempit dan terjal.

Kami belum sampai puncak ketika matahari mulai hadir malu-malu. Sambil terus menyusuri jalur pendakian, sesekali saya dan teman-teman seperjalanan berhenti untuk istirahat sekaligus menyapukan pandangan ke sekeliling bukit. Dari bukit, terlihat Sembalun yang baru bangun dan memulai geliat paginya. Rumah-rumah, petak-petak kebun, dan jalan terlihat semakin jauh dan kecil.

Untuk pagi sedingin itu, saya tidak punya cukup persiapan. Saya tidak membawa jaket tebal, alih-alih saya hanya memakai cardigan. Selain itu, saya juga tidak menduga bahwa medan pendakian di Pergasingan tak bisa dibilang santai dan main-main. Saya kala itu mengenakan sepatu jalan sehari-hari karena saya pikir ‘hanya’ trekking cantik lalala yeyeye.

Pemandangan yang menjadi penyemangat kala mendaki
Pemandangan yang menjadi penyemangat kala mendaki

Ternyata saya salah besar. Beberapa kali saat mendaki, saya dan teman-teman merasa agak kesulitan. Mungkin karena musim kemarau yang terlampau panjang tahun ini, tanah kering dan berbatu itu terasa makin menyulitkan. Setiap menanjak satu langkah, kaki kami merosot lagi diikuti kerikil yang berjatuhan. Mencari pijakan yang ajeg menjadi sebuah tantangan tersendiri. Ditambah lagi, di sepanjang jalur itu tak ada pepohonan di kanan-kiri untuk berpegangan. Syukurlah pada saat demikian Riyal sang pemandu membantu kami satu per satu dengan sabar.

“Masih bisa lah ya naiknya walaupun jalanya begini… Tapi nanti gimana turunnya ya?” saya masih cuap-cuap sambil terus berusaha mendaki. Beberapa teman mengemukakan kekhawatiran yang sama. Tetapi saat itu yang ada dalam benak kami adalah: naik dahulu saja, turunnya pikirkan nanti. Ditambah lagi dari kejauhan kami melihat sapi-sapi yang berkelana mencari makan di kaki bukit. Kami jadi tidak mau kalah dengan sapi-sapi itu. Menurut  info dari Riyal, sapi-sapi di Sembalun memang sering dilepas oleh pemiliknya. Mereka akan mencari makan dengan mandiri. Entah bagaimana naik dan turunnya, yang jelas saya lihat mereka makan dengan bahagia di ketinggian. *padahal hanya melihat dari jauh* :p

Dalam perjalanan, Riyal juga sempat bercerita mengenai asal nama Pergasingan. Konon nama itu disematkan karena dahulunya bukit ini menjadi tempat untuk pertandingan gasing oleh penduduk Sembalun. Eh, serius? Kami pun nyeletuk, “Mau main gasing usahanya lumayan juga ya kalau harus mendaki kayak gini.” Kami kemudian tertawa.

DSC00870
Sapi-sapi sedang bersantai sambil mencari makan (nge-zoom kamera sampai pol hehe)
Selamat pagi, matahari!
Selamat pagi, matahari!

Begitu selesai dengan jalur yang bisa dibilang paling sulit, kami hampir saja bahagia karena akhirnya sampai di puncak. HAMPIR BAHAGIA. Karena ternyata tempat kami berdiri bukanlah puncak. Kami menatap sebuah bukit di balik ranting-ranting pepohonan kering di punggung bukit yang kami pijak itu.

“Itu puncaknya, bukan di sini,” kata-kata Riyal seolah menampar saya dari euforia sesaat.

Hah, bagaimana bisa bukit dan puncak itu tidak terlihat dalam pendakian tadi? Kami tidak mengira bahwa di sanalah puncaknya. Terasa masih tinggi dan cukup jauh. Kami bisa saja puas dengan sampai di titik ini. Toh pemandangan sudah terlihat begitu cantik dari sini. Matahari yang tadinya malu-malu kini mulai terlihat jelas. Rasanya sudah sempurna.

Tetapi apakah sampai sini saja batas kemampuan dan tekad kami?

Kami diam-diam menjawabnya dengan kaki yang terus melangkah dan mendaki. Dan beginilah hadiah dari usaha kami untuk sampai di puncak Pergasingan, 1700 mdpl. Gunung Rinjani tampak menjadi latar utama beserta pemandangan desa di Sembalun yang menghijau. Setelah sebelumnya sempat terbatuk-batuk untuk beberapa saat, Rinjani kala itu sudah kembali beraktivitas normal. Tak ada abu dan asap sehingga pemandangan terlihat cerah. It was indeed a rewarding view. Alhamdulillah.

Pemandangan dari puncak
Pemandangan dari puncak
Full team di puncak (foto oleh Riyal)
Full team di puncak (foto oleh Riyal)
Numpang selfie dari puncak (foto oleh Zahra)
Wajah lelah yang telah terbayarkan oleh puncak Pergasingan (foto oleh Zahra)

***

Seperti sudah diduga, perjalanan turun dari puncak Pergasingan jauh lebih menantang daripada perjalanan mendaki. Baru kali ini saya merasa agak gentar saat turun gunung. Rasanya salah sedikit langkah saja akan berakibat fatal. Terkadang bisa berjalan, namun selebihnya saya seperti main perosotan namun dengan bonus terjun bebas ke dasar bukit jika tak hati-hati. Riyal mengingatkan agar mencari batu yang berada ajeg di tanah untuk pijakan dalam setiap langkahnya. Sama halnya dengan kaki, tangan pun senantiasa mencari sesuatu untuk berpegangan, sekecil apapun benda itu. Begitulah kesibukan saya dan teman-teman saat turun dari Pergasingan. Tentunya sambil dalam hati berdoa agar selamat sampai di bawah.

DSC00888
Hampir sampai di bawah namun harus melewati jalur ekstrim ini terlebih dahulu

Sementara kami bersusah payah untuk turun, kami berpapasan dengan beberapa orang porter yang memikul banyak beban di pundaknya. Mereka terlihat begitu cekatan dalam memilih jalur yang ditapaki. Jalannya tak melambat meski jalan semakin menanjak. Terlihat bahwa mereka sudah begitu akrab dengan jalur pendakian ini. Pada beberapa jalur yang sempit, porter terpaksa menanti beberapa saat agar kami bisa lewat dan kemudian mereka bergantian menapaki jalur tersebut. Pada raut wajah mereka tak terlihat ada keluhan. Mereka tersenyum sambil menyemangati kami dan berkata bahwa kami akan baik-baik saja.

Bagaimanapun… mendaki (dan turun) gunung itu selalu tentang mengenal diri sendiri. Sejauh apa kita bisa mendorong diri kita sampai batas yang kita mampu, sejauh apa kita bisa bersyukur, sejauh apa kita bisa bertoleransi dan saling menghargai dengan sesama pendaki. Dan satu pelajaran lagi yang saya petik dari perjalanan ke Pergasingan ini adalah pentingnya sadar dengan keadaan lingkungan sekitar (misalnya memerhatikan jalur) dan senantiasa mawas diri (fokus dan berhati-hati). Pelajaran ini sebenarnya bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memerhatikan sekitar, kita jadi tahu lingkungan dan orang-orang seperti apa yang kita hadapi. Kita kemudian belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan baru serta membawa diri kita dengan baik.

AgobHLJxMiKrCaF1PodIjHiCMlKAdA7ulYUMpeO_XwSK
Terima kasih Pergasingan untuk segala kenangannya. :”) (foto oleh Riyal)

Mungkin saya bukanlah anak gunung tetapi selama ini saya selalu menikmati kegiatan trekking dan mendaki. Ingatan saya melayang ke beberapa tahun silam – kalau tidak salah awal 2006 – saat kali pertama saya selesai membaca buku 5 cm karya Donny Dhirgantoro (yang kemudian difilmkan pada 2012). Entahlah apakah pada usia sekarang saya masih tetap mengidolakan buku itu. Hehe… Namun pada masanya (masa darah muda, darahnya para remaja :p) saya dibuai oleh cerita persahabatan anak muda, motivasi, indahnya mendaki, dan nasionalisme yang ditawarkan buku tersebut. Lewat buku itulah untuk kali pertama keinginan saya untuk mencoba mendaki muncul.

Yang kita butuhkan untuk sampai ke PUNCAK adalah…..

…Kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya

…Tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya

…Mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya

…Leher yang akan lebih sering melihat ke atas

…Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja

…Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya

…Serta mulut yang akan selalu berdoa…

(‘5 cm’ karya Donny Dhirgantoro)

Dan pagi itu, sesampainya di bawah, saya diliputi rasa syukur. Saya banyak berterima kasih kepada pemandu luar biasa dan teman-teman seperjalanan yang saling menguatkan.

Sampai kapanpun saya akan terus memeluk kenangan ini. Kenangan dari Pergasingan.

#twgathering2015 #holidayisLombokSumbawa

1865143963390123180513

 

26 thoughts on “Memeluk Kenangan dari Pergasingan”

    1. Iya, Mbak. Pada banyak situasi kita harus mengalahkan ego dan membuat keputusan bijak ya. Aku juga pernah naik gunung tapi nggak sampai puncak karena salah satu temanku sakit. Aku nggak menyesal karena itulah keputusan terbaik. 🙂 Yang penting dinikmati aja yang sudah dicapai ya hehe.. Rinjani dan Sembalun diliat dari mana-mana tetep cantik.

      Like

  1. Bener banget, lebih susah turunnya daripada pas naik. Aku sampe gemeteran pas turun. Dituntun si Riyal pas di bebatuan curam. Tanjakan Setan di Gede Pangrango jadi terkesan biasa. Hiks 😥

    Like

Leave a reply to maisya Cancel reply