
Ekspektasi dan realita memang tak selalu sejalan ya.
Sebelum dilempar pertanyaan, “Mana candinya?” baiklah saya beri tahu. Candi Abang berada di antara gundukan tanah yang sekarang sudah menjadi bukit seperti terlihat pada gambar. Bagi yang paham bahasa Jawa pasti sudah tahu bahwa ‘abang’ berarti merah (bukan abang – adek ya :p). Ya, candi yang terletak di kecamatan Berbah, Sleman, ini memang unik karena konstruksinya menggunakan bata merah alih-alih batu andesit seperti kebanyakan candi hindu yang ditemukan di Jawa. Karena kontur bukitnya ini Candi Abang juga dikenal dengan sebutan Bukit Teletubbies. 😀
Foto di atas setidaknya menggambarkan perbedaan kondisi Candi Abang pada musim hujan dan musim kemarau. Foto atas hanya hasil suntingan hehe… Saya dan Chendra mencoba membayangkan indah dan segarnya suasana sekitar Candi Abang jika tidak sedang musim kemarau berkepanjangan seperti saat ini. Akhir pekan lalu, saat kami ke sana kami lupa memperhitungkan bahwa pada musim seperti ini Candi Abang akan kering dan gersang.
Namun saya seringkali merasa bahwa perjalanan bukan melulu soal tujuan. Bukan melulu soal indah atau tidaknya tempat yang kita kunjungi. Bisa jadi pikiran tersebut sekadar upaya untuk menghibur diri. Tetapi banyak juga pengalaman yang akhirnya membuat saya belajar untuk menikmati dan meresapi proses perjalanan itu sendiri.
Sejujurnya belakangan ini saya rindu melakukan perjalanan. Saat melihat quote bertuliskan, “When was the last time you did something for the first time?” saya tiba-tiba rindu aroma petualangan dan segala misteri yang mengiringinya. Iya, saya suka misteri tentang jam berapakah kereta datang, apakah keberangkatan pesawat saya akan ditunda, siapa orang yang saya temui di perjalanan, makanan apa yang memberikan kejutan baru lidah saya, apakah supir taksi ini orang baik, ke manakah arah menuju pusat kota, dan lainnya. Perjalanan membuat saya harus berpikir dan mengambil keputusan di luar kebiasaan sehari-hari dan itu terasa menantang dan menyenangkan.
Setelah saya pikir-pikir lagi, sejak kepulangan saya ke Indonesia tahun lalu, saya tidak banyak melakukan perjalanan jauh. Hanya sekali road trip ke Malang menjenguk adik saya (Oktober 2014) dan berlayar ke Pulau Bawean demi silaturahim dan bernostalgia dengan keluarga besar di sana (Maret 2015). Dua-duanya ditemani suami. Saya pun berpikir, “kapan ya bisa jalan-jalan jauh lagi?”
Kebetulan pagi tadi saat membuka aplikasi Facebook, saya diajak bernostalgia lewat fitur ‘memories’ dan membaca catatan saya yang berjudul Catatan 5676 kilometer (kebetulan ada di blog ini juga). Catatan itu membawa saya ke salah satu perjalanan yang akan selalu saya kenang :). Tentu saya menantikan perjalanan seru lainnya, namun sebagai keluarga kecil yang baru settling down, ada prioritas yang harus kami pertimbangkan. Ada saja keperluan seperti mengecat ulang tembok yang lembap, memasang kanopi, memasang kasa nyamuk, dan segala kerempongan sederhana lainnya. Haha.. Sederhana tapi rempong. Yasudah, ditunda dulu jalan-jalan jauhnya ya.


Pada akhirnya, ketika matahari mengucapkan perpisahan di barat sana, saya yang sore itu berdiri di puncak Candi Abang diliputi rasa kagum dan syukur kepada Sang Pencipta. Mungkin banyak karunianya yang terlewat untuk kita syukuri dalam keseharian. We take many things for granted. Udara dan langit yang cerah, misalnya, yang setiap hari kita nikmati dan kita anggap wajar. Saudara-saudara kita di Sumatera dan Kalimantan mungkin sudah lama tidak melihat matahari tenggelam seindah ini. Pun saudara di negara tetangga sana. Ah, tak usah muluk, bisa melihat dengan jarak pandang normal saja menjadi hal mewah.
Pada akhirnya, ketika matahari tenggelam di barat sana, saya meresapi bahwa meskipun realita tak selalu sesuai dengan ekspektasi, masih ada ruang-ruang kosong yang harus diisi dengan syukur. Dan tentu saja: doa dan ikhtiar. Pada titik itu, (semoga) kita tak lagi gersang.
Aku dulu sewaktu masih sering bisnis trip suka deg2an siapa gerangan orang yang duduk disebelahku pas di pesawat. Dan selalu berharap kalau lelaki, semoga dia jodohku haha beneran itu harapan selalu kuucapkan.
Benar, semua kembali ke prioritas. Banyak juga yang bertanya ke aku, kenapa kok ga banyak melakukan perjalanan padahal sudah tinggal di Belanda yang kalau mau kemana2 negara dieropa ga terlalu jauh. Kembali lagi, kami masih ada prioritas lainnya yang musti diselesaikan sebelum jalan2 🙂
Foto2nya bagus Icha.
LikeLike
Iya sama haha. Suka ngarep aja dpt jodoh di pesawat/kereta. Sampai umur segini, gak ada! 😀
LikeLike
Kayak cerita di film2 gitu dong yaaa.. Hehehe… 😀
LikeLike
Iya, Mbak. Prioritas kita belum tentu sama dengan orang lain. Sama halnya kita juga gak perlu menilai orang yang jalan2 terus itu boros. Kita juga gak tahu isi dompetnya dan kebutuhannya apa kan. Hihihi…
LikeLike
Postingannya bikin mikir juga kapan terakhir saya jalan-jalan jauh ya. Fotonya Bagus-bagus Mbak Icha. 🙂
LikeLike
Hehee.. Makasih Mas Dani. 😀
LikeLike
Yang jadi pertanyaan, apa benar dalam gundukan bukit tanah itu ada sebuah candi? hmm penasaran
LikeLike
Kalau dilihat langsung memang masih ada sisa-sisa batunya. Tetapi sudah tidak terlihat lagi bentuk candinya secara utuh.
LikeLike
mbak, tulisan mu mengingatkan ku akan tulisan Windy Ariestanty, seorang travel writer yang tulisannya ‘dalam’ 🙂 , suka deh..
Salam kenal ^ ^
LikeLike
Halo Mbak Ayu! Salam kenal ya. Makasih udah mampir. Nanti aku kunjungi blog Mbak Ayu juga ya. Oh iya.. pernah baca juga bukunya Windy. Hehe..
LikeLike