Movies, Review

Bauran Rasa dalam Tabula Rasa

Pernahkah kamu punya mimpi namun tersandung banyak kendala?

Setelah sekian lama absen dari dunia per-bioskop-an, film pertama yang saya tonton adalah Tabula Rasa. Kalau sekadar mendengar judulnya, jujur saja saya tidak bisa menebak genre filmnya. Film cinta-cintaan kah? Waktu itu saya malas googling. Lalu suami saya, Chendra, bilang ada film Indonesia  yang bagus yang bercerita tentang masakan padang. Eh, jangan-jangan Tabula Rasa itu ya? Kami pun kemudian berselancar ke situs 21cineplex. And yes, it matches!

***

Adalah Hans (Jimmy Kobogau), pemuda dari Serui, Papua, yang bermimpi menjadi pemain bola handal. Selain bermain bola, dalam kesehariannya ia membantu sebagai seorang juru masak di panti tempatnya dibesarkan.

“Mama tara senang kah lihat saya jadi pemain bola yang berhasil? Di Jakarta nanti saya akan jadi orang hebat,” ujar Hans di malam perpisahan itu kepada Mama, ibu asuh yang membesarkannya di Panti Asuhan di Serui.

Keesokan harinya, Mama dan adik-adik asuh Hans di panti melepasnya pergi di bandara. Hans memutuskan menerima tawaran salah seorang pelatih untuk bergabung dengan klubnya di Jakarta. Sepasang sepatu bola menjadi simbol semangat yang diberikan Mama dan adik-adik panti. Namun nasib berkata lain. Beberapa bulan kemudian, Hans harus hidup menggelandang. Ia mencari uang dengan cara apapun yang dianggapnya halal, termasuk memungut sisa-sisa beras di pasar dan menjualnya demi bisa makan.

Hans mulai lelah dengan kehidupannya. Ia merasa tak lagi bisa meraih mimpinya untuk menjadi pemain bola, namun ia pun tak mungkin pulang ke Papua dalam keadaan seperti ini. Ia malu. Suatu malam, ia kalut dan memutuskan untuk menjatuhkan diri dari sebuah jembatan ke rel kereta.

Pada suatu pagi, seorang wanita Minang, biasa dipanggil Mak (Dewi Irawan), menemukan Hans tergolek pingsan di jembatan. Pakaiannya lusuh dan di kepalanya terdapat luka. Rupanya Hans jatuh pingsan di jembatan sebelum ia sempat meloncat ke rel kereta. Natsir (Ozzol Ramlan) yang pagi itu menemani Mak belanja ke pasar membujuk Mak agar tak usah ambil pusing orang yang ia temukan di jalan. Namun Mak bersikukuh ingin menolong. Pertemuan itulah yang mengawali drama keluarga dengan sentuhan cita rasa kuliner Minang yang disajikan apik di sepanjang film ini.

Sumber: 21cineplex
Sumber: 21cineplex
Hans menemani Mak di pasar
Hans menemani Mak di pasar (Sumber: http://tabularasafilm.com/)

Mak adalah salah satu dari tiga pengelola rumah makan Takana Juo yang menyajikan hidangan khas Minang. Tak banyak pemain inti yang terlibat dalam problema Tabula Rasa. Selain Hans, Mak, dan Natsir, ada pula Parmanto (Yayu Unru) yang bertindak sebagai  juru masak di Takana Juo. Semenjak ditemukan Mak di jembatan, Hans ikut bantu-bantu mengerjakan apapun di rumah makan, salah satunya mengantar Mak belanja dan membawakan barang bawaannya. Parmanto tidak menyukai kehadiran Hans di rumah makan itu. Alasannya, rumah makan mereka sedang sepi dan dengan menambah karyawan berarti bagian pendapatan bagi masing-masing orang berkurang.

Pertengkaran hebat terjadi. Parmanto pergi meninggalkan Takana Juo. Karena kekurangan orang, Mak meminta Hans membantunya memasak di dapur. Sementara itu, Takana Juo semakin sepi setelah dibukanya sebuah restoran padang baru yang lebih besar tak jauh dari sana. Suatu hari, Mak, Natsir, dan Hans mengunjungi restoran tersebut demi mengetahui seperti apa kompetitornya itu. Mereka dibuat tercengang dengan restoran yang bersih dan pelayanan yang prima. Namun, saat Mak merasakan makanannya, ia terdiam sesaat. Mak sangat mengenal rasa masakannya. Lalu serta merta Mak menuju dapur dan menemukan Parmanto menjadi juru masak di sana. Hati Mak hancur karena merasa dikhianati. Ia yang mengajarkan Parmanto memasak dan kini Parmanto mencuri resep-resepnya.

Bagi saya, Tabula Rasa adalah suatu rasa baru dalam film Indonesia. Mengangkat tema kuliner, budaya, dan keluarga, Tabula Rasa berhasil meramu konflik dengan wajar dan apa adanya. Persinggungan Hans yang asal Papua dengan rumah makan Takana Juo juga menjadi interaksi yang menarik untuk dipotret. Suatu hari Hans membuat papeda dan sup ikan kuah kuning. Mak yang ingin mencobanya kemudian diajari Hans bahwa memakan papeda seharusnya tidak perlu dikunyah, langsung telan saja. Di hari lain Mak mengajari Hans cara memasak masakan Minang. Mak juga beberapa kali menyisipkan peribahasa Minang dan filosofi dalam memasak. Nuansa keberagaman Indonesia juga terasa lewat digunakannya logat dan bahasa daerah dalam sebagian percakapan. Tenang saja, ada terjemahan yang ditampilkan di layar kok, sehingga penonton dapat tetap mengerti.

Kekuatan film ini juga didukung oleh peran para pemainnya yang buat saya patut diacungi jempol. Ozzol Ramlan yang berperan sebagai Natsir misalnya, sebagian penonton mungkin sudah akrab dengan logat Minangnya sebagaimana yang perannya di salah satu sitkom televisi. Ia yang terlihat cuek dan sering ceplas-ceplos ada kalanya dapat bijak dan serius. Dewi Irawan juga berperan sebagai ibu Minang dengan sangat baik. Yayu Unru berhasil menjiwai peran antagonis namun di satu titik ia luluh juga akan rindunya pada kampung halaman. Sementara itu, meskipun terbilang baru di dunia film, penampilan Jimmy Kobogau sebagai Hans tidaklah mengecewakan. Konflik serius sampai dialog lucu mampu dibawakan oleh para pemain.

Lalu apa hubungan film ini dengan mimpi – sebagaimana yang saya sampaikan di awal tulisan?

Saya percaya bahwa saat satu pintu tertutup, sesungguhnya pintu yang lain terbuka dan kita dalam proses untuk menuju ke sana. Kita boleh kecewa karena tidak berhasil meraih yang sebelumnya kita impikan, namun tanpa diduga, rahasia Tuhan membawa kita ke jalan lain yang lebih baik. Itulah yang terjadi pada Hans, seorang Papua yang awalnya ingin menjadi pemain bola tetapi kemudian menemukan jiwanya di dunia masak-memasak. Akhir film ini bagi saya agak menggantung. Mungkin sang pembuat film sengaja membiarkan penonton menyimpulkan akhir kisah perjalanan Hans. Namun, akhir yang menggantung itu tidak mengurangi nikmatnya sajian Tabula Rasa.

Selamat menikmati. 🙂

Ps. Oh ya, sebelumnya saya belum memberikan kritikan atau mengutarakan kekurangan film ini ya. Mungkin saya terlalu menikmati saat menontonnya. Hehe.. Namun saya ingat ada beberapa perpindahan adegan yang rasanya terlalu cepat. Dalam artian di adegan sebelumnya masih ada konflik tapi di adegan selanjutnya sudah selesai begitu saja. Misalnya saat Hans protes karena pekerjaannya tak dibayar oleh Mak padahal Mak memang tak pernah menjanjikan uang. Esok harinya Hans sudah mulai bantu bersih-bersih di rumah makan tanpa jelas proses penyelesaian konfliknya. Meskipun demikian, kekurangan yang ada bagi saya tidak mengurangi pesan dan gambaran besar dari film tersebut. 🙂

***

Judul: Tabula Rasa | Pemain: Kimmy Kobogau, Dewi Irawan, Ozzol Ramlan, Yayu Unru | Produser: Sheila Timothy | Sutradara: Adriyanto Dewo | Produksi: LifeLike Picture Productions

1865143963390123180513

12 thoughts on “Bauran Rasa dalam Tabula Rasa”

Leave a comment