Eurotrip, Traveling

Granada (3): Mengagumi Alhambra

Beranjak dari kawasan Albaicin, seharian itu kami habiskan di komplek Alhambra. Alhambra berasal dari kata ‘Alhamra’ (الْحَمْرَاء) yang dalam bahasa Arab berarti ‘yang berwarna merah’. Penamaan ini dikarenakan bangunannya banyak dihiasi ubin, bata, dan keramik berwarna kemerahan. Di dalam komplek Alhambra terdapat istana (Nasrid Palace), benteng (Alcazaba), dan taman yang dikenal dengan nama Generalife. Komplek yang masih bertahan hingga saat ini dibangun untuk Emir Muslim yang terakhir di Spanyol dari Dinasti Nasrid. Jika kita menelusuri komplek ini, akan terasa bahwa berbagai bangunan yang ada di dalamnya seolah berdiri sendiri-sendiri. Hal ini wajar karena pada awal dibangunnya tidak ada grand design secara keseluruhan melainkan dibangun secara bertahap melewati berbagai rezim kekuasaan.

IMG_1233
Patio de la Acequia (Seluruh foto: dokumentasi Chendra)

Saya dan Chendra mengunjungi Alhambra pada musim panas ketika jumlah pengunjung pasti melonjak dibandingkan musim lainnya. Satu hal yang lupa kami antisipasi adalah membeli tiket secara online dari jauh-jauh hari. Pada H-5, kami baru berselancar untuk membeli tiket online dan ternyata untuk tiket dengan akses penuh yang meliputi Generalife, Alcazaba, dan Nasrid Palace, semuanya sudah habis terjual, baik untuk jadwal masuk pagi dan siang. Sebagai informasi, waktu kunjungan ke Alhambra dibagi ke dalam beberapa sesi agar tidak terjadi penumpukan pengunjung. Jumlah pengunjung tiap sesinya pun dibatasi, maka wajar jika sampai kehabisan tiket. Untuk akses khusus ke Nasrid Palace, ada pula tur pada malam hari. Namun, tiket itu pun sudah tidak tersedia lagi. Oleh karenanya, pada musim liburan sangat tidak disarankan membeli tiket on the spot karena hampir bisa dipastikan sudah habis.

Agotado. Salah satu kata dalam Bahasa Spanyol yang mungkin selamanya akan kami ingat, artinya adalah habis (terjual). Dengan sisa-sisa harapan, kami melihat alternatif lainnya melalui internet, yaitu tiket untuk Generalife dan Alcazaba saja. Tinggal tiga tiket saja! Buru-buru kami membeli dan melakukan pembayaran dengan kartu debit. Syukurlah masih dapat terbeli. Saya membayangkan akan sayang sekali jika ke Granada tanpa mengunjungi Alhambra yang tersohor itu.

Begitu kami benar-benar berada di komplek Alhambra, barulah kami menyadari betapa besar komplek tersebut. Pertama-tama, kami memasuki Generalife yang konon merupakan taman tempat beristirahatnya para raja dari rutinitas urusan pemerintahan. Ada beberapa versi mengenai asal nama Generalife, salah satunya dan yang menurut saya paling relevan adalah berarti Taman Arsitek (berasal dari bahasa Arab الْعَرِيف‎ جَنَّة Jannat al-‘Arīf).

Lagi-lagi, tidak ada yang mengetahui dengan jelas bagaimana desain awal taman ini karena seiring dengan waktu terus diperbarui, terutama pada periode kekuasaan Kristen. Komplek taman yang ada saat ini secara umum terbagi menjadi dua bagian dan dihubungkan oleh Patio de la Acequia (Water-Garden Courtyard). Disebut demikian karena pada bagian ini terdapat gedung dan teras yang dihiasi kolam dan air mancur. Cukup menyejukkan di tengah siang hari yang sangat panas saat itu.

Dari luar, tampilan eksterior bangunan yang ada di Generalife terlihat sederhana. Alih-alih terasa sebagai bagian dari sebuah istana, bangunan-bangunan itu nampak seperti gedung biasa. Namun tampak dalamnya, bangunan ini tetap dihiasi berbagai ukiran dan ornamen yang detail dan indah. Temboknya dipenuhi ukiran geometri yang teliti serta kaligrafi Arab. Di teras-terasnya juga terdapat pilar-pilar yang diapit oleh lengkungan (arch) khas bangunan Arab.

Sama seperti di kota-kota lain di Andalusia, di Granada juga terdapat benteng yang disebut Alcazaba. Di antara banyak bangunan di komplek Alhambra, benteng inilah yang merupakan bangunan tertua. Sebagaimana benteng pada umumnya, desain dan warnanya tidak terlalu mencolok dan cenderung monoton. Yang mungkin menjadi pusat perhatian adalah menaranya yang bernama Torre de la Vela. Saat pemerintahan Katolik mengambil alih Granada dari pemerintahan Islam, mereka membawa sebuah lonceng besar yang bernama ‘La Vela’ sebagai tanda kemenangan. Menurut salah satu sumber, lonceng ini kemudian juga digunakan sebagai pengingat waktu menyirami ladang dan tanda peringatan bagi warga Granada saat ada bahaya.

Menaiki anak tangga menuju menara ini perlu kekuatan ekstra. Apalagi setelah beberapa jam terus berjalan kaki semenjak masuk Generalife. Rasanya harus mengumpulkan sisa-sisa kekuatan. Namun melihat banyak pengunjung berusia lanjut yang justru masih semangat, kami jadi termotivasi. Hehe.. Dan setelah berada di atas menara, kelelahan terbayar dengan suguhan pemandangan kota Granada yang indah.

Belakangan saat saya membaca buku ’99 Cahaya di Langit Eropa’ karya Hanum Rais dan Rangga Almahendra, saya mengetahui bahwa Sultan Granada Boabdil menyerah saat ia melihat pasukan Ratu Isabella yang begitu besar menuju ke komplek Alhambra. Begitu besarnya pasukan tersebut sehingga ia berpikir tak ada gunanya melawan. Di sebuah bastion, Sultan Boabdil menyerahkan kunci istana ini kepada Isabella dan Ferdinand sebagai tanda menyerah. Dalam kepergiannya, di jalanan berkelok di hadapan Sierra Nevada,  Sultan Boabdil menatap lekat Alhambra dan bernostalgia untuk terakhir kalinya dengan istana itu. Ia berdoa semoga umatnya dapat hidup lebih sejahtera dan tak terusik keimanannya di bawah pemerintahan yang baru, Namun harapan tinggallah harapan.

Kembali ke suatu siang pada musim panas 2014. Alhambra dengan keindahan dan beribu hikmah dalam historinya membuat saya terpesona dan mengambil banyak pelajaran. Dengan suhu di atas 35 derajat celcius, mengelilingi komplek Alhambra merupakan suatu perjalanan yang menantang. Baru sebentar sudah terasa haus dan ingin mencari tempat untuk sekadar duduk dan berteduh. Untungnya hal tersebut terfasilitasi dengan baik karena di komplek Alhambra terdapat cukup banyak kran air siap minum. Selain itu, kita juga bisa menemui kursi-kursi yang disediakan untuk beristirahat sejenak.

Sore hari, saat kami baru kembali dari Alcazaba, kami melihat antrean untuk masuk Nasrid Palace masih mengular. Kami yang tak punya tiket masuk hanya melihat sambil lalu. Dalam hati, mungkin ada hikmahnya juga kami tidak mendapat tiket masuk ke sana. Karena ternyata mengelilingi Generalife dan Alcazaba saja sudah cukup menguras tenaga. Meskipun ada terbersit rasa sesal, biarlah saya berimaji tentang Nasrid Palace dari buku dan artikel yang saya baca, juga dari foto-foto para pejalan yang sempat menyambanginya.

Sebelum keluar dari komplek Alhambra, kami menyempatkan masuk ke Museum of Alhambra yang terletak di bagian selatan Palacio de Carlos V. Museum ini menyimpan koleksi benda bersejarah peninggalan bangsa Moor, terutama pada masa kerajaan Nasrid. Untuk memasuki museum, pengunjung tidak perlu membayar lagi karena sudah termasuk di dalam tiket masuk Alhambra. Kunjungan ke museum ini menutup hari kami di Alhambra. Setengah hari di sana meninggalkan kekaguman dan kerinduan akan kejayaan islam yang mampu merangkul banyak pihak. Selain itu, ketelitian desain bangunannya menunjukkan pengetahuan yang tinggi dan jiwa seni yang tidak diragukan lagi.

Tulisan terkait:

Granada (1): Yang Tak Terduga

Granada (2): Oase di Albaicin

1865143963390123180513

14 thoughts on “Granada (3): Mengagumi Alhambra”

  1. Whuaaaa pengen banget kesini chaaaaa T_T

    Btw kok udah (3) aja, perasaan aku belum pernah baca yang (1) sama (2)-nya x_x duuhh sebagai penggemar Icha aku merasa gagal *bongkar-bongkar blog-nya icha*

    Like

Leave a reply to winnymarch Cancel reply