“A hard-working lawyer, attached to his cell phone, can’t find the time to communicate with his family. A couple is drawn into a dangerous situation when their secrets are exposed online. A widowed ex-cop struggles to raise a mischievous son who cyber-bullies a classmate. An ambitious journalist sees a career-making story in a teen that performs on an adult-only site. They are strangers, neighbors and colleagues and their stories collide in this riveting dramatic thriller about ordinary people struggling to connect in today’s wired world.”
(http://www.disconnectthemovie.com/)
Hampir setiap hari atau bahkan setiap hari kita tersambung internet. Pagi-pagi sambil sarapan, menikmati perjalanan ke kantor, atau kapanpun saat sedang luang rasanya jari-jari ini tidak bisa tidak menyentuh berbagai tombol aplikasi online di ponsel kita. Ada yang bilang teknologi itu mendekatkan yang jauh, namun bisa juga justru menjauhkan yang dekat. Internet, khususnya, memberikan banyak kemudahan untuk beraktivitas dan berkomunikasi. Namun jika kita tidak menggunakannya dengan bijak, internet bisa jadi merugikan dan membahayakan.
Fenomena itulah yang dipotret oleh film berdurasi 115 menit ini. Disconnect mencuri perhatian saya saat saya sedang memilih-milih film demi mengusir rasa bosan dalam perjalanan Amsterdam – Kuala Lumpur akhir Agustus lalu. Melihat trailernya, pesan yang ingin disampaikan film ini tentu tak jauh dari kehidupan sehari-hari dimana kita sudah begitu akrab dengan internet. Saya pun tak sabar untuk mulai menontonnya.
Ada tiga konflik inti dalam film ini, dimana tokoh-tokohnya secara langsung dan tidak langsung berkaitan satu sama lain. Ben Boyd (Jonah Bobo) menjadi korban bullying di sekolahnya. Remaja pendiam penyuka musik ini dikerjai oleh dua teman sekolahnya yang membuat akun Facebook dengan nama seorang gadis bernama Jessica. Jessica menyapa Ben via jejaring sosial Facebook, berkenalan, dan memuji musik Ben. Ben yang tidak mempunyai teman tentu menyambut pertemanan via dunia maya ini. Terlebih, hobi bermusiknya tak pernah didukung dan diapresiasi sang ayah, Rich Boyd (Jason Bateman). Rich sibuk dengan pekerjaannya sebagai pengacara dan tidak punya banyak waktu untuk keluarga.
Suatu hari, orang tua Ben dikagetkan oleh berita bahwa anaknya mencoba bunuh diri. Ada apakah gerangan? Ben terjebak oleh permainan kedua teman sekolahnya yang memancingnya untuk berfoto tanpa pakaian. Foto tersebut ia kirimkan kepada Jessica yang tak lain adalah dua temannya itu. Dalam sekejap foto tak senonoh itu tersebar di sekolah. Ben kalut.
Ayah Ben menyesal telah melalaikan keluarga. Ia mencoba mencari tahu apa yang terjadi dengan Ben. Ia melacak dan membuka akun Facebook anaknya dan mengobrol dengan Jessica. Salah seorang dalang di balik akun Jessica, Jason Dixon (Colin Ford), tak bisa menyembunyikan penyesalannya. Namun ia juga terlalu takut untuk mengakui apa yang ia lakukan. Ironisnya, Jason adalah anak seorang polisi, Mike Dixon (Frank Grillo), yang biasa menangani berbagai kasus. Tentu ia marah besar mengetahui anaknya adalah pelaku bullying di sekolah.
Salah satu kasus yang sedang ditangani Mike saat itu adalah terkait pencurian identitas di internet. Sepasang suami-istri, Cindy dan Derek Hull (Paula Patton dan Alexander Skarsgård) berusaha mencari pelaku yang membobol kartu kredit mereka. Konflik mereka juga diwarnai dengan bocornya rahasia pribadi seputar rumah tangga mereka kepada teman curhat Cindy di internet yang diduga sebagai pelaku pembobolan.
Kasus lain yang disajikan dalam film ini adalah usaha Nina Dunham (Andrea Riseborough), seorang presenter TV, yang baru saja naik daun karena acara investigasi yang dibawakannya. Nina berhasil mewawancarai seorang pemuda bernama Kyle (Max Thieriot) yang bekerja untuk situs dewasa. Kyle bersedia menceritakan secara blak-blakan lika-liku sebagai pekerja seks online dengan syarat identitasnya disamarkan. Alih-alih bertindak profesional, Nina merasa peduli pada nasib dan masa depan Kyle. Hubungan mereka berlanjut lebih pribadi. Dilema muncul ketika FBI meminta Nina membocorkan identitas Kyle dan organisasinya untuk kepentingan keamanan.
Konflik yang dibangun dalam Disconnect terasa dekat dengan keseharian masyarakat internet saat ini. Komunikasi antar orangtua dan anak, pengawasan dan pendampingan penggunaan internet untuk anak, serta pentingnya mengontrol informasi yang dibagikan di dunia maya merupakan beberapa dari sekian banyak isu terkait kecanggihan teknologi informasi ini. Menonton film ini seperti membangunkan penonton dari kelengahan berinternet, membuat kita awas pada risiko-risiko yang ada.
Bagi saya, pendekatan konflik personal juga menjadi bumbu tersendiri. Saya jadi membayangkan bagaimana jika saya ada di posisi para tokoh dalam film tersebut. Misalnya Mike yang kecewa dan marah besar saat mengetahui anaknya, Jason, menjadi pelaku bullying sampai menyebabkan temannya mencoba bunuh diri. Namun di sisi lain, ia tetap membela Jason saat ayah Ben datang ke rumah untuk meminta pertanggungjawaban dan menyerang Jason. Juga Nina Dunham yang pada awalnya ‘menggunakan’ Kyle untuk mendongkrak karirnya sebagai jurnalis. Ia tergerak untuk membantu Kyle keluar dari dunia hitam agar masa depannya lebih baik.
Situs IMDB memberikan empat dari lima bintang untuk film ini. Saya tidak merasa itu berlebihan. Banyak film yang kita tonton tetapi mungkin hanya beberapa yang berkesan dan terus kita ingat. Disconnect menurut saya layak masuk kategori kedua. Sama seperti saat saya menonton film The Shawshank Redemption, misalnya.
Kayaknya menarik filmnya cha. Temanya juga pas dengan kekinian. Internet selain bermanfaat memang bisa menimbulkan masalah jika digunakan dengan cara tak bijaksana hehehe
LikeLike
Betul, Mbak Yusmei. Film ini bener2 memotret fenomena sehari-hari berkaitan dengan dunia internet, termasuk risiko2 yang mungkin kita gak kepikiran karena merasa nyaman aja berinteraksi di dunia maya.
LikeLike