Indonesia, Traveling

Pulang (ke Bawean)

Sambutan hangat di SDN 4 Telukjatidawang
Sambutan hangat di SDN 4 Telukjatidawang, 2015 (foto: Chendra)


Aku doakan agar Ibu sampai ke Jakarta dan semoga tidak ada rintangan. Aku senang punya Ibu seperti Ibu Icha. Saya tidak akan melupakan Ibu sampai kapanpun. Dan saya menyimpan foto ibu baik-baik sampai saya tua biar saya ingat terus sama Ibu. Dan saya akan mencari Ibu kalau saya tua.

(Surat perpisahan dari Umi Kulsum, 2012)

***

Juni 2012

Acara perpisahan di SDN 4 Telukjatidawang, Tambak, Bawean, diadakan lebih cepat dari biasanya. Alasannya, warga takut saya keburu pulang, padahal tanggal kepulangan saya dijadwalkan masih beberapa hari lagi, setelah pembagian rapot. Meskipun persiapan perpisahan jadi terburu-buru, saya bisa tersenyum senang saat tim paduan suara tampil dengan kompak, tim kercengan (hadrah ala Bawean) tampil dengan baik, begitu pula puisi dan drama Si Pitung yang dilakoni murid kelas 5 dan 6. Seluruh murid yang berpartisipasi hari itu memberikan penampilan terbaiknya pada acara akhir tahun ajaran.

Setahun ternyata tak lama. Rasanya baru kemarin saya dan lima rekan Pengajar Muda lainnya berangkat untuk kali pertama menuju Bawean, tempat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Akhir tahun ajaran 2012 itu, saya pulang tak hanya membawa ransel dan kardus yang berat berisi oleh-oleh dari warga Dusun Pinang Gunung. Lebih dari itu, saya membawa banyak kenangan dan pelajaran, susunan fragmen suka dan sedih, jatuh dan bangun, serta semua yang dilalui selama setahun yang begitu luar biasa itu.

Mengantar ke Pelabuhan Sangkapura
Mengantar ke Pelabuhan Sangkapura

Suatu hari di akhir Juni 2012, sebuah mobil pick up sesak dipenuhi oleh warga Dusun Pinang Gunung yang mengantar saya ke Pelabuhan Sangkapura, Bawean. Di belakangnya ada beberapa motor yang menyusul karena tak kebagian tempat di mobil. Sewaktu saya mencium tangan Bapak (bapak angkat saya) untuk berpamitan, ada desir haru yang datang. Namun saya tidak menangis, begitu juga Bapak. Saya dengan susah payah menahan air mata, namun tak lama terlihat Bapak menyeka butiran kecil di sudut matanya. Selanjutnya saat saya memeluk Ibu, sudahlah…perasaan ini pun tak bisa berbohong lagi. Air mata ini jujur. Air mata ini bukti kasih sayang yang setahun ini tak pernah diucapkan. Air mata ini bukti cinta yang setahun ini semata-mata saya rasakan lewat kebaikannya.

Saya berjalan menuju kapal setelah sebelumnya juga bersalaman dan berpelukan erat dengan murid-murid yang mengantar. Mereka yang terkadang lucu, terkadang mengejutkan saya dengan tingkah polahnya, terkadang membuat saya geleng-geleng kepala, namun setiap perkembangan dan perubahan kecil dari mereka tak bosan membuat saya bangga. Entah kapan saya akan kembali lagi.

***

April 2015

Kake, Bu? Ongghu?” (“Ini Ibu? Benar-benar Ibu?”) Koma duduk di samping saya sambil menatap saya lekat seolah tak percaya akan siapa yang dilihatnya sore itu. “Ongghu,” jawab saya mengiyakan. Tak lama kami berdua tertawa.

Setelah hampir tiga tahun, saya baru bertemu lagi dengan Koma. Seharusnya saat ini ia sudah kelas 3 SMP/MTs, namun sayang ia tak melanjutkan sekolah (baca: Tentang Koma). Saya juga bertemu lagi dengan Umi Kulsum, murid periang dan rajin yang saat kedatangan saya sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian nasional.

Alhamdulillah bulan lalu saya dan Chendra berkesempatan berkunjung ke Bawean, momen yang sudah saya tunggu-tunggu selama tiga tahun belakangan. Kami menghabiskan lima hari empat malam di sana. Dalam kunjugan kali ini, bisa dibilang tak banyak tempat wisata yang kami kunjungi karena tujuan utamanya memang silaturahim. Awalnya saya terlalu ‘optimis’ dalam membuat jadwal. Pada hari pertama tiba di Bawean, kapal Express Bahari merapat sekitar pukul 12 siang. Saya pikir hari itu saya bisa bersilaturahim ke dua rumah kerabat di Sangkapura, kemudian sorenya berburu matahari tenggelam di Selayar dan malamnya istirahat.

Oh saya lupa… ini Bawean. Tuan rumah selalu ingin menjamu tamu sebaik mungkin. Tak hanya disuguhi makanan yang melimpah ruah, tamu pun ditawari beristirahat, tidur-tiduran barang sebentar, dan mandi atau sekadar membersihkan diri setelah melalui perjalanan jauh. Sampai sore itu, kami baru mengunjungi satu rumah saja. Ya, di sini kami tak bisa terburu-buru. Apalagi untuk urusan silaturahim dan melepas rindu.

Begitu pula ketika kami esok harinya tiba di Dusun Pinang Gunung, tempat tinggal dan tempat mengajar saya selama 2011 – 2012. Setelah melepas rindu dengan Bapak, Ibu, dan dua adik angkat saya, kami sibuk berkunjung ke rumah-rumah tetangga untuk bersilaturahim. Sambutan hangat itu tak hanya di rumah-rumah, namun juga di sekolah. Kepala sekolah dan guru-guru beramai-ramai menyiapkan ikan bakar untuk disantap bersama saat jam istirahat.

Kunjungan ke Bawean pun tentu menjadi momen pertemuan kembali dengan anak-anak. Mereka yang dahulu adalah murid kelas 5 dan 6, kini sudah tumbuh remaja. Sungguh menyenangkan mengobrol dengan mereka, mendengarkan cerita mereka tentang sekolah, tentang kehidupan sehari-hari, dan lainnya. Beberapa hal berubah, beberapa tetap sama. Kami sama-sama bertumbuh seiring waktu. Kami sama-sama belajar dari kehidupan dan pengalaman. Seringkali saya ingin mereka selalu ada di dekat saya, saya pun selalu berharap mereka semua bisa terus bersekolah dan mencapai cita-cita yang mereka impikan. Tetapi — sebagaimana kita tahu — garis hidup tak selalu selurus yang diharapkan.

Berfoto di sekolah
Berfoto di sekolah (foto: Chendra)

Saat berkunjung ke sekolah, seolah di hadapan saya ada rekaman video yang menampilkan hari-hari selama saya mengajar di sana. Sekolah berdinding kayu, sampai kemudian ada lokal kelas baru yang dibangun. Di sana juga ada rekaman tentang Arif yang sering terbalik memakai sandal, saat anak-anak bermain bola dan memanjat pohon di depan sekolah, saat murid-murid melaksanakan upacara untuk kali pertama, dan lainnya.

Keriuhan anak-anak tiba-tiba membuyarkan nostalgia saya. Selain anak-anak yang sudah mengenal saya sebelumnya, anak-anak yang masih kelas rendah pun menyapa dan mengajak bermain. Meskipun saya tak pernah mengajar anak-anak yang kini duduk di kelas 1 s.d. 3 (mereka dulu masih balita dan usia prasekolah), mereka dengan riang menyambut saya dan Chendra, menyambut seperti bertemu kawan lama.

It feels like home.

Kalau direnungkan lagi, ke Bawean itu bukan sekadar berkunjung. Ke Bawean adalah Pulang.

Ps. Terima kasih untuk suami tersayang, Chendra, yang setia menemani perjalanan pulang ke Bawean, menikmati birunya laut, hijaunya sawah dan pegunungan, serta siap siaga di jalanan berkelok dan tebing curam. Kami bersyukur selama di Bawean banyak sekali dibantu oleh Tuti, Pengajar Muda yang kini melanjutkan tugas di SDN 4 Telukjatidawang. Pak Nur, kepala sekolah SDN 4 Telukjatidawang juga memfasilitasi kami dengan motornya sehingga memudahkan segala aktivitas selama di sana. Terima kasih banyak. 🙂

1865143963390123180513

19 thoughts on “Pulang (ke Bawean)”

    1. Nostalgic banget mbak..rasanya setiap sudutnya punya cerita dan kenangan hehe.. Kalau utk wisata sebenernya juga banyak. Cuman kemarin nggak sempat banyak jalan2. 😀

      Like

  1. pasti meluap2 ya mba rasanya

    aku juga pernah merasakan perpisahan yang sangat mengharukan pada bukan keluarga..
    tapi mba icha penyambutannya luar biasa, apalagi menyempatkan diri kembali ke tempat yang jauh

    Like

    1. Iya.. 🙂
      Sekarang ke Bawean relatif lebih mudah sih karena ada kapal setiap hari. Dulu karena gak tiap hari jadi kadang susah ngepasin waktunya. Hehe..

      Like

    1. Iya, betul. Ini adalah perjalanan yang penuh dengan nostalgia. Dan memang ada deg-degannya, kepikiran aja nanti anak-anak gimana yaa ekspresinya pas ketemu lagi. 😀

      Like

    1. Tak ada yang bisa kusangkal dari komentarmu. Semuanya benar. 🙂
      Semoga ada rezeki untuk ke sana lagi. Insya Allah.
      Terima kasih ya sudah berkunjung ke blogku. Hehe..

      Like

Leave a comment