Eurotrip, Traveling

Menyusuri Jejak VOC di Amsterdam (bagian 1)

DSC01447n

Sebuah replika kapal yang besar dan kokoh dengan bendera merah putih biru terlihat dari kejauhan. Perlahan tapi pasti, saya terus berjalan ke arahnya. Belakangan saya mengetahui bahwa itu adalah replika East Indiaman the Amsterdam, salah satu kapal kebangaan Belanda yang hilang pada pelayaran perdananya pada 1749. Pada musim semi yang masih terbilang dingin itu, saya masih sering memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaket. Saya tak sabar untuk segera masuk ke ruangan yang hangat. Yang saya tuju adalah Het Scheepvartmuseum atau Museum Maritim yang berlokasi di Kattenburgerplein 1, Amsterdam, Belanda. Di samping museum inilah kapal East Indiaman the Amsterdam tertambat.

***

Berkuliah di Belanda selama setahun pada 2013 – 2014 semakin menyadarkan saya bahwa dari segi luas wilayah, Belanda itu jauuuh lebih kecil dari Indonesia. Menurut CIA Factbook, luas wilayahnya adalah 41.543 km persegi dengan 33.893 km perseginya adalah daratan dan sisanya adalah perairan. Ini berarti bahwa luas daratan Belanda hanya sekitar seperempat luas pulau Jawa. Tak heran jika kita berkendara dengan kereta Nederlands Spoorwegen dari Groningen (kota di ujung utara Belanda) ke Maastricht (kota di ujung selatan Belanda), kita ‘hanya’ membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Sebagai informasi, kecepatan kereta NS dapat mencapai 150 km/jam (suami juga sempat mengonfirmasi hal ini menggunakan aplikasi android GPS Status).

Lalu, mengapa saya membahas soal luas wilayah Belanda?

Dahulu saya penasaran mengapa negara sekecil itu kok bisa-bisanya menjajah Indonesia. Bahkan pada abad-17 Belanda mengalami masa keemasan. Potret masa keemasan Belanda ini sangat mudah ditemui lewat lukisan-lukisan di berbagai museum di Belanda. Digambarkan bahwa pada masa itu kehidupan orang Belanda begitu makmur melalui lukisan rumah-rumah pedesaan yang indah dengan halaman yang luas, potret keluarga dengan pakaian yang glamor, still lifes berupa makanan mewah, dan lainnya.

Ah, tetapi kekuatan dan pengaruh suatu negara memang tak selalu berbanding lurus dengan luas wilayahnya kan?

Louis Fischer, seorang penulis asal Inggris, dalam bukunya yang berjudul The Story of Indonesia (1959) turut menjelaskan masa keemasan Belanda. Paragraf ini setidaknya cukup menjawab pertanyaan saya.

“How did Holland, with fewer than two million inhabitants, achieve this eminence and might? She had money. Shipping, shipbuilding and fishing constantly brought in profits much of which the thrifty Netherlanders saved and put at the disposal of Amsterdam bankers. Dutch ship-wrights had commenced, in 1594, to construct a 300-ton monarchs of the seas. Textiles flowed from Holland’s factories and food from her farms. Her artisans were masters, her army good and brave, her seamen daring.” (page 7)

Dengan kekayaan itulah Belanda melalui persatuan usaha bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) memulai penjelajahan ke belahan bumi Asia. Spanyol dan Portugis (sekarang Portugal) sebelumnya sudah terlebih dahulu menjejakkan kaki di Maluku dan bersaing dalam perdagangan rempah-rempah. Pada 1529, keduanya bersepakat mengenai pembagian teritori, yaitu Portugis mendapatkan Maluku, sedangkan Spanyol dapat menguasai Filipina.

Pada saat itu, rempah-rempah merupakan komoditas yang sangat dicari dan menjadi rebutan. Dengan kapal-kapal pada zamannya yang tidak terlalu besar dan berkecepatan rendah, pedagang pemilik kapal menginginkan komoditas yang mudah dibawa namun bernilai jual tinggi. Rempah-rempah menjadi jawabannya karena awet (pada masa itu belum ada mesin pendingin maupun penghangat makanan), memakan sedikit ruang, namun memberikan keuntungan yang besar. Rempah-rempah penting untuk kesehatan dan juga menjadi bahan yang menambahkan cita rasa pada masakan Eropa yang dirasa cenderung monoton.

Monopoli Portugis di Maluku berakhir saat Spanyol merebut kekuasaan dari Portugis pada 1580. Pada saat yang sama, sebagian wilayah Belanda juga berada di bawah kekuasaan Spanyol. Namun, delapan tahun kemudian Spanyol dikalahkan Inggris dan hal ini menjadi kesempatan yang baik bagi Belanda untuk melakukan pelayaran ke negeri rempah-rempah.

(bersambung)

10 thoughts on “Menyusuri Jejak VOC di Amsterdam (bagian 1)”

  1. Baca postingan ini langsung kepikiran pertanyaan temen kemaren, gimana kalau misalkan uang tidak pernah ada. Hihihi. Apakah Belanda akan tetap bisa berkuasa selama 350 tahun seperti sebelumnya? 😛
    Luar biasa berarti kemakmuran Belanda jaman itu ya Mbak sampai bisa extend kekuasaan ke Indonesia dan berkuasa selama itu.

    Like

    1. Saat uang belum ada, perdagangan udah ada kan dengan cara barter. Hehe.. Tetapi memang adanya uang mempermudah dan memperluas lingkup transaksi perdagangan.
      Tentang kekuasaan Belanda selama 3,5 abad itu sebenarnya ada naik dan turunnya juga. Selama sekitar 3 tahun Indonesia pernah berada di bawah Inggris melalui pimpinan Raffles. Kemudian Belanda juga sempat dibuat ketar-ketir oleh berbagai perlawanan dan perang dari masyarakat lokal. Salah satunya Perang Diponegoro yang menguras keuangan dan sumber daya manusia Belanda karena pada saat itu mereka sampai harus ‘mengimpor’ lebih banyak tentara dari negaranya demi memberantas perlawanan Diponegoro dan massanya.

      Liked by 1 person

  2. entah kenapa baru sekarang ini tertarik menelusuri sejarah yang dulu2 pernah dipelajari di sekolah. Padahal dulu males banget kalo disuruh belajar sejarah hihihi

    Like

    1. Iya, Dita.. Bisa jadi karena pas kita sekolah dulu pelajaran ini kurang disampaikan dengan menarik ya. Yang ada capek menghapal nama, tempat, tanggal.. sampe mabok Hahaha…
      Jadi inget pas SD dulu belajar dan ngisi ulangan sejarah tanpa tahu rempah-rempah tuh apa aja (dulu cuma tahu cengeh sama pala), terus buat apa… Dan bodohnya lagi nemuin kata ‘sekutu’ tapi nggak ngerti maksudnya. Gurunya nggak jelasin dan akunya mungkin terlalu malas atau takut bertanya. Inget banget ada kalimat ” NICA membonceng tentara sekutu” dan aku mikirnya itu kayak naik ojek… 😀

      Like

      1. x))))) iya beneeer dulu tuhh kayaknya cuma sekedar menghapal tanpa paham maknanya, jadi gak ada yang nempel sama sekali nih sekarang 😦

        Like

  3. Chaaa ayo nulis buku. Andai buku sejarah ditulis semenarik ini ya haha. Sebagai pecinta museum aku penasaran sama isi museum maritimnya. Ditunggu tulisan selanjutnya ya.

    Like

Leave a comment