Eurotrip, Traveling

Granada (1): Yang Tak Terduga

Menanti di depan Terminal Bis Granada
Menanti di depan Terminal Bis Granada

Jika mendengar kata Granada, ada satu sosok yang tak bisa saya lupakan: Mabel. Dia adalah host Airbnb di kota tersebut saat saya dan suami, Chendra, melakukan perjalanan ke beberapa kota di Andalusia, Spanyol, pada musim panas tahun 2014.

Di depan terminal bus Granada, kami menanti dengan harap-harap cemas. Berdasarkan komunikasi terakhir, Mabel meminta kami menyeberang jalan di depan terminal dan menunggunya di sana. Ia berbaik hati akan menjemput kami. Sepuluh menit berselang. Ditambah lima menit lagi mungkin, saya tidak ingat. Yang jelas saat itu, saya dan Chendra, merasa amat kegerahan pada suhu udara yang sudah nyaris mencapai 40 derajat celcius. Tetapi kami tetap bersyukur bahwa Mabel akan menjemput sehingga kami tak ambil pusing mencari informasi kendaraan umum.

Peugeot 205 keluaran tahun 1990-an berhenti tak jauh dari kami. “Mungkin itu,” kata Chendra berharap. Saya tidak yakin karena sejak tadi pun sudah banyak mobil berhenti di sana dan ternyata bukan untuk menjemput kami. Terlihat sosok wanita berusia 60-an mengajak bicara beberapa orang yang sedang berdiri di pinggir jalan, namun kemudian berjalan lagi. Tak lama kemudian, ia menuju ke arah kami.

“Are you Maisya?”

***

Kami bertiga sampai di depan sebuah rumah bertingkat dua. Di sepanjang jalan itu dan di daerah sekitarnya, rumah-rumah berjejer menempel satu sama lain dan terlihat nyaris sama. Semuanya terlihat cantik dengan ornamen antik dan keramik bermotif bunga-bunga dan geometri yang berwarna-warni. Tidak mengherankan, Spanyol bagian selatan memang mendapat banyak pengaruh dari Maroko yang letaknya ‘hanya’ di seberang Selat Gibraltar.

Saat memasuki rumah Mabel, saya dan Chendra langsung jatuh cinta (jatuh cinta pada rumahnya, kalau jatuh cinta satu sama lain sih tak perlu ditanyakan lagi :D). Rumah tersebut tidak besar namun sangat nyaman. Kami menempati paviliun di lantai pertama yang terdiri dari ruang tamu, kamar, dapur, dan kamar mandi. Sementara Mabel tinggal di lantai atas. Sepertinya ia tinggal sendirian saja karena ia bercerita bahwa anak dan cucunya tinggal di Amerika.

Siang itu kami beristirahat beberapa saat dan berencana akan akan berjalan-jalan di sekitar Plaza Nueva pada sore harinya. Plaza Nueva bisa dibilang merupakan pusat kota Granada. Di sana terdapat banyak restoran, pertokoan, dan juga terdapat beberapa pusat informasi wisata. Ruang terbukanya biasa digunakan oleh musisi jalanan dan penari flamenco untuk pertunjukan. Di jalan-jalannya, selain ramai oleh pejalan kaki, juga ramai oleh wisatawan yang menjelajahi pusat kota dengan menggunakan segway yang disewakan oleh beberapa penyedia jasa.

Itulah deskripsi singkat Plaza Nueva. Pada kenyataannya, kami masih di rumah Mabel dan baru akan berangkat. Chendra teringat bahwa ponselnya masih dicharge dan bermaksud ke ruang tamu untuk mengambilnya. Tak lama kemudian, saya mendengar suara benturan. “Aaawww!” Chendra setengah berteriak. Serta merta saya berjalan dari kamar menuju ruang tamu. Kepala Chendra terbentur ujung siku jendela ruang tamu yang terbuka (ke arah dalam). Saya mengusap-usap kepalanya sambil berpikir mungkin benturan tadi meninggalkan benjolan. “Semoga nggak apa-apa ya…”. Namun rasanya tangan ini basah. Ketika saya mengangkat tangan saya, ternyata sudah bersimbah darah. Sedikit demi sedikit darah tersebut juga menetes ke wajah Chendra. Kami pun tersadar bahwa jendelanya bukan sembarang jendela, jendela itu terbuat dari besi.

***

Kami bertiga berada di ruang tunggu unit gawat darurat Hospital Universitario San Cecilio de Granada. Ya, kami bertiga adalah saya, Chendra, dan Mabel. Di ruang tunggu itu, berbagai suara keluhan dan rintihan bercampur baur. Meskipun saya tak paham kata-kata yang mereka ucapkan, saya seolah bisa merasakan sakitnya.

“Socorro… socorro…” seorang nenek di pojok ruang tunggu terus -menerus mengucapkan kata itu dengan teriakan tertahan. Mabel bilang artinya ‘tolong’.

Sementara itu, Chendra duduk dengan tenang sambil memegang es batu yang dibalut kain di kepalanya. Mabel yang menyiapkan es itu. Sebelumnya, saya hanya membalut dan menekan luka dengan kain seadanya. Beruntung Mabel sedang dalam perjalanan pulang ke rumah tak lama setelah insiden jendela besi terjadi. Ia dengan tanggap langsung membantu kami menuju rumah sakit terdekat. Tak terbayang jika dalam keadaan kepala terluka, saya dan Chendra harus mencari taksi ke jalan utama atau bahkan berjalan kaki sambil membawa-bawa GPS karena kami tak paham lokasinya. Tetapi, berkendara mobil pribadi pun ternyata bukan perkara sederhana dikarenakan sulitnya mencari lokasi parkir. Mabel bertindak nekad dengan parkir sembarangan agar kami segera sampai di RS dan mendapat penanganan. Setelah registrasi selesai, ia kembali ke mobil demi parkir di tempat yang benar.

Satu jam berlalu. Beberapa pasien lain telah diberikan tindakan. Kami terus menunggu dan berharap. Selama itu, Mabel berkali-kali meminta maaf dan menyesali kecelakaan yang terjadi. “I promise I will remove that small table near the window so no one will get hurt again”. Setelah sekitar 1,5 jam, barulah nama Chendra dipanggil. Kami diarahkan ke ruangan di ujung koridor.

“Ocho.. ocho…” kata seorang perawat. Itu adalah satu dari sedikit kosakata bahasa Spanyol yang saya pahami. Artinya delapan. Kami diminta masuk ke ruangan nomor 8. Bau khas rumah sakit terus menjalar, ditambah visualisasi berbagai obat-obatan dan peralatan medis yang kini semakin nyata di hadapan.

Stiker untuk pendamping pasien
Stiker untuk pendamping pasien

Sebenarnya, tiap pasien hanya boleh ditemani oleh satu pendamping. Prosedur standarnya adalah resepsionis memberikan dua stiker sebelum masuk area UGD, stiker hijau sebagai penanda pasien dan stiker oranye sebagai penanda pendamping pasien. Mabel bisa masuk karena berperan sebagai penerjemah. Ia menjelaskan kronologi kejadian kepada perawat sebagaimana yang sebelumnya saya sampaikan kepadanya. Kalau tak ada Mabel, mungkin kami hanya akan berbahasa Tarzan dan proses menuju tindakan akan menjadi lebih lama. Tidak seperti orang Belanda, tak banyak orang Spanyol yang fasih berbahasa Inggris.

“They decided to stitch the wound,” ujar Mabel.

Chendra tersenyum pasrah menerima keputusan bahwa lukanya akan dijahit. Tanpa dibius.

***

(bersambung)

10 thoughts on “Granada (1): Yang Tak Terduga”

Leave a comment