Other Stories

LDR Lintas Zaman

10177309_10151931271382396_2012512049181598479_n
Foto: Erin

“Cha, sama suami biasanya komunikasi pakai apa? Skype?”  Kira-kira begitulah pertanyaan salah seorang teman saya beberapa bulan lalu, saya lupa tepatnya kapan. Saat itu saya masih berkuliah di Groningen, Belanda.

Percakapan via whatsapp mengalir setelah itu. Ia bercerita bahwa suaminya akan ditugaskan ke luar negeri dan ia sedang bersiap untuk menjalani Long Distance Relationship alias LDR. Pertanyaan-pertanyaan seputar platform berkomunikasi, perbedaan waktu, dan lainnya, dibahas santai tapi serius. Untuknya, ini adalah kali pertama mereka LDR. Saya tahu ini pasti tidak mudah. Ada rasa sedih dan khawatir. Terlebih ia dan suaminya sudah memiliki buah hati.

Ngomong-ngomong tentang LDR, dalam sebuah tulisan yang saya tulis awal tahun ini, saya sedikit bercerita bagaimana saya dan suami (sejak sebelum menikah) selalu akrab dengan jarak, sampai akhirnya kami menikah dan harus berpisah lagi. Tetapi, saat sudah pernah bersama kemudian berpisah, rasanya memang lebih berat.

Tahun 1999, waktu saya baru menginjak bangku SMP *duh, bangku kok diinjak…*, Papa saya melanjutkan studi ke Australia. Dulu saya mana mengerti perasaan Mama. Ya saya tahu pasti sedih, tapi nggak kebayang bagaimana beratnya. Mama harus mengurus tiga putri seorang diri ditambah adik bungsu yang masih di dalam kandungan. Ya ampun..pasti sentimental sekali saat melepas kepergian Papa di bandara waktu itu. Whatsapp, Line, Skype..uhm…mana ada? Telepon seluler saja belum populer. Saya ingat kami masih suka menunggu-nunggu Pak Pos yang mengantar surat Papa dari Australia. Selain menunggu isi suratnya, saya juga selalu menanti prangkonya untuk saya koleksi. Hehe.. *sambil menyelam minum susu*. Dulu segentong rindu itu hanya bisa ditumpahkan secara periodik via kertas surat dan sesekali via obrolan telepon di wartel yang tentu tidak bisa berlama-lama. Sering pula Mama menyelipkan foto anak-anaknya di dalam amplop agar Papa bisa melihat anak-anaknya yang terus tumbuh dan berkembang, terutama adik bungsu yang waktu itu masih bayi.

Kalau saya pikir-pikir lagi sekarang, saya mau nangis mengingat itu semua. Membayangkan saya yang harus LDR macam itu sama suami. Tidaaaaaak!

Jadi, tulisan ini sekaligus penghargaan saya untuk Mama dan Papa yang waktu itu sama-sama berjuang dalam jarak. Perjuangan yang pastinya mengajarkan kesabaran dan membentuk pribadi yang makin kuat. Tetap cinta dan setia walau jarak memisahkan.

Sewaktu jalan-jalan di Amsterdam, Belanda, sembari napak tilas sejarah VOC, saya melewati sebuah menara yang dikenal dengan sebutan Menara Menangis. Konon dulunya menara yang dibangun pada abad-15 itu merupakan tempat para wanita mengucapkan salam perpisahan dan melambaikan tangan kepada para suami yang akan pergi berlayar ke tanah-tanah baru nun jauh di benua lain. Disebut Menara Menangis ya mungkin karena para wanita melepas kepergian suaminya dengan air mata. Jangan tanya mengapa. Sekali mereka ditinggal pergi, tak ada kepastian kapan suami mereka pulang. Bertanya kabar pun tak mudah, telepon belum ada. Alexander Graham Bell sang penemu telepon saja belum lahir saat itu.

By the way…saat menulis ini saya tidak tahu arah tulisan ini mau kemana. Tiba-tiba sedih karena nonton AADC saat Cinta ditinggalkan Rangga. Bahkan mungkin dulu saja pas saya masih abege dan nonton film ini di bioskop nggak pakai nangis-nangis segala. Emang ya kombinasi nonton AADC, hujan, dan ditinggal suami yang lagi mudik itu menghasilkan perasaan dan tindakan yang aneh.

*diselingi suara jangkrik*

Baiklah, berikut tips-tips buat yang LDR ya… *out of the blue malah bikin tips hahaa..*

  1. Menulis surat dan mengirim kartupos mungkin memang manis dan romantis, tapi jangan jadikan itu sebagai media komunikasi utama ya.. *ya keleeuuus* Karena ada yang lebih cepat, yaitu telegram *eh*.

syg aku kgn km ttk hbs

  1. Install whatsapp, Line, Skype, dan aplikasi chat lainnya yang Anda sukai di ponsel dan laptop.

Aplikasi chat macam whatsapp memang mudah dan cepat untuk sekadar menyapa atau mengorol santai. Tetapi kalau ada hal yang penting, lebih enak jika dibicarakan ‘langsung’. Langsung-nya saya beri tanda petik karena yang saya maksud misalnya lewat skype dimana kita bisa saling bertatap muka dan berbicara, bukan mengetik teks. Percakapan via teks bisa menimbulkan banyak pertanyaan atau bahkan salah paham karena kita tidak bisa mendengar intonasi ataupun ekspresi wajah. Lah mengobrol ‘langsung’ saja bisa salah paham apalagi via deretan huruf saja.

  1. Kalau kita lagi di luar negeri (yang internetnya cepet) dan pasangan lagi di Indonesia, bersiaplah karena akan terjadi ketimpangan koneksi internet. Niatnya mau melepas rindu, eh malah melepas amarah.

“Halo sayang… Apa kabar? Kangen…”

“Halo.. halo…”

“Denger suaraku ga? Apa kabar?”

“Halo… gimana kabarnya?”

“Baik… Mas gimana kabarnya?”

“Halo.. Duh, ga kedengeran.. Kangen nih”

“Apa? Mas bilang apa? Ga denger…”

“Halo…halo…”

“Halo…kedengeran gak?

“Halo…halo…”

“Aaaargghh…”

*kresek kresek*

*gambar nge-lag alias nggak gerak*

*gigit meja*

Nah kalau koneksi kurang bersahabat, mendingan chat aja deh. Berhentilah berusaha ngomong di skype, matikan mic dan biarkan videonya menyala. Tapi ngobrolnya ditulis aja ya… *ngelus dada*

  1. Perhatikan perbedaan waktu. Kita harus bisa mengelola ekspektasi kita. Misalnya jam 8 malam di Belanda saya whatsapp suami saya, “lagi ngapain?”. Terus saya pengin curhat tentang aktivitas seharian yang melelahkan. Jangan berharap langsung dibalas saat itu juga karena di Indonesia berarti itu jam 2 pagi. Ya, kecuali kalau suami saya jaga pos ronda sih. *eh atau mungkin suaminya lagi solat malam ya* 😉

Sebenarnya suami saya sih yang sering berkorban tidur agak malam gara-gara nungguin saya online. Kadang saya kuliah atau ada kegiatan sampai sore, jam 4 atau jam 5 baru bisa skype. Itu berarti di Indonesia jam 10-11 malam. Tapi suami saya masih bela-belain melek demi bisa ngobrol. Huhu..makasih ya!

  1. Percaya dan setia. Oke, terdengar klasik ya. Tapi ya memang begitu adanya. Pertama-tama ya masing-masing harus percaya bahwa keduanya bisa menjalani LDR dan dimanapun kita berada kita bisa menjaga kepercayaan satu sama lain.

Yang lain ada yang mau menambahkan? 🙂

Last but not least…

“True love doesn’t mean inseparable; it means being separated and nothing changes.”

(lupa dapat quote ini dari mana)

Buat yang LDR, be strong! Dengan adanya jarak, kita akan lebih bisa menghargai dan mensyukuri kebersamaan.

1865143963390123180513

32 thoughts on “LDR Lintas Zaman”

  1. Setuju banget sama tip terakhir. Aku termasuk yang mengalami LDR sebelum masa Internet. Bisanya cuma telpon, mahal. Kirim surat, paling cepet 1,5 minggu sampe. Kirim coklat, diterima udah meleleh.

    Kadang suamiku (dulu masih pacar) kirim kaset dengan lagu-lagu diselipi cerita dia per lagu lewat pos! Jaman sekarang cuma buat playlist di Spotify kirim per e-mail deh 😉

    Ah, ada kenangan manis inget LDR, kapanpun dan apapun fasilitasnya.

    Like

    1. Iya, Mbak. Komitmen itu yg terpenting ya. 🙂
      Kalau tahu perjuangan jaman dulu kayak gimana, at least sekarang jd lebih bersyukur dengan kemudahan telekomunikasi ya hehe.. Tapi walaupun gimanapun juga kedekatan fisik itu memang tak tergantikan. 🙂

      Like

  2. ah sungguh menguatkan hati saya deh postingan kak Icha ini hihihi 😛
    bener sih dengan adanya jarak, kita jadi lebih menghargai kebersamaan, jadi ngurangin drama gak penting, kan sayang ketemunya cuma bentar masa dipake berantem sama drama2an

    Like

  3. bapak ibuku LDR an 2 taunan kak 😀 lombok-surabaya
    waktu aku masih SD, bpk lanjut s2 ke surabaya.
    mana pas itu 1998-an lagi jaman krismon, pesawat ga semurah skrg…
    pakainya surat.
    telpon juga jarang2 krna masih mahal..hihihi

    Like

  4. yg no 3 itu gue banget,,dulu sama suami (yg waktu itu juga masih pacar) sering skype dengan koneksi yg timpang, dia di Italy saya di Indonesia,,ya ampuun,,,baru halo hola, kedengeran gak,,halo halo,,udah setengah jam berlalu,,bikin emosi 😀 *pengen banting laptop*

    Like

  5. Aku baru sekali LDR, nggak nyampe 2 bulan langsung gagal di tengah jalan, padahal udah ada socmed segala macem, *ketawa miris*

    Like

  6. Orangtua aku jg LDR bertahun2 krn bokap kerja di Norway lama, surat2an, kartu ucapan, sesekali telpon. Eh aku pun ngikut LDR xixiii paling sebel kl winter time krn beda waktu 6 jam, lumayan berasa jauh 🙂

    Like

      1. Aaahh iyaaa.. Malah kalau nanggung tuh gimana ya hihii.. Setelah terkahir LDM Belanda-Indonesia, beberapa bulan ini tinggal bareng. Sekalinya ditinggal rumah berasa sepii bgt. 😀

        Like

      2. dulu sebelum ldm-an, juga kayak gitu mbak. kalo suami keluar kota beberapa hari ajaa udah berasa dunia runtuh gitu. ini masih mending onshore sih, jadi masih bisa telepon, video call, chat anytime! desember entar udah offshore, yang mana sms aja 3 hari baru nyampe. yuuuuuk mariii gigit jariiii 😀 😀

        Like

  7. ya ampuun mba, aq ngakak banget baca yang nomor berapa tuh yang terkait ketimpangan koneksi internet, karena ini saya ngalamin banget saat harus LDR indonesia-jepang. adduuuh alih-alih melepas rindu malah rusuh. Hahahaha. ujung2nya ya balik chating lagi 😀

    Like

    1. Halo! Salam kenal ya Mbak Tia. Hehe.. Ya begitulaaah.. Yang pernah merasakan pasti setuju banget yaa.. Emang akhirnya chat adalah penolong terakhir.

      Suka dukanya LDR emang rasanya kayak nano-nano. Tapi semua pasti ada hikmahnya. 🙂

      Like

Leave a comment